SAUH BAGI JIWA
“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (Amsal 16:18)
“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (Amsal 16:18)
Frasa “ojo dumeh” adalah frasa yang cukup umum digunakan dalam bahasa Jawa, yang dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia menjadi “jangan sombong.”
Berhubungan dengan frasa tersebut, saya pernah mendengar sebuah cerita tentang seorang filsuf dan seorang pelaut yang keduanya berada di sebuah kapal. Sambil mengisi waktu dalam perjalanannya, sang filsuf pun bertanya kepada si pelaut, “Apakah Anda mengerti Filosofi?” “Tidak,” jawab si pelaut singkat. “Wah, sayang sekali karena Anda telah kehilangan setengah dari seluruh kehidupan Anda,” sang filsuf dengan bangga menjelaskan. Tiba-tiba ombak besar menerjang, sehingga kapal tersebut kemasukkan air. Seketika itu pun si pelaut bertanya kepada sang filsuf, “Tuan, apakah Anda bisa berenang?” “Tidak bisa, tolonglah saya!” Sang filsuf menjawab dengan panik. “Wah, dalam situasi seperti ini Anda bisa-bisa kehilangan seluruh kehidupan Anda jika tidak bisa berenang!” jawab si pelaut dengan serius.
Semua orang sesungguhnya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Merasa bangga atas sebuah prestasi yang diperoleh itu wajar saja, tetapi jangan sampai hal tersebut membuat kita menjadi sombong. Ingatlah sebuah peribahasa, “di atas langit masih ada langit,” yang artinya: ketika kita merasa hebat dan pandai, sesungguhnya masih ada lagi orang lain yang lebih hebat dan pandai dari kita.
Firman Tuhan mencatatkan beberapa contoh kesombongan, seperti halnya malaikat Allah–dengan kesombongannya–ingin menyamai yang Mahatinggi, tetapi akhirnya diturunkan ke tempat paling dalam di liang kubur (Yes 14:12-15). Contoh lainnya lagi adalah kisah tentang menara Babel, yang mencatatkan bagaimana anak-anak manusia ingin mencari nama dengan mendirikan sebuah kota yang puncak menaranya sampai ke langit. Namun, akhirnya Tuhan mengacau-balaukan bahasa mereka dan membuat mereka terserak ke seluruh bumi (Kej 11:1-9).
Dengan kata lain, kesombongan adalah perasaan bangga yang berlebihan, yaitu memandang diri sendiri jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain dan menganggap bahwa semua yang telah dicapai atau diraih adalah semata-mata hasil usaha dan kemampuan dirinya.
Namun, tahukah Anda bahwa kesombongan sesungguhnya membawa kita pada kehancuran? Sang penulis kitab Amsal pun menegaskan bahwa kecongkakan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan. “Kehancuran” dalam bahasa aslinya dapat merujuk pada suatu kondisi yang sakit atau rusak. Dengan kata lain, kesombongan sesungguhnya bersifat merusak, membuat kondisi rohani kita menjadi sakit.
Sang pemazmur pun pernah menekankan bahwa kecongkakan dapat merusak iman kerohanian, rasa takut dan hormat kita terhadap Allah. “Kata orang fasik itu dengan batang hidungnya ke atas…Tidak ada Allah!” demikian penekanan yang disampaikan sang penulis Mazmur. Keberhasilan dan kesuksesan dalam hidupnya membuat dirinya merasa lebih tinggi dari hukum-hukum Allah, bahkan ia merasa bahwa Allah pasti tidak akan mengingat sumpah serapah, tipu daya serta penindasan yang ia lakukan kepada orang lain (Mzm 10:4-13).
Selain itu, kecongkakan juga dapat merusak hubungan kita dengan sesama; sehingga akhirnya merugikan diri kita sendiri. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma memperingatkan bahwa kecongkakan dan kesombongan seseorang akan membentuk perilaku yang suka mengumpat, memfitnah, tidak taat pada orang tua, tidak penyayang dan tidak mengenal belas kasihan kepada orang lain (Rom 1:30-31). Tanpa sadar, perilaku demikian justru menghancurkan diri dan karakter orang itu sendiri.
Kiranya Roh Tuhan memberikan kita kekuatan untuk senantiasa mengevaluasi diri serta menjaga kehidupan kerohanian kita agar tidak menjadi sombong baik di hadapan-Nya maupun di hadapan sesama.