SAUH BAGI JIWA
“Daud menjadi marah, karena TUHAN telah menyambar Uza demikian hebatnya; maka tempat itu disebut orang Peres-Uza sampai sekarang”
“Daud menjadi marah, karena TUHAN telah menyambar Uza demikian hebatnya; maka tempat itu disebut orang Peres-Uza sampai sekarang”
Penulis kitab
Pada pasal yang ke-6, penulis kitab
Saat itu, emosi kemarahan Raja Daud seakan membutakan penglihatan rohaninya akan permasalahan yang sesungguhnya. Yang ada dalam kemarahannya adalah: Ia sudah begitu bersemangat dan bersiap, bersama-sama dengan seluruh rakyat yang menyertai dan juga orang-orang pilihan mengiringi kereta yang membawa tabut. Suasana begitu bersukacita, dengan tarian dan nyanyian. Tetapi “kemarahan Tuhan” menghancurkan segalanya dan merusak suasana. Karena itulah, Raja Daud memutuskan untuk tidak lagi membawa tabut Tuhan.
Pada hari ini, emosi kemarahan pun dapat membutakan kerohanian kita. Saat kita melihat bahwa sesuatu hal yang kita harapkan ternyata tidak sejalan dengan apa yang kita kehendaki, hal itu dengan mudah dapat memancing emosi kita. Tidak jarang dalam hati kecil kita merasa kesal bahkan menggerutu terhadap Tuhan. Akibatnya, bisa saja kita memutuskan untuk mundur dari tugas pelayanan, bahkan dari ibadah. Emosi kita bukan hanya dapat membutakan penglihatan rohani, melainkan juga menghalangi diri kita untuk mengevaluasi diri sendiri.
Dalam pengajaran-Nya, Tuhan Yesus pun pernah menyampaikan peringatan tentang orang-orang yang “marah” terhadap Tuhan karena ketidakpuasan mereka terhadap putusan yang Tuhan ambil. Penulis Injil Matius mencatatkan bahwa Tuhan sudah menetapkan bahwa hanya dia yang melakukan kehendak Bapa di sorga, yang akan masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Namun, penulis Injil melanjutkan, orang banyak justru merasa tidak puas, dalam luapan emosi mereka berseru, “Bukankah kami… mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga?” (Mat 7:21-23).
Dengan kata lain, mereka sudah berjerih lelah bagi Tuhan, mempersiapkan segala sesuatunya bagi Tuhan dan demi nama-Nya; seharusnya itu semua bisa diterima Tuhan. Tetapi kenyataannya, Tuhan berkata “kamu sekalian pembuat kejahatan!” Dalam bahasa aslinya, “pembuat kejahatan” dapat diterjemahkan sebagai “orang yang mengabaikan, tidak taat, melanggar hukum.” Dengan kata lain, meskipun dalam ketidaktaatan terhadap ketetapan Tuhan, orang-orang tersebut merasa bahwa mereka pasti mendapat bagian dalam Kerajaan Tuhan karena mereka telah begitu bergiat dan banyak melakukan pekerjaan demi nama-Nya.
Hal serupa yang mungkin dirasakan oleh Uza saat ia mengulurkan tangan untuk memegang tabut, “Toh saya lakukan ini untuk menjaga tabut-Nya!” Hal serupa juga mungkin dirasakan Raja Daud saat ia marah kepada Tuhan, “Bukankah kami sudah bersiap dan begitu bergiat membawa tabut, mengapakah Tuhan menghukum Uza dengan begitu hebatnya?”
Peristiwa kematian Uza dan kemarahan Raja Daud sesungguhnya mengingatkan kita bahwa mendengarkan dan memperhatikan perintah Tuhan lebih baik dibandingkan dengan korban sembelihan. Penulis kitab
Emosi kemarahan Raja Daud sesungguhnya adalah pembenaran diri bahwa hasil lebih baik dibandingkan dengan cara. Tetapi ketegasan Tuhan justru menunjukkan bahwa dia yang menunjukkan ketaatan dan kepatuhan pada kehendak-Nya justru akan dikenan oleh-Nya.