SAUH BAGI JIWA
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Lukas 9:23)
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Lukas 9:23)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengikuti artinya “menurutkan atau mengiringi sesuatu atau seseorang yang berjalan di depan.” Maka, frase “mengikut Yesus” artinya kita berjalan menuruti kehendak dan perkataan-Nya, menjadi murid Tuhan. Ada yang sudah sejak kecil mengikut Yesus, baik itu awalnya karena ikut orangtua ataupun karena keinginannya sendiri.
Namun, penulis Injil Lukas menegaskan tentang suatu hal penting di dalam mengikut Yesus, “Kata-Nya kepada mereka semua: ‘Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku’ ” (Luk 9:23).
Secara konteks, menyangkal diri berarti menempatkan kepentingan Tuhan di atas kepentingan diri sendiri. Misalkan saja, saat liburan–apakah kita berencana untuk menghabiskan seluruh waktu yang ada hanya untuk menyenangkan diri sendiri dengan aktivitas jalan-jalan, nonton film atau main game? Ataukah menggunakan kesempatan itu untuk belajar akan firman Tuhan lebih dalam?
Lalu, penulis Injil Lukas juga menekankan bahwa menyangkal diri berarti memikul salib setiap hari. Salib melambangkan penderitaan. Mengikut Yesus berarti siap untuk menerima penderitaan demi nama Yesus. Seorang siswi, karena ia mau mencoba menjalankan hukum Tuhan dengan tidak mencuri, saat ulangan ia bertekad untuk tidak menerima contekan dari teman-temannya. Meskipun ia mendapat nilai lima-puluh dan dianggap sebagai seorang yang “sok suci” oleh teman-temannya, ia merasa lega dan senang karena bisa menjalankan perintah Tuhan.
Selain itu, menyangkal diri juga membutuhkan komitmen dari diri kita untuk mengikut Tuhan. Kata kerja “ikut” dalam bahasa Yunani memiliki makna “berjalan ke arah yang sama” atau “taat.” Dengan kata lain, ketika kita berkomitmen untuk mengikut Tuhan, maka kita berjalan di jalan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Namun, ada kalanya persimpangan dalam pergaulan dapat mempengaruhi kita untuk mengambil jalan yang berbeda. Penulis kitab Ulangan pernah memperingatkan, “…sahabat karibmu membujuk engkau diam-diam, katanya: Mari kita berbakti kepada allah lain…” (Ul 13:6). Nasihat tersebut senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, yaitu: pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik. Artinya, melalui pergaulan dengan orang sekitar, kebiasaan kita dapat menjadi baik atau buruk.
Rusak atau tidaknya kebiasaan kita, berkaitan erat dengan siapa kita bergaul. Sahabat karib pun dapat membujuk kita diam-diam, menurut penulis kitab Ulangan. Dari pergaulan bersama teman-teman atau orang-orang sekitar, seseorang dapat mengenal perkataan kotor, budaya berpakaian minim, tontonan vulgar dan kebiasaan lainnya yang justru dapat membuat hubungan kita semakin menjauh dari Tuhan.
Oleh sebab itu, menyangkal diri membutuhkan komitmen dan ketaatan. Bukan karena Tuhan semata-mata menginginkan kita hidup dalam kesedihan dan penderitaan terus-menerus, melainkan Tuhan ingin mengingatkan kita bahwa kesenangan dan kenikmatan dalam pergaulan memiliki konsekuensinya tersendiri–bukan hanya dapat merusak kebiasaan baik kita, melainkan juga dapat menjerumuskan kita ke dalam dosa dan semakin menjauhkan kita dari keselamatan yang dari Tuhan. Kiranya kasih karunia Tuhan semakin menguatkan semangat kita untuk tetap berjalan mengikuti-Nya.