SAUH BAGI JIWA
“…damai sejahtera dari Allah, Bapa kita…” (Filemon 3)
“…damai sejahtera dari Allah, Bapa kita…” (Filemon 3)
Dapatkah kita merasa damai saat sedang bergumul? Atau saat sedang berselisih paham dengan seseorang? Di saat-saat demikian, bukan hanya detak jantung berdegup lebih kencang; melainkan hati pun merasa tidak tenang dan fokus pikiran menjadi teralihkan. Sulit rasanya untuk merasakan damai sejahtera di saat-saat seperti itu.
Pada saat Filemon melihat kedatangan Onesimus, orang kepercayaan yang telah bersalah kepadanya, kembali dengan membawa surat dari rasul Paulus; kira-kira itulah perasaan yang digumulkan oleh Filemon. Di dalam ketidak-tenangan pergumulan hatinya terhadap kesalahan Onesimus, nasihat Paulus dalam salam pembukanya “damai sejahtera dari Allah, Bapa kita” berfungsi sebagai penyejuk atas kegelisahan pergumulan Filemon.
Dalam salam pembukanya, rasul Paulus dengan tegas menyampaikan bahwa damai sejahtera yang ingin ia sertakan pada Filemon adalah damai yang berasal dari Allah Bapa, bukan berasal dari kekuasaan ataupun kelimpahan yang ada dalam dunia. Seseorang dapat merasa tenang dan damai di saat konflik ataupun perselisihan dapat teratasi. Namun, rasul Paulus ingin membagikan bahwa kedamaian dari Tuhan adalah rasa tenang yang diberikan oleh Bapa Sorgawi di dalam hati kita, meskipun kita berada di tengah-tengah pergumulan dan perselisihan yang sedang berlangsung.
Bukan berarti Tuhan akan menjauhkan kita secara instan dari segala perselisihan, pertentangan ataupun perbedaan pendapat; melainkan Tuhan akan memelihara hati dan pikiran kita dari pikiran-pikiran yang dapat merusak dan melemahkan iman (Fil 4:7). Dengan demikian, melalui damai dari Tuhan, dengan ketenangan-Nya kita dapat tetap dikuatkan untuk menghadapi permasalahan yang menimpa.
Penulis Injil Markus pernah mencatatkan bagaimana Tuhan Yesus dengan kuasa-Nya, Ia menghardik angin ribut dahsyat sehingga menjadi reda dan teduh. Demikian pula halnya, pada hari ini, Tuhan Yesus memiliki kuasa untuk memberikan ketenangan di dalam hati yang sedang kacau. Itulah rasa damai dari Tuhan yang tidak dipengaruhi oleh keadaan sekitar yang menimpa. Bukan karena kita memilih untuk tidak peduli atau bahkan menutup mata terhadap permasalahan itu; melainkan rasa damai itu dapat muncul karena iman atas kuasa pemeliharaan Tuhan atas diri kita.
Itulah damai sejahtera yang dirasakan oleh rasul Paulus di dalam penderitaannya di penjara. Damai sejahtera yang sama, yang dari Allah Bapa itulah yang ia ingin sampaikan kepada Filemon di dalam kegelisahannya terhadap Onesimus.
Bagaimana pun juga, mustahil bagi seseorang untuk dapat berdamai dengan Tuhan jika ia tidak berdamai dahulu dengan saudaranya, bahkan saudara-saudari seimannya sendiri, bukankah demikian?
Dengan kata lain, rasa damai akan dapat kita alami saat kedekatan hubungan kita dengan Tuhan terjalin erat, yaitu saat kedekatan hubungan kita dengan tubuh Kristus—umat-Nya, saudara-saudari seiman kita terpelihara dengan baik. Sebaliknya, sangat sulit untuk merasakan kedekatan hubungan kita dengan Tuhan saat kita menolak untuk berdamai dengan saudara-saudari seiman.
Selain itu, kedamaian yang dari Allah baru akan dapat terwujud, setelah seseorang dibenarkan dihadapan Allah (Rom 2:10-13). Oleh karena itu, rasa damai sejahtera yang dari Bapa akan dapat dirasakan oleh Filemon saat ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan, yaitu ketika ia memutuskan untuk berdamai dengan Onesimus. Di saat itulah, kedamaian yang dari Allah Bapa beserta dan dinyatakan dalam diri Filemon.