SAUH BAGI JIWA
“Seorang sahabat…menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Amsal 17:17)
“Seorang sahabat…menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Amsal 17:17)
Kira-kira tiga tahun yang lalu, aku masih ingat perjumpaanku yang pertama kali dengan Dave di gereja. “Hi, namaku Dave,” dengan senyumnya yang terbuka, ia menyapaku. “Ya, aku sudah tahu,” jawabku dengan ketus. “Maaf ya, aku sedang sibuk,” segera aku pergi meninggalkan Dave yang kebingungan dengan sikapku itu.
Sebenarnya aku sama sekali tidak sibuk. Aku hanya berusaha untuk menghindari Dave. Tidak tahu mengapa aku berbuat demikian. Aku hanya berpikir bahwa Dave bukanlah seseorang yang dapat dijadikan sebagai sahabatku. Memang, sebelum Dave datang ke kota kami, aku sudah sering mendengar tentang berita kepindahannya. Tanpa terasa, hampir semua orang di gereja mulai membicarakannya, dan rasa tidak suka mulai timbul dalam diriku terhadap Dave.
Ketika Dave tiba, dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, Dave sudah hampir mengenal semua orang! Terus terang, aku tidak begitu menyukai sikapnya yang kelihatannya seolah-olah ingin akrab dengan siapapun juga. Terlebih lagi sikapnya yang sepertinya ingin membantu menyelesaikan semua persoalan yang ada. Tidak jarang aku bahkan sengaja berargumentasi dengan Dave mengenai caranya di dalam menyelesaikan masalah, hanya demi menunjukkan kekesalanku atas sikapnya itu. Sepertinya, Davepun perlahan mulai tahu bahwa aku tidak menyukai dirinya.
Suatu ketika, kendaraan yang kukendarai mengalami kecelakaan. Meskipun tidak begitu parah, kendaraan itu tidak dapat dijalankan untuk sementara. Akupun mencoba untuk menelpon beberapa orang yang kukenal untuk meminta bantuan. Tetapi alangkah terkejutnya, justru orang yang pertama kali menelponku adalah Dave! Bahkan ia ingin datang untuk menjemputku! Pada saat itu itu aku bergumul dengan ke-egoisan-ku sendiri. Aku sebenarnya sama sekali tidak ingin dan tidak meminta bantuannya. Tetapi kondisi memang menunjukkan bahwa aku benar-benar membutuhkan bantuan dari seseorang.
Ketika Dave datang di tempat kejadian, wajahnya menatapku dan kendaraanku penuh dengan kekuatiran. Ia mulai bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dan ia sungguh-sungguh mengkuatirkan keadaanku. “Terima kasih Dave, tapi sungguh, aku tidak apa-apa.” Aku tersenyum padanya. “Maaf, aku merepotkanmu.” Aku sedikit tertunduk malu. “Jangan begitu, kita kan bersaudara. Kalau aku dalam kesukaran, kau juga pasti akan melakukan hal yang sama terhadapku.” Jawab Dave dengan senyuman yang penuh kepercayaan. “Ayo, kuantar dulu ke rumahku sambil kita mengurus masalah ini di sana,” ajak Dave sambil ia beranjak masuk ke dalam kendaraannya.
Aku terdiam sejenak. Sungguh di luar bayanganku! Selama ini aku sama sekali tidak menyukainya, tapi selama ini pula Dave tetap menganggapku seperti saudaranya sendiri. Aku semakin tertunduk terharu. Kemudian aku membuka pintu kendaraannya, menatapnya kembali dan membalas Dave dengan senyuman terima kasih. Senyuman yang membuat hatiku mulai terbuka, dan senyuman yang mendorongku untuk mulai mencoba merajut tali persahabatan.
Sejak saat itu, kami menjadi sahabat baik di dalam Kristus. Akupun sudah dapat menerima Dave apa adanya tanpa disisipi oleh prasangka-prasangka negatif tertentu. Meskipun dalam beberapa hal kami berbeda pendapat, kami tetap menghargai dan menerima perbedaan yang ada. Kami justru belajar dari perbedaan sikap yang kami miliki. Kami berdua berusaha untuk menolong satu dengan yang lain. Terlebih lagi, kami belajar untuk bertumbuh bersama-sama, menjadi saudara di dalam Kristus. Ya, itulah tali persahabatanku dengan Dave. Kami menerima kekurangan yang ada dan kami menghargai kelebihan yang ada—kami telah menjadi sahabat, terlebih lagi, menjadi saudara di dalam kesukaran.