SAUH BAGI JIWA
“Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?” (1 Korintus 3:3)
“Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?” (1 Korintus 3:3)
Umumnya, orangtua tidak akan merasa iri hati kepada anaknya sendiri. Seorang guru tidak akan merasa iri hati atas keberhasilan anak muridnya. Seorang suami juga tidak akan merasa iri hati kepada istrinya, jikalau mereka sehati dan satu tubuh. Namun, jika seorang suami memiliki sikap layaknya rekan kerja terhadap istrinya, maka saat sang istri menceritakan keberhasilannya kepada suaminya, bisa jadi si suami akan merasa iri hati. Jangankan pasangan suami-istri, sesama saudara kandung juga bisa saling iri hati, seperti halnya Miryam terhadap adik kandungnya sendiri, Musa.
Kitab Bilangan 12 menjelaskan bahwa Miryam dan Harun mulai menjelek-jelekkan Musa oleh karena Musa menikah dengan seorang perempuan Kusy. Tetapi sesungguhnya, perasaan iri hati pada Miryam dan Harun muncul karena Tuhan berfirman dengan perantaraan Musa (Bil 12:1-2). Miryam dan Harun, keduanya adalah pemimpin rohani bagi bangsa Israel. Namun, Tuhan hanya berbicara hadap-hadapan dengan Musa, tidak dengan Miryam ataupun Harun. Hal tersebut membuat mereka menjadi tidak senang dan iri hati.
Akhirnya, murka Tuhan bangkit terhadap mereka dan Miryam kena kusta. Akibatnya, ia harus dikucilkan selama tujuh hari dan bangsa itu tidak berangkat sebelum Miryam diterima kembali. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita, jika sesama jemaat saling iri hati, maka gereja tidak dapat bertumbuh dan berkembang, terutama di kalangan para pemimpin gereja. Bukan hanya Miryam yang menderita, melainkan seluruh bangsa Israel juga tidak dapat melanjutkan perjalanan. Oleh karena itu, pertumbuhan rohani erat kaitannya dengan bagaimana sikap hati kita terhadap satu dengan yang lainnya.
Contoh lainnya adalah kakak beradik Kain dan Habel. Pada kitab Kejadian 4, diceritakan bagaimana Tuhan mengindahkan Habel dan korban persembahannya. Sedangkan, Kain dan korban persembahannya sama sekali tidak diindahkan oleh Tuhan (Kej 4:4-5). Hal tersebut membuat hati Kain sangat panas dan memuramkan mukanya. Rasa iri hati yang terus bertumbuh dalam hati Kain mendorongnya untuk memukul Habel, adiknya, lalu membunuh dia.
Sekarang ini, korban persembahan Kain dan Habel melambangkan pekerjaan pelayanan kita pada Tuhan. Jika kita melayani dengan iman yang baik, maka Tuhan akan menerimanya. Kain tidak memberikan yang terbaik dalam persembahannya, sedangkan Habel melakukan persembahannya dengan iman. Kitab Ibrani 11:4 memberitahukan kepada kita bahwa persembahan Kain tidak dilakukan dengan iman. Artinya, meskipun Kain sudah memberikan persembahan, hatinya tidak berkenan di hadapan Tuhan—hatinya panas dan mukanya muram—oleh karena rasa iri hati terhadap adiknya sendiri.
Jika kita melakukan tugas pelayanan diiringi dengan hati, sikap, dan motivasi yang benar serta melakukannya dengan iman, maka Tuhan akan mengindahkannya. Sebaliknya, apabila kita melakukan tugas pelayanan dengan terpaksa bahkan dengan sungut-sungut, persembahan yang demikian tidak jauh berbeda dengan persembahan Kain yang tidak diindahkan Tuhan.
Terlebih lagi, jika dalam pelayanan, hati kita menjadi panas begitu mengetahui ada orang lain yang dapat melakukan tugas pelayanan lebih baik dari kita; maka selain perasaan iri hati yang mencuat, jangan-jangan kita akan berbalik menyalahkan Tuhan dan menganggap bahwa Tuhan sungguh tidak adil. Bukankah hal tersebut telah dilakukan oleh Miryam dan Kain? Perasaan iri hati, bukanlah dari atas melainkan dari dunia.