SAUH BAGI JIWA
“Hormatilah ayahmu dan ibumu—ini adalah suatu perintah yang penting…” (Efesus 6:2)
“Hormatilah ayahmu dan ibumu—ini adalah suatu perintah yang penting…” (Efesus 6:2)
Saya masih cukup terkesan dengan sebuah cerita drama yang mengambarkan tentang pergumulan antara seorang ibu dengan anaknya. Ibu ini memiliki seorang anak, namun hubungan mereka tidak terlalu baik. Anaknya yang bernama Andrew sangat membenci ibunya karena ia merasa bahwa kebebasan hidupnya sangat dikekang.
Suatu ketika, Andrew datang kepada ibunya dengan permintaan agar ia dibelikan sebuah mobil. Namun, ibunya berkata, “Jika kamu ingin memiliki mobil, sebaiknya kamu mencari pekerjaan dari sekarang!” Kemudian jawab Andrew kepada ibunya, “Untuk apa saya bekerja? Saya memiliki uang warisan dan mampu membelinya tanpa harus bekerja!”
Karena hal tersebut, mereka bertengkar dengan hebatnya. Akhirnya Andrew merencanakan untuk memfitnah ibunya sendiri. Ia membuat dirinya menjadi babak belur, lalu menyewa seorang pengacara dan mengatakan bahwa ibunya—seorang pecandu alkohol—yang telah memukulinya. Dengan tuntutan ini, Andrew berharap agar ia dapat memperoleh harta warisan yang diinginkannya. Tetapi setelah ibunya mengetahui bahwa Andrew-lah yang melakukan semua itu, ia tidak tinggal diam. Ibunya mulai membuang seluruh minuman beralkohol yang dimilikinya untuk memulihkan kecanduannya.
Melihat ibunya bertekad melepaskan diri dari kecanduan alkoholnya, akhirnya ia bertanya kepada ibunya, “Mengapa ibu tidak membiarkan saya mengelola warisan saya dan hidup sendiri? Saya sudah berumur tujuh belas tahun, dan dalam setahun lagi saya juga akan keluar dari rumah ini dan tinggal sendiri!” Kemudian dengan tegas ibunya menjawab, “Ibu belum selesai dengan kamu. Ibu masih memiliki tugas untuk mengajari kamu hal yang benar, dan kamu bahkan belum menjadi setengah dari seorang pria dewasa yang seharusnya.”
Tanpa mengetahui akhir dari cerita tersebut, kita sudah dapat menebak bahwa setidak-tidaknya, perkataan sang ibu pada akhir kalimat di atas cukup membuat Andrew termenung sejenak memikirkan kata-kata ibunya. Tidak jarang, seperti halnya Andrew dengan ibunya, kita juga pernah berbeda pendapat dengan ibu kita, merasa bahwa pendapat ibu kita sungguh tidak masuk akal dan hanya merugikan kebebasan diri kita. Akibatnya, “perang mulut” dengan ibu tidak terelakkan. Pernahkah kita berbuat hal yang demikian?
Setiap orang pada hakekatnya memiliki pendapat yang berbeda-beda, baik itu sang ibu maupun si anak. Kedua-duanya melihat dan menilai sesuatu hal menurut pengalaman dan cara pandangnya masing-masing. Inilah yang menyebabkan perbedaan pendapat, dan seringkali juga mengakibatkan pertengkaran antara ibu dan anak.
Tetapi Firman Tuhan kembali mengingatkan kita bahwa apa pun bentuk perselisihan kita dengan ibu, hendaklah kita menghormatinya (Ef. 6:1-3), sebab hal tersebut adalah indah di dalam Tuhan (Kol. 3:20). Memang, terkadang perselisihan tidak dapat dihindarkan. Namun, perselisihan dapat membuat kita belajar bertumbuh, setidaknya untuk “menjadi setengah dari seorang laki-laki atau perempuan dewasa yang seharusnya.”
Dari perselisihan, kita dapat belajar untuk menghormati pendapat yang berbeda dan menghargai cara pandang yang berlainan atau bahkan bertentangan dengan cara pandang kita pribadi. Dan yang terpenting adalah, melalui perselisihan, kita dapat belajar untuk mengolah kembali apa pun bentuk nasihat yang diberikan ibu kepada kita, dan yakin bahwa sebenarnya niat dan tujuan ibu adalah untuk kebaikan dan kedewasaan kita.