SAUH BAGI JIWA
“Elia adalah manusia biasa sama seperti kita.” (Yak. 5:17)
“Elia adalah manusia biasa sama seperti kita.” (Yak. 5:17)
Ketika Elia berhadapan dengan 450 nabi Baal dan 400 nabi Asyera dari raja Ahab dan istrinya Isebel, dengan berani ia berdiri sendirian membela nama Allah melawan mereka. Tetapi sewaktu Isebel menyampaikan pesan kepadanya bahwa besok ia akan dibunuh, Elia melarikan diri ke padang gurun. Lalu ia duduk di bawah pohon arar, dan merengek agar Allah mencabut nyawanya.
Perubahan sikap Elia yang drastis dan dramatis itu membuat kita bingung. Bayangkan, sewaktu di gunung Karmel, Elia sama sekali tidak takut berhadapan dengan raja Ahab beserta 850 nabi palsunya. Tetapi sekarang mengapa Elia bisa demikian ketakutan sewaktu seorang perempuan mengancam mau membunuhnya? Bukan saja takut, Elia melarikan diri dan memohon agar Allah mencabut nyawanya. Bahkan setelah Allah mengasihaninya dan mengutus malaikat memberinya roti dan air, Elia masih berbaring saja, sama sekali tidak kelihatan tekadnya untuk terus berjuang.
Empat puluh hari kemudian, ketika dia tiba di Gunung Horeb, Elia tinggal di dalam gua. Dua kali Allah bertanya: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” Elia tetap menggerutu, mengatakan dirinya bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, dan sekarang hanya dia seorang dirilah yang masih hidup dan orang-orang ingin membunuhnya.
Alkitab menuliskan perubahan drastis perasaan Elia setelah menghadapi serangkaian kejadian, hal ini sungguh membuat kita heran! Ternyata nabi besar yang sangat beriman dan kuat ini juga sama seperti kita yang dengan mudah dapat dikuasai perasaan negatif. Bukankah baru saja dia berperang demi Allah? Mengapa sebentar saja dia sudah berubah mau melarikan diri, bersembunyi dan bersungut-sungut? Kita yang lemah iman sering merasa ragu, takut dan gelisah. Ternyata Elia juga manusia biasa sama seperti kita!
Apabila kita melihat diri kita sendiri, kita pun sama seperti Elia. Baru saja giat-giatnya bekerja untuk Tuhan sekalipun menghadapi banyak kesulitan, tetapi begitu ada orang yang iri hati lalu memfitnah kita, seperti Isebel yang bersuara mengancam Elia, kita langsung mau mengundurkan diri dan lari.Saat itu bukan saja iman kita terpengaruh, kita juga berhenti melayani Tuhan, merasa lebih baik diri sendiri tidak ada. Jadi kalau nabi besar saja bisa mengalami seperti itu, maka tidak heran kita juga bisa mengalaminya.
Hanya saja, bila kita tidak mau rohani kita stagnasi di tingkat minum susu saja, bila kita ingin bertumbuh dan dapat memakan makanan keras, maka kita tidak boleh terlena dalam keadaan ini, laksana bunga yang berada di dalam ‘rumah hangat’ dan tidak tahan dilanda angin hujan.
Kiranya kita memiliki semangat Elia yang bekerja segiat-giatnya tanpa takut untuk Tuhan, tetapi jangan mengikuti kelemahannya sewaktu lari menyelamatkan nyawa dan memohon mati!