Suara Sejati
Teladan Gereja di Eropa (Bagian Akhir)
Sdr. Albert Santoso, Gereja cabang Samanhudi, Jakarta
Tidak mudah untuk tetap mengingat seseorang yang hanya ditemui beberapa kali dalam setahun, tetapi perhatian yang saya dapatkan dari saudara seiman sungguh berbeda dengan yang saya dapatkan dari teman-teman saya yang lain. Saya jadi merasa malu. Seringkali saya merasa bahwa hidup saya yang terpenting, dan ketika ada saudara seiman yang curhat, kita bersedih bersama, lalu sudah. Lupa. Saya menganggap itu semua lumrah, dan take it for granted (memang sudah sepatutnya demikian). Saya sungguh merasakan pengalaman yang berharga bisa mendapatkan perhatian seperti pemuda yang ada di Eropa ini.
Hal lainnya yang juga begitu menyentuh hati saya adalah soal pelayanan. Ambil contoh gereja yang saya kunjungi (Rheinland). Di sini hanya ada 3-6 pemuda. Para pemuda inilah yang menyapu dan mengepel aula dan dapur, menyiapkan kelas anak-anak, menjadi pemimpin pujian, penerjemah, pengkhotbah, kadang memasak dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa pemuda yang sudah menjadi pengurus gereja dikarenakan banyaknya jemaat yang sudah lanjut usia di gereja. Seringkali beberapa pemuda pun dikirim untuk membantu melayani (menjadi guru agama, atau pengkhotbah) di beberapa gereja di Spanyol, Italia atau Yunani.
Untuk melayani Tuhan, tentu saja bukan hanya waktu atau uang yang dibutuhkan. Setiap pemuda harus cukup memahami Alkitab agar punya bekal pengetahuan yang benar, mengikuti pelatihan homiletik, dan terlebih lagi berserah kepada Tuhan. Saya merasa, banyak kepribadian dari pemuda yang saya temui di Eropa bisa menjadi teladan. Mereka bisa berdiri teguh di tengah budaya yang begitu bebas. Bahkan beberapa pemuda di Inggris bisa membagikan flyer di jalan atau terbang ke Afrika untuk penginjilan. Saya sendiri masih suka enggan untuk menginjil, tetapi kehidupan pemuda di sini mengajarkan bagaimana melayani Tuhan merupakan suatu yang berharga dan bukan beban. Mengapa harus takut untuk berbagi kabar baik kepada sekitar kita. Kita tidak pernah tahu bagaimana Tuhan memanggil seseorang. Sungguh saya jadi merasa malu atas rasa enggan saya sendiri.
Saya juga kagum dengan konsep berpikir pemuda yang ada di Eropa. Sebagai seorang pemuda, tentu saja kita akan menghadapi pertanyaan kapan menikah. Ini pertanyaan yang suka membebankan, dan kadang menyebalkan. Tetapi yang saya ingin bagikan adalah bagaimana beberapa pemuda di Eropa menghadapi pertanyaan tersebut. Tindakan mereka ketika menghadapi pertanyaan tersebut bukan hanya berdoa, tetapi juga berusaha mencari di dalam gereja. Bagi pemuda yang sudah cukup umur, mereka sangat aktif mengikuti kegiatan kepemudaan. Hal ini bukan saja dapat menumbuhkan iman mereka sendiri, tetapi juga mencari kecocokan dengan pemuda-pemuda dari cabang lain.
Dalam mencari pasangan, mereka seringkali memasukkan beberapa kriteria rohani seperti seberapa aktif pelayanan dan apakah akan siap melayani ketika sudah menikah. Buat mereka, adalah satu hal yang aneh ketika seseorang bertanya apakah menikah harus dengan yang seiman. Dan ketika mereka merasa cocok, mereka berdoa bersama, meminta nasihat orang-orang yang lebih dewasa, dan ketika sudah siap, mereka merencanakan untuk menikah. Hal ini merupakan tradisi yang tidak umum di daratan Eropa, yang mana umumnya seseorang menikah setelah berpacaran dan tinggal bersama. Tetapi pemuda-pemuda ini bisa tetap teguh dan tidak terpengaruh oleh zaman. Buat saya, keteguhan hati mereka dan kedewasaan mereka dalam berpikir merupakan hal yang dapat saya teladani.
Saya tahu bahwa setiap kehidupan pemuda unik dan berbeda, dan selalu penuh dengan pasang surut. Tetapi saya belajar selama dua setengah tahun ini untuk menjadi pemuda yang beriman mandiri, yang mengutamakan Tuhan dalam setiap tindakan dan pemikiran dan teguh tak terpengaruh zaman.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
Amin