Suara Sejati
Domba ke-Seratus (Bagian Pertama)
Sdri. Michelle, Gereja cabang Pungkur, Bandung
Ada dikatakan bahwa perjalanan iman kita adalah sebuah maraton, bukan ajang lari cepat. Bagi saya, maraton ini dimulai ketika saya duduk di kelas 2 SD. Pada waktu itu, keluarga saya baru saja pindah ke Bandung. Sejak itu, ibu saya membawa saya dan saudara perempuan saya ke Gereja Yesus Sejati (GYS) cabang Pungkur. Setiap minggu kami mengikuti kebaktian anak di hari Minggu, tetapi kami tidak memegang Sabat. Bagi kami saat itu, pergi ke GYS tidak berbeda dengan ke gereja-gereja lain. Hal ini disebabkan ketidakmengertian kami tentang Alkitab dan doktrin-doktrin gereja. Seiring berjalannya waktu, saya mulai mengenal kebenaran dan memahami pentingnya memperoleh Roh Kudus. Secara rutin, ada kegiatan doa memohon Roh Kudus di kebaktian anak, dan oleh karena kasih karunia Allah, saya memperoleh Roh Kudus ketika saya kelas 6 SD. Saya sangat bersyukur memperoleh Roh Kudus, tetapi saya tidak menduga saat itu bagaimana Roh Kudus akan menolong saya mengarahkan perjalanan kepada-Nya di tahun-tahun kemudian. Karena saya telah mengikuti kebaktian di gereja selama beberapa tahun tetapi belum pernah mengikuti kebaktian Sabat, teman-teman saya mulai mengingatkan tentang pentingnya memegang hari Sabat dan mengajak saya untuk mencoba mengikuti kebaktian Sabat. Setelah beberapa kali diingatkan, saya mulai mengikuti kebaktian Sabat. Hal ini menjadi tonggak baru dalam maraton iman saya.
Di tahun 2014, saya memperoleh kesempatan untuk meneruskan pendidikan di Singapura. Walaupun saya pergi tanpa disertai keluarga, saya tidak merasakan sendirian, karena ada komunitas pelajar Indonesia yang erat di asrama. Di minggu pertama saat kami tiba, salah satu kakak kelas mengajak saya ke acara minum teh di gerejanya. Karena saya belum pergi ke GYS di Singapura, saya mengikuti acara tersebut, merasa bahwa acara ini dapat menjadi wadah yang bagus untuk mengenal lebih banyak orang. Acara itu menyenangkan dan saya merasa disambut oleh komunitas gereja. Pada akhirnya, saya terus mengikuti kebaktian di gereja itu dan tidak pergi ke GYS. Pikiran untuk kembali ke GYS hanya muncul ketika saya kembali ke Bandung saat liburan. Di sana, saya bertemu dengan jemaat-jemaat Gereja Pungkur dan mereka terus bertanya apakah saya sudah mengikuti kebaktian di GYS Singapura. Dengan jujur, saya mengakui bahwa saya belum pergi ke sana, pertama karena saya merasa nyaman di gereja kakak kelas saya, dan kedua, saya merasa malas dan tidak cukup berani untuk mencari jalan sendiri ke GYS. Pada waktu itu, mencari jalan ke tempat baru sangatlah merepotkan bagi saya karena saya tidak berbakat dalam hal arah. Namun mereka terus mengingatkan saya. Saya tidak segera mengikuti nasihat mereka, tetapi perlahan-lahan saya mulai disadarkan. Mengikuti kebaktian di gereja kakak kelas saya pelan-pelan semakin menjadi sekadar perkumpulan sosial untuk bertemu teman-teman ketimbang mencari Allah dan Firman-Nya. Saya mulai menyadari bagaimana saya tidak merasa dibangun setelah mendengarkan kebaktian. Khotbah yang disampaikan lebih menyerupai pelajaran hidup ketimbang Firman Allah. Saya mulai merasakan kehampaan. Setelah merenungkan apa yang diingatkan jemaat Gereja Bandung, saya memutuskan untuk kembali ke GYS. Saya masih belum berani mencari jalan sendiri ke sana, jadi saya meminta pertolongan dua teman saya untuk pergi ke sana.
Kebaktian pertama yang saya ikuti di GYS Singapura adalah kebaktian pemuda di hari Minggu. Ketika saya masuk ke aula, di sana ada rasa damai yang tidak saya duga. Saya telah lama melupakan bagaimana rasanya berada di gereja Allah yang benar. Kesan itu terasa sangat mendalam, sehingga saya masih ingat judul khotbah saat itu, yaitu “Iman yang Suam-Suam Kuku”. Minggu-minggu berikutnya, saya mulai mengikuti kebaktian Sabat. Jemaat-jemaat menyambut saya dengan baik, tetapi saya masih terikat dengan teman-teman yang berada di gereja kakak kelas saya. Jadi, saya mengikuti kebaktian Sabat di GYS pada hari Sabtu, lalu pergi ke kebaktian pemuda di gereja kakak kelas pada hari Minggu. Pada waktu itu, saya merasa seperti melayani dua tuan (Mat. 6:24). Pergi ke GYS memberikan rasa damai, sementara pergi ke gereja Indonesia menyenangkan karena semua teman-teman saya ada di sana. Berminggu-minggu, saya bersikap tidak setia dengan Allah yang benar. Saya mulai merasa lebih buruk karena menyadari bahwa hal ini tidaklah benar. Namun saya masih berpikir-pikir bagaimana caranya meninggalkan gereja kakak kelas saya, karena saya merasa tidak enak meninggalkan teman-teman saya, dan masih merasa bingung bagaimana caranya saya dapat memberitahukan kepada koordinator pemuda bahwa saya akan mengundurkan diri dari tim musik (saat itu saya adalah pemain keyboard). Keputusan ini sangat sulit, tetapi saya juga menyadari bahwa hal itu harus dilakukan.
Sekarang setelah saya kembali ke GYS, saya mengikuti kebaktian Sabat, tetapi tidak penuh. Seminggu lewat seminggu, saya mulai mengenal teman-teman di GYS dan saya sangat bersyukur bahwa Allah mengajak saya kembali ke gereja-Nya tanpa teguran atau pun hukuman.
Di Singapura, baptisan air dilakukan dua kali dalam setahun, dan karena jemaat-jemaat gereja mengetahui bahwa saya belum dibaptis, mereka selalu mengingatkan agar saya menerima baptisan sesegera mungkin. Pada waktu itu, saya menyadari pentingnya dibaptis, tetapi saya masih belum merasa hal itu sebagai sesuatu yang mendesak. Lebih lagi, saya masih berumur 18 tahun ke bawah, jadi saya memerlukan tanda tangan orang tua sebagai persetujuan untuk dibaptis. Setiap kali saya meminta izin mereka, orang tua tidak pernah melarang secara terbuka, tetapi mereka selalu menganjurkan saya untuk menunggu sampai saya lebih tua. Setelah dua tahun berlalu,……
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian terakhir
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin