Suara Sejati
Berjalan Bersama Indah (Bagian Akhir)
“Sdr. Agung Supriyanto, Gereja cabang Solo”
Aku dan calon istri mempersiapkan sendiri. Mulai dari seserahan, sewa gedung, undangan dan catering. Soal biaya, kami berusaha untuk tidak membebankan keluarga dan semua harus kami tanggung sendiri. Kami ingin bersikap dewasa.
Saat hari itu tiba, aku dan istri mengenakan baju adat Jawa. Kami diberkati di Gereja Yesus Sejati Surakarta, tanggal 14- Juli-1996. Sah sudah kami menjadi Pasangan Seiman di hadapan Tuhan Yesus dan manusia. Kami puas & bahagia.
Besoknya, kami pergi ke Bali—hadiah pernikahan dari kantor. Tiket pesawat, kamar hotel selama lima malam dan tur jalan-jalan; semuanya ini gratis dari kantor.
Tentu kami bahagia dan merasa bersyukur untuk semua hal ini. Selama di perjalanan, kami selalu bergandengan tangan. “Berjalan bersama Indah.” Kami menikmati berkat Tuhan dengan penuh rasa syukur. Hingga akhirnya kami harus kembali ke kota asal, untuk melanjutkan aktivitas selanjutnya.
Sebagai suami istri, kami menjalani hari-hari dengan saling menghargai. Rumah tangga kami terasa bahagia dan damai. Tanggal 9-Januari-1998, kami dikaruniai seorang putra. Nama yang kami berikan: Mahendra Yoga. Anak ini kami didik dan besarkan dengan cinta kasih di dalam Tuhan. Kami mengajaknya untuk kebaktian Sabat dan kelas anak.
Beberapa tahun kemudian, tanggal 25-Desember-2003, kami kembali mendapat titipan seorang putra, yang kami beri nama: Natanael Christian Yogi. Kami sangat bahagia. Setiap tanggal merah, kami selalu mengajak anak-anak bermain di luar. Terkadang, kami pergi ke tempat yang menarik untuk anak. Terkadang, kami pergi memancing ikan bersama.
Tanggal 20 Mei 2008, saat kami mengajak anak rekreasi pergi memancing, Yoga–anak sulung kami– batuk terus menerus. Lalu kami membawanya ke dokter. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa terdapat lapisan lemak yang menutupi jantungnya. Dokter menyimpulkan bahwa hal tersebut tidak berbahaya, asalkan sang anak banyak melakukan olahraga.
Tetapi malam itu, Yoga masih terus batuk. Yoga terlihat begitu sangat kesakitan dan Yoga menangis terus. Kami segera menuju ke Rumah Sakit. Saat itu, listrik padam dan jalan menjadi gelap gulita. Entah mengapa hatiku cemas sekali.
Sampai di ruang Instalasi Gawat Darurat, ternyata Yoga sudah tidak tertolong. Anak sulung kami berpulang selamanya di usia sepuluh tahun. Kami sangat terpukul. Kami masih merasa tidak percaya, sebab Yoga adalah buah hati yang kami besarkan bersama. Sungguh, ini bagaikan sebuah mimpi buruk yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Mencoba menguatkan hati, aku membisikkan kepada istri sebuah kalimat, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.” Kami pulang dari Rumah Sakit dengan membawa jenazah. Malam itu, seluruh tetangga hadir dan mereka ingin membantu. Saat kami tiba di rumah, listrik masih padam dan masih gelap gulita. Tetapi ketika jenazah dimasukkan ke dalam rumah, lampu kembali menyala. Aneh sekali peristiwa itu. Karena sudah ada listrik, semua orang mulai melakukan persiapan untuk pemakaman besok.
Besoknya, Gereja mengadakan Upacara Pemakaman. Pendeta dan jemaat datang menghibur kami. Tetapi istri masih belum bisa menerima hal ini. Dia merasa hidup ini tidak adil. Sebagai seorang ibu, dia yang melahirkan dan lebih dekat dengan anak. Tentu hatinya hancur.
Sudah beberapa hari, istri masih tetap tidak mau makan dan minum. Aku tidak dapat berbuat banyak. Aku hanya bisa membujuk dan mengingatkan bahwa di mata Tuhan, semua anak adalah titipan.
Puji Tuhan, setelah sekian waktu berlalu, istri mulai bisa menerima kenyataan ini. Bagaimana pun, kami harus memberi perhatian kepada Natan, anak bungsu kami. Dia sudah lima tahun. Dia pun merasa sedih saat kakaknya meninggal dan dia kehilangan teman bermainnya.
Sungguh, perihal “Hidup dan Mati,” perihal “Malang dan Mujur,” semua ini harus diterima dengan ikhlas.
Kami kembali bergiat di dalam pelayanan Gereja. Aku dan istri mengajar di Sekolah Minggu. Belakangan, kami terpikir untuk memiliki anak lagi karena sekarang hanya tersisa satu anak, sebab yang satu sudah tidak ada.
Kami sudah mencoba berkonsultasi ke Dokter kandungan dan mengikuti programnya. Tetapi hasilnya selalu gagal dan gagal lagi. Akhirnya, aku dan istri DOA bersama, memohon Tuhan Yesus yang memberikannya.
Tidak lama kemudian, DOA kami dikabulkan. Istri kembali hamil. Jarak anak ke-2 dan ke-3 adalah sembilan tahun. Tanggal 1-April-2012, kembali Tuhan mempercayakan titipanNya, seorang anak, yang kami beri nama: Ivan Dimasyogi. Aku dan Istri sangat bersyukur.
Kami didik anak-anak di dalam Tuhan, supaya mereka rajin kebaktian dan giat dalam pelayanan. Saat ini, Natan—anak ke-2—sudah berada di kelas 11. Ivan—anak bungsu—sudah berada di kelas 4 SD. Tuhan memberikan hikmat kepadanya. ia selalu mendapat prestasi baik di sekolah.
Semua yang sudah berlalu. Pengalaman ini membuktikan bahwa Tuhan Yesus amatlah baik. DIA hanya ingin melihat hati manusia. Suka dan duka kami sudah lewati di dalam DOA bersama. Sungguh, hidup terasa ringan saat kita berjalan bersama dengan seorang penolong hidup yang seiman. Dan sungguh, hidup terasa indah sejak aku “berjalan bersama INDAH” sesuai dengan nama istriku, Indah Maryani.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin