Suara Sejati
Aku Tulang Rusuk Siapa (Bag 2)
“Sdri. Sari Kristin”
Suatu hari, dia datang melamarku. Tentu aku senang dan menjawab “bersedia.” Tetapi aku utarakan hal yang mengganjal di hati, yaitu kalau ingin menikah, maka harus menikah di Gereja-ku, supaya kami dapat menjadi: “satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan.”Dia berkata a bahwa ia sudah menjadi jemaat di gereja lain. Oleh karena itu, dia berkata bahwa itu berarti kami sudah satu iman. Tetapi aku dengan tegas menjawab, ”Tidak, itu belum.” Pokoknya, dia harus dibaptis di Gereja-ku.
Sering kami berdiskusi soal ajaran Gereja-ku. Dia mencoba untuk mencari informasi di internet mengenai Gereja Yesus Sejati dan mengenai Sepuluh Dasar Kepercayaan. Setelah membaca itu, dia berkata kalau Gereja-ku bagus, seperti halnya Gereja zaman para rasul. Hanya saja, dia menambahkan, kalau semua gereja zaman sekarang sama saja. Tidak masalah, ke gereja mana pun sama saja, semua menyembah Yesus. Namun aku tetap berkata, ”Tidak sama.”
Aku sudah berusaha semaksimal mungkin supaya dia mau ke Gereja-ku dan dibaptis. Aku sungguh berharap jika teman pria ini adalah yang terakhir, karena dia memang sangat baik. Bukan cuma baik terhadapku, tetapi terhadap seluruh keluargaku. Mereka berharap aku segera menikah.
Saat kujelaskan ganjalan dihatiku, aku malah dimarahi oleh keluarga. Mereka menjelaskan bahwa yang penting sudah sesama Kristen, kan sama aja sehingga aku tidak boleh fanatik lagi dalam hal kepercayaan.
Entah mengapa, hatiku tetap merasakan bahwa hal ini adalah suatu ganjalan. Tetap kubawa dalam DOA, memohon kepada Tuhan Yesus.
Belakangan, temanku ini mengambil “langkah cepat.” Dia sudah bersiap untuk menikah. Rumah, acara pesta, katering, lokasi acara, dan lain sebagainya sudah dia siapkan. Jujur saja, hatiku makin tertekan.
Suatu ketika di sebuah Restoran, dia kembali melamar, sambil memberikan sebuah kalung. Dia menyampaikan keseriusannya untuk menikahiku. Aku kembali utarakan hal yang sama, bahwa dia harus mulai beribadah di Gereja-ku.
Saat itu, dia marah besar dan berkata, “kamu tidak serius ingin menikah! Masa yang dibahas cuma soal gereja melulu? Kalau begitu, kamu cocok menikah dengan Pendeta saja sekalian!”
Lalu dia tetap bersikeras mengatur segalanya. Hatiku semakin tidak nyaman. Persiapan nikah tetap berjalan terus. Aku mulai merasa bimbang dan kembali berdoa, “Tuhan, kalau dia memang jodoh dari Engkau, mungkinkah nanti setelah menikah bisa kuajak dia ke gereja?”
Teman-temanku di Gereja Bandung tidak mendukung. Mereka berkata bahwa pernikahan tidak seiman tidak diperbolehkan dalam firman Tuhan. Mereka menceritakan contoh kasus serupa dan memintaku untuk tidak menyerah.
Bahkan ada seorang teman mengingatkan akan pesan yang keras sekali dari kitab Kejadian pasal 6—yang membahas tentang “kejahatan manusia”, tentang “anak-anak Allah” yang menyukai “anak-anak manusia,” dan hal ini adalah jahat di mata Tuhan.
Namun, aku tidak sanggup kehilangan dia. Lalu aku berdoa dan berpuasa, memohon, “Tuhan, jika ini jodoh yang Engkau berikan, mohon buat dia bisa ke Gereja-Mu dan dibaptis. Tapi kalau bukan, mohon buat dia yang memutuskan hubungan kami.”
Suatu siang, dia menelpon dan ia menyampaikan kalau ia ingin bicara secara serius. Ketika itu aku sedang bekerja. Hal ini terasa tidak biasa sebab saat dia butuh untuk berbicara serius, biasanya ia selalu tatap muka tidak pernah melalui telepon. Pembicaraan dengan telepon hanya dipakainya untuk hal-hal ringan. Dia mengatakan, ”Kalau kamu memang belum yakin dengan ketulusan hati saya, sudahlah. Hubungan kamu dengan saya tidak bisa berjalan sepihak. Baiklah, saya akan melepaskanmu.” Selesai telepon, aku pergi ke toilet kantor dan menangis tersedu-sedu di dalam sana. Di satu sisi, aku merasa hancur. Namun di sisi lain, hati ini terasa lega sekali. Sekarang sudah terjawab, ternyata yang baik menurutku, bukan yang terbaik menurut Tuhan.
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian KETIGA
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
Amin