Suara Sejati
Hadiah Terindah
“Sdri. Oei Tan Hong, Gereja cabang Bandung, Jawa Barat”
Tanggal 29 Mei 1999, saya dan anakku yang bungsu dalam perjalanan pulang ke rumah. Ditengah perjalanan angkutan umum yang kami tumpangi diberhentikan orang. Ketika orang tersebut naik, ia langsung menyapa supir dan mengoceh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Saya dan tiga ibu-ibu langsung terkejut melihat keadaan ini dan bermaksud turun, tapi tidak berani karena orang itu berdiri di depan pintu masuk. Tak lama kemudian, orang yang sedang mabuk itu duduk di sampingku dan tiba-tiba memegang tanganku sambil berkata bahwa anak ibu cantik yah.
Saya syok dan ketakutan diperlakukan seperti ini. Setelah rasa terkejutku hilang, aku meminta supir berhenti dan kami turun.
Sampai di rumah, tak lama kemudian aku mengalami pusing dan muntah-muntah. Malam harinya, suami membawaku ke dokter dan dokter memberikan obat selama tiga hari. Setelah minum obat dari dokter, rasa sakit kepala dan muntah-muntahnya hilang.
Obat dari dokter sudah habis pada Selasa malam dan pada hari Rabu pagi sakit kepala dan muntah-muntahnya kambuh lagi. Aku menelepon suami memintanya pulang ke rumah. Suami memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit mendatangi dokter spesialis penyakit dalam.
Dokter terkejut melihat tekanan darahku mencapai 180/130, lalu memutuskan aku harus menjalani rawat inap karena didianogsa mengalami stroke. Di ruang inap, aku tidur tanpa bantal dan hanya diperbolehkan dengan posisi terlentang. Setiap hari, sebelum dan sesudah pulang kerja suami mampir ke rumah sakit tapi aku tidak mengizinkannya menginap.
Beberapa hari sebelum aku diizinkan pulang, aku mengalami penglihatan dalam mimpi. Malam itu, setelah mengobrol, aku menyuruh suami untuk pulang. Setelah ia keluar ruangan, aku berpikir untuk berdoa dulu. Selesai berdoa, walau belum mengantuk aku tetap memejamkan mata, karena kamar sudah dalam keadaan gelap.
Entah bagaimana, tiba-tiba aku mendapatkan penglihatan. Suami yang baru saja pulang, seolah-olah sudah berada di samping ranjangku. Aku tadinya mau bertanya mengapa ia balik lagi, ternyata orang yang aku sangka sebagai suamiku — karena wajah dan pakaian yang sama, wajahnya langsung berubah. Orang tersebut mukanya berubah menjadi hitam dan di atas kepalanya ada dua tanduk kecil.
Belum hilang rasa kagetku, di atas langit-langit kamar, aku diperlihatkan puluhan jenis binatang menjijikan; ada kecoa, kalajengking, ular dan berbagai jenis binatang yang aku tidak tahu namanya.
Dalam keadaan ketakutan, aku mendengar “orang yang berwajah hitam” itu berkata, “Bawa perempuan ini untuk dipersembahkan.” Selesai berkata, tahu-tahu aku berpakaian jubah putih dan digotong oleh empat orang laki-laki berpakaian hitam. Dua orang memegang tangan dan dua orang memegang kakiku.
Pada saat itu, aku seperti tersadar dan berteriak sekuat tenaga, “Dalam nama Tuhan Yesus enyah kau!” Setelah itu, aku baru benar-benar tersadar, dan ternyata aku sudah dalam keadaan berdiri di samping ranjang dengan tiang infus yang hampir jatuh, tetapi berhasil kutangkap.
Dengan kondisi masih bingung, aku naik ke ranjang. Setelah berada di ranjang, aku masih tidak mengerti bagaimana caranya tadi aku bisa berdiri di samping ranjang, padahal aku dalam keadaan berbaring.
Keesokan malamnya, aku mengalami hal yang sama, seolah- olah aku berada di suatu ruangan dengan kondisi tidur di ranjang kecil yang menempel pada tembok sebelah kanan. Sedangkan di tembok sebelah kiri yang jaraknya kira-kira sepuluh meter, aku melihat sebuah peti mati yang sudah dalam keadaan terbuka.
Di ruangan itu, selain aku terdapat lagi dua orang perempuan tua dan muda memakai pakaian serba hitam dan rambut digulung — seperti yang ada di tempat ibadah agama tertentu. Lalu perempuan yang lebih tua berkata pada yang lebih muda seperti ini: “Orang ini sudah meninggal, tutupi saja dengan kain merah.” Lalu yang muda menarik kain merah yang tergulung di kakiku.
Ketika hampir mencapai leher, aku berteriak, “Dalam nama Tuhan Yesus enyah kau!” Kain merah itu tiba-tiba bergulung lagi ke kakiku. Ini terjadi sampai dua kali. Ketika yang muda berusaha lagi menarik kain merah itu, aku berteriak lebih keras dan akhirnya aku terbangun dan dalam kondisi masih di ranjang.
Keesokan malamnya, ketika aku dan suami sedang mengobrol, hujan turun dengan lebatnya. Suami berkata tidak bisa pulang dulu karena tidak bawa payung dan parkir mobilnya juga jauh.
Tak lama setelah itu, ternyata atap ruangan ada yang bocor. Pihak rumah sakit memutuskan untuk memindahkan ku ke ruangan lain dan ternyata di ruangan itu hanya ada satu ranjang saja. Suami tahu saya tidak akan bisa tidur sendiri dan memutuskan untuk tidak pulang, dan kebetulan juga hari Sabtu.
Ternyata malam itu, aku mengalami hal yang sama lagi. Kali ini seolah-olah di samping ranjangku berdiri dua orang laki- laki tua dan muda. Yang tua berkata pada yang muda bahwa kita harus membunuh orang ini. Ketika mendengar perkataan itu, saya berteriak, “Dalam nama Tuhan Yesus enyah kau!” Dan saya terbangun dalam posisi duduk di ranjang dan suami juga ikut terbangun.
Keesokan sorenya, suster mencabut infus ku dan mengizinkan ku untuk duduk. Puji Tuhan, malam harinya aku tidak mendapatkan gangguan.
Keesokan harinya, pagi-pagi suami bertanya kepada dokter apakah aku diizinkan pulang, dan ternyata diberikan izin. Sampai di rumah dan baru saja duduk di ranjang, suami berkata kepadaku, “Mih, selama ini Mamih tidak pernah minta apa pun, kalau sekarang Mamih minta apa saja pasti akan dikabulkan.” Sampai dua kali aku bertanya apa betul permintaanku akan dikabulkan, dan dengan mantap suami menjawab akan mengabulkannya.
Akhirnya aku berkata bahwa aku hanya ingin agar dia pergi ke gereja dan dia mengangguk. Tapi janjinya tidak sepenuhnya bisa dijalankan; suami tetap tidak berkebaktian Sabat, meskipun ia mau mengikuti Kebaktian Kebangunan Rohani atau Kebaktian Pekabaran Injil. Inilah berkat terindah yang Tuhan berikan untukku setelah penantian delapan tahun lamanya.
Ternyata bagi Tuhan itu belum cukup untuk dikatakan kembalinya domba yang hilang. Tuhan masih memberikan satu ujian lagi bagi keluarga kami yang membuat suami betul- betul bertobat (di kesaksian berikutnya).
“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” (Yakobus 1:2-3)
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus,
amin.