KELUARGA YANG DIBERKATI
KC Tsai—Toronto, Kanada
“Berbahagialah setiap orang yang takut akan Tuhan, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya! Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu! Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu! Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki yang takut akan Tuhan.” (Mzm. 128:1-4)
Dengan mengacu kepada “isterimu” dan “anak-anakmu,” mazmur ini ditujukan kepada para suami dan ayah. Di dalamnya, kita melihat janji tentang rumah tangga yang diberkati oleh Tuhan, tetapi rumah tangga itu akan diberkati hanya jika kepala rumah tangga—sang suami—takut kepada Tuhan. Jika ia takut kepada Tuhan dengan hati yang tulus dan lurus, menaati perintah-perintah Tuhan, ia dapat menikmati hasil jerih payahnya. Semua yang ia tanam, akan ia tuai. Tidak akan ada kekurangan sinar matahari atau hujan, tidak ada bencana alam atau bencana buatan manusia, dan tidak ada musuh yang datang dan menjarah hasil panennya. Ia akan bekerja keras dan menikmati hasil jerih payahnya yang diharapkan. Oleh karena itu, tugas seorang suami dan ayah bukan hanya bekerja dengan tekun, tetapi yang lebih penting, takut kepada Tuhan dan menaati perintah-perintah-Nya, yang merupakan segalanya bagi manusia (Pkh. 12:13).
Peran istri dalam rumah tangga yang diberkati ini adalah menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumah. Pohon anggur tidak cukup kuat untuk digunakan dalam konstruksi. Pohon anggur adalah tanaman merambat yang tujuannya adalah menghasilkan buah anggur yang melimpah. Untuk melakukannya, istri membutuhkan dukungan. Salah satu aspek istri yang menjadi pokok anggur yang subur adalah melahirkan anak- anak. Namun, hal itu juga dapat merujuk kepada istri yang menghasilkan buah Roh dan buah kasih di rumah. Hal ini memenuhi rumah dengan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22–23). Kebajikan rohani ini dapat mendukung keluarga, memungkinkan suami dan anak-anaknya menikmati kasih dan kehangatan kehidupan rumah tangga. Jika seorang istri seperti pokok anggur yang subur, itu berarti ada dukungan. Dia dapat mengandalkan dukungan suaminya dan, yang lebih penting, dengan iman, dia mengandalkan Tuhan untuk menghasilkan buah-buah kebenaran ini.
Terakhir, anak-anak dalam keluarga ini akan menjadi seperti tunas pohon zaitun di sekeliling meja. Ini berarti memiliki banyak anak di sisi kita. Menjadi seperti tunas pohon zaitun berarti bahwa anak-anak ini masih muda, penuh dengan kekuatan dan vitalitas, dan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang matang. Masa depan keluarga ini cerah dan penuh harapan. Seperti yang dikatakan Kitab Suci:
“Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.” (Mzm. 127:3-5)
PERNIKAHAN YANG DIBERKATI
Keluarga yang diberkati dimulai dengan hubungan suami istri yang selaras dengan kehendak Tuhan. Pernikahan seperti itu dibangun atas dasar cinta tanpa pamrih terhadap satu sama lain dan tujuan serta nilai-nilai yang sama. Mereka menghormati orang tua mereka sesuai dengan ajaran Alkitab, menaati dan menyemangati mereka, menghibur dan merawat mereka. Mereka membesarkan anak-anak mereka di dalam Tuhan, memelihara kesehatan fisik dan mental mereka sehingga mereka dapat menjadi dewasa secara rohani dan bertekad untuk melayani Tuhan dan gereja-Nya sepanjang hidup mereka.
Suami dan istri adalah pewaris bersama dari kasih karunia kehidupan, seperti yang dikatakan Petrus.
“Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.”(1 Pet. 3:7)
Dalam teks aslinya, kata ganti posesif “doamu” berbentuk jamak, ditujukan kepada suami dan istri—agar doa-doa mereka yang bersatu tidak terhalang dan dapat langsung sampai kepada Tuhan.
Pasangan suami istri adalah pewaris bersama dari kasih karunia kehidupan, yang mengacu pada hidup kekal. Menerima hidup kekal adalah kasih karunia yang besar dan tujuan bersama yang harus dikejar oleh pasangan tersebut. Mereka perlu berjuang bersama, terus-menerus mengingatkan dan menasihati satu sama lain untuk bertumbuh dalam iman bersama menuju kedewasaan.
UNTUK SUAMI
Dalam ayat di atas, Petrus memberi tahu para suami untuk hidup bersama istri mereka dengan penuh pengertian. Pesan ini digaungkan dalam Efesus:
“Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya… Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.” (Ef. 5:25, 28)
Agar suami dapat mengasihi istrinya sebagaimana Kristus mengasihi jemaat, yang untuknya Ia menyerahkan nyawa-Nya sendiri, diperlukan usaha yang besar. Mereka harus selalu menyadari perlunya berkorban, dimulai dari pekerjaan sehari-hari. Hanya ketika suami menghormati dan menghargai istri mereka sebagai bejana yang lebih lemah, hubungan suami-istri dapat mulai memuliakan Tuhan.
Dalam masyarakat yang mementingkan diri sendiri dan egois saat ini, tidaklah mudah untuk terus-menerus mengasihi pasangan hidup dengan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Itu dimulai dengan tindakan-tindakan sederhana dan penuh perhatian seperti memeras pasta gigi dari ujung tabung, membagi pekerjaan rumah tangga secara adil, membuang kaus kaki kotor ke dalam keranjang cucian daripada membiarkannya tergeletak begitu saja, mempertimbangkan pilihan pasangan saat memasak, mengatasi perasaan cemburu, dan sebagainya. Beberapa pasangan memperlakukan hal-hal ini sebagai masalah besar dan terusmenerus bertengkar, sementara mereka yang bijaksana melihat hal-hal ini sebagai masalah sehari-hari yang sepele dan menanganinya dengan tenang. Untuk memberikan beberapa contoh sederhana dan halus: Saat makan, apakah suami secara tidak sadar mengambil bagian makanan yang kurang diinginkan untuk dirinya sendiri dan memberikan bagian yang lebih baik untuk istrinya? Ketika sang istri sedang merasa terpuruk atau dalam suasana hati yang buruk, dapatkah sang suami melihatnya sebagai sosok yang paling rapuh dan menemaninya melalui masa-masa sulit itu dengan penuh kasih sayang?
Pada hakikatnya, suami secara bertahap belajar dan memahami bagaimana mengasihi istrinya dengan kasih seperti Kristus dan bagaimana mengasihinya seperti tubuhnya sendiri melalui pengalaman tinggal bersama istrinya setiap hari.
UNTUK ISTRI
Dalam bagian yang sama, ada juga ajaran bagi para istri:
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.” (Ef. 5:22-24)
Kepatuhan gereja kepada Kristus adalah wajar dan tanpa syarat. Akan tetapi, tidaklah mudah bagi para istri untuk tunduk kepada suami dengan cara ini karena, tidak seperti Kristus, tidak ada suami yang sempurna. Mereka semua punya kekurangan dan berbuat salah. Akan tetapi, ajaran Alkitab adalah agar para istri tunduk kepada suami mereka (1 Pet. 3:1–6). Jika seorang istri tunduk kepada suaminya dalam segala hal, dia adalah wanita yang dapat tunduk kepada Tuhan dan akan diberkati sebagai hasilnya. Melalui dia, Tuhan akan melimpahkan berkat kepada seluruh keluarga.
Tuhan berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:18). Kehendak Tuhan ketika menciptakan wanita adalah agar pria tidak sendirian dan akan memiliki “penolong”. Memiliki teman untuk berjalan bersama dan melaksanakan rencana-rencana kita dalam hidup meringankan beban menghadapi segala sesuatu sendirian. Memang, bahkan memasak makanan sendiri ketika tinggal sendiri dapat menjadi tantangan, dan yang memperburuknya adalah tidak merasakan sukacita dan kehangatan yang datang dari berbagi makanan dengan orang lain.
Prinsip di balik ketundukan istri kepada suaminya adalah untuk membantunya. Bantuan ini bukan hanya sekadar mendukung karier dan rumah tangganya. Bantuan ini meliputi pemberian bimbingan ketika suaminya menyimpang dalam iman atau karakter, memberikan nasihat Alkitab yang positif ketika keputusan penting muncul, bekerja sama untuk melaksanakan keputusan tersebut, dan melakukan penyesuaian bila perlu.
UNTUK ANAK-ANAK
Saat ini, anak-anak kita mudah terjerat oleh tren sekuler, sama seperti kita. Mereka merasa sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh gerakan media sosial populer dan ideologi ekstrem. Moralitas dan sistem nilai masyarakat saat ini terus berubah: pernikahan sedang didefinisikan ulang, identitas gender telah menjadi sesuatu yang dapat dinegosiasikan, protes dengan kekerasan telah menjadi alat untuk mengekspresikan keluhan pribadi, dan seterusnya. Tekanan untuk mengadopsi nilai-nilai sekuler serupa dengan saat umat Allah ditawan ke Babel: “Dan raja menetapkan bagi mereka pelabur setiap hari dari santapan raja dan dari anggur yang biasa diminumnya.
Mereka harus dididik selama tiga tahun, dan sesudah itu mereka harus bekerja pada raja. Di antara mereka itu ada juga beberapa orang Yehuda, yakni Daniel, Hananya, Misael dan Azarya. Pemimpin pegawai istana itu memberi nama lain kepada mereka: Daniel dinamainya Beltsazar, Hananya dinamainya Sadrakh, Misael dinamainya Mesakh dan Azarya dinamainya Abednego.” (Dan. 1:5-7)
Ketika Daniel dan ketiga temannya ditangkap, mereka mendapati diri mereka berada di lingkungan yang penuh dengan kejahatan. Nama-nama mereka diubah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa orang Kasdim, dan mereka digoda dengan makanan dan anggur raja setiap hari. Nama asli mereka, yang berhubungan dengan Tuhan dan iman mereka, diganti dengan nama-nama yang berhubungan dengan berhala atau adat istiadat Babilonia. Mereka menghadapi krisis karena berasimilasi dan kehilangan identitas mereka sebagai orang-orang pilihan.
Mereka diawasi oleh kepala kasim selama tiga tahun, di mana mereka tidak punya pilihan selain menjalani pelatihan dalam bahasa dan sastra orang Kasdim. Namun, untuk menjaga kemurnian mereka di hadapan Tuhan, mereka menolak godaan makanan raja dan menolak pengikisan identitas mereka oleh adat istiadat asing ini. Mereka meninggalkan makanan sehari-hari mereka dan memilih untuk makan sayur-sayuran dan minum air sebagai gantinya. Hasilnya, Tuhan menyertai mereka, memelihara hidup mereka dan menguatkan iman mereka. Tuhan ingin mereka yang menjadi milik-Nya untuk memelihara kekudusan mereka. Dalam hukum-Nya, Dia berkata:
“Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, Tuhan, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku.” (Im. 20:26)
Untuk menjadi umat Allah, kita harus dikuduskan oleh kebenaran Allah (Yoh. 17:17) dan dipisahkan dari dunia:
“Tetapi waspadalah dan berhatihatilah, supaya jangan engkau melupakan hal-hal yang dilihat oleh matamu sendiri itu, dan supaya jangan semuanya itu hilang dari ingatanmu seumur hidupmu. Beritahukanlah kepada anak-anakmu dan kepada cucu cicitmu semuanya itu, yakni hari itu ketika engkau berdiri di hadapan Tuhan, Allahmu, di Horeb, waktu Tuhan berfirman kepadaku: Suruhlah bangsa itu berkumpul kepada-Ku, maka Aku akan memberi mereka mendengar segala perkataan-Ku, sehingga mereka takut kepada-Ku selama mereka hidup di muka bumi dan mengajarkan demikian kepada anak-anak mereka.” (Ul. 4:9-10)
Allah memerintahkan umat-Nya untuk mengajarkan firman-Nya kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka agar mereka takut akan Allah “selama mereka hidup di muka bumi dan mengajarkan demikian kepada anak-anak mereka.” Alkitab menyampaikan kehendak Allah: pengetahuan dan takut akan Allah tidak hanya harus disimpan dalam hati seseorang tetapi juga harus diwariskan kepada anak-anaknya.
Banyak anak muda saat ini hampir terikat dengan smartphone mereka, tidak dapat melepaskan diri dari media sosial, game online, dan aliran informasi yang tak ada habisnya. Beberapa bahkan disesatkan hingga menyakiti diri sendiri, membuat masalah, atau jatuh ke dalam keputusasaan dan depresi. Mereka membutuhkan seseorang untuk membimbing mereka keluar dari dunia maya, untuk belajar bagaimana membedakan antara keaslian dan promosi diri, dan bersosialisasi dengan teman-teman yang memiliki integritas dan kebijaksanaan rohani dalam komunitas Kristen. Mereka perlu melepaskan diri dari ikatan internet, belajar untuk takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan.
Pada generasi ini di mana kita semua tertawan, orang tua tidak bisa berkompromi dalam pertempuran ini untuk menyelamatkan anak-anak kita
Hal yang paling menghibur bagi orang tua adalah melihat anak-anak mereka takut akan Tuhan. Banyak orang tua, dalam mengejar kesuksesan dan kepuasan pribadi, bekerja keras tanpa lelah sepanjang hidup mereka, mendedikasikan diri mereka untuk pekerjaan dan karier. Namun, ketika mereka melihat kembali di usia tua, mereka menyadari bahwa kurangnya bimbingan dari firman Tuhan telah menyebabkan anak-anak mereka hanya berfokus pada kegiatan akademis dan profesional, mengabaikan kasih karunia dan ajaran Tuhan. Akibatnya, anak- anak mereka tersandung dalam perjalanan iman mereka dan meninggalkan gereja. Dengan penyesalan yang sangat menyayat hati, orang tua melihat anak-anak mereka kehilangan keselamatan dan menyimpang dari jalan yang mengarah pada kehidupan kekal. Pada generasi ini di mana kita semua tertawan, orang tua tidak bisa berkompromi dalam pertempuran ini untuk menyelamatkan anak-anak kita. Kita tidak boleh menunda dalam mempersiapkan lingkungan imanyang kokoh bagi mereka, sebagaimana Tuhan memerintahkan orang-orang melalui Musa:
“Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” (Ul. 6:4-9)
Allah menghendaki umat-Nya untuk menciptakan lingkungan iman yang lengkap, tempat mereka akan terus menerus terlibat dengan firman Allah, menyediakan pendidikan agama yang kokoh, dan mewariskan iman kepada
anak-anak mereka. Firman Allah menetap di surga selamanya dan tidak pernah berubah. Kita dapat yakin bahwa Ia masih menghendaki orang-orang percaya saat ini untuk:
• Mengasihi Allah dengan segenap hati kita, dengan segenap jiwa kita, dan dengan segenap kekuatan kita.
• Menuliskan firman Alkitab di hati kita dan mengajarkannya dengan tekun kepada anak-anak kita.
• Membahas firman Allah ketika kita berada di rumah dan ketika kita berada di luar.
• Mengingatkan anak-anak kita tentang kasih karunia dan janji-janji Tuhan setiap saat sehingga mereka dapat mengingat firman Allah dan kehendak Allah tidak peduli apa pun situasi mereka.
Beginilah cara kita dapat menikmati berkat-berkat dari keluarga yang berpusat pada Kristus.