MUSA KEMBALI KE MESIR (2)
Berdasarkan khotbah Aun-Quek Chin – Singapura
ANAKKU, ANAK SULUNGKU
Kita tahu bahwa Allah memberi perintah yang keras kepada Musa sebelum dia pergi ke Mesir untuk membebaskan saudara-saudaranya yang berbangsa Ibrani:
”Pada waktu engkau hendak kembali ini ke Mesir, ingatlah, supaya segala mujizat yang telah Kuserahkan ke dalam tanganmu, kauperbuat di depan Firaun. Tetapi Aku akan mengeraskan hatinya, sehingga ia tidak membiarkan bangsa itu pergi. Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman Tuhan: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung; sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku; tetapi jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan membunuh anakmu, anakmu yang sulung.” (Kel. 4:21-23)
Anehnya, perkataan yang serius dan mengancam ini, malah menghibur. Perkataan tersebut menunjukkan seorang bapa yang rela melakukan apa saja untuk menyelamatkan anak kesayangannya, bahkan rela menukarkan nyawa. Dengan ini, kita sampai pada tema utama dari apa yang dapat kita pelajari dari kisah Musa ketika dia melakukan perjalanan kembali ke tanah masa mudanya untuk menebus dan memulihkan umat pilihan Allah: status anak.
Status anak adalah tema utama dalam kekristenan. Yesus adalah Anak Allah (Mat. 3:17), demikian juga kita. Sejak saat kita bangkit, dibarui, dan dipulihkan, air baptisan masih segar di kulit kita, Tuhan menjadi Bapa kita dan kita bergabung dengan saudara dan saudari dalam satu keluarga. Satu keluarga, yang sejati dan kekal, menanti kita di pintu penebusan kita. Dengan ini muncul hal-hal tertentu, yang harus selalu kita ingat–ingatan bahwa Allah juga memutuskan untuk memberikan Musa sesaat sebelum ia berangkat untuk melakukan salah satu pekerjaan terbesar Allah. Mari kita selidiki hal tersebut.
PERCAYA PADA STATUS ANAKMU
“Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung… ” (Kel. 4:22)
Ayat ini menangkap salah satu momen terbesar dalam sejarah manusia. Di sini kita memiliki Allah, Elohim, Alfa dan Omega, yang menentang melawan Firaun–yang pada masanya sangat mungkin adalah orang terkuat di dunia, dengan tentara yang atas perintahnya dapat membuat dunia gemetar. Dan Allah sedang memberitahu orang yang mengira dia bisa mendapatkan semua yang dia inginkan–yang terbiasa mendapatkan semua yang dia inginkan–bahwa dalam beberapa hal tidak bisa dia miliki. Dalam kejadian ini, dia tidak memiliki hak atas anak-anak Allah.
Di sinilah letak hal pertama yang dapat kita pelajari dari firman Allah kepada Musa. Menjadi anak Allah berarti kita bukan milik orang lain. Kita dilepaskan dari kuasa dunia dan segala rasa takut, tekanan dan keberdosaan yang menyertainya. Kita, sepenuhnya dan selalu, merupakan anak-anak Allah. Walaupun hal ini dapat dimengerti, namun sulit untuk dipegang terus dengan teguh. Keyakinan ini diuji oleh banyak masalah yang selalu kita hadapi dalam kehidupan pribadi kita.
“Menjadi anak Allah berarti kita bukan milik orang lain. Kita dilepaskan dari kuasa dunia dan segala rasa takut, tekanan dan keberdosaan yang menyertainya. Kita, sepenuhnya dan selalu, merupakan anak-anak Allah.”
Dengan sedih kita bertanya, bagaimana mungkin, putra-putri dari Allah yang kekal menderita begitu berat dan tanpa henti? Pertanyaan ini bahkan mungkin terlintas di benak teman-teman kita yang tidak percaya, yang melihat dengan iba, ketika kita orang Kristen merana dalam masalah kita, sementara kita menangis dalam doa kita, memohon sedikit penangguhan hukuman kita. Pada dasarnya, sulit untuk percaya, apalagi dengan yakin menyatakan kepada tetangga kita yang tidak percaya, bahwa kita adalah anak-anak Allah yang berharga ketika terlalu sering terlihat bahwa kita telah ditinggalkan sebagai anak yatim, sendirian dan tak berdaya di padang gurun dunia yang luas. Apa yang Alkitab katakan tentang hal ini?
Ada sebuah pola yang berulang di seluruh Alkitab. Dalam setiap cerita, dalam setiap pelajaran dan dalam perumpamaan, ada perasaan bahwa iman, penyembahan dan status anak semuanya adalah proses. Dan sementara itu Tuhan tampak samar dan tidak mencolok di tengah kehidupan kita sehari-hari, Alkitab mengatakan bahwa kita dapat yakin bahwa Tuhan berada di sana pada akhirnya, menunggu untuk menerima kita masuk ke dalam kemuliaan yang lebih besar. Bacalah Wahyu 1:6-7: “[D]an yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, – bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin. Lihatlah, Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia. Dan semua bangsa di bumi akan meratapi Dia. Ya, amin.”
Dari menjadi anak putra-putri di dunia, menjadi raja dan imam di surga–itulah janji Allah bagi kita. Gagasan untuk berada di sana ini menjadi suatu proses, sebuah evolusi bagi kekristenan kita dan kepastian pembenaran kita ini mengandung satu hal penting. Itu berarti bahwa kita harus melakukan lebih daripada sekadar memiliki status anak kita, kita harus mempercayainya dan mengerjakannya. Ketika Tuhan memilih untuk memanggil umat Israel anak-anak-Nya, Dia memberitahu Musa, Firaun dan semua orang Israel yang akan mendengarnya, bahwa perbudakan bukanlah panggilan mereka yang sesungguhnya, Mesir bukan rumah mereka yang sesungguhnya, dan Firaun bukanlah tuan mereka yang sesungguhnya. Allah sedang memberitahu mereka bahwa mereka hanyalah peziarah, bahwa ada tempat lain yang harus mereka tuju, dan ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk sampai ke sana. Hal yang sama berlaku bagi kita hari ini. Kita tidak dijanjikan kehidupan yang tenang dan tidak terganggu di Mesir dan Babel dunia ini. Kita dijanjikan kesulitan dan kerja keras. Karena kita adalah peziarah, yang sedang melakukan perjalanan panjang dan sulit ke tanah perjanjian, di mana Bapa kita siap menyambut kita sebagai putra dan ahli waris.
“Dari menjadi anak putra-putri di dunia, menjadi raja dan imam di surga–itulah janji Allah bagi kita. Gagasan untuk berada di sana ini menjadi suatu proses, sebuah evolusi bagi kekristenan kita dan kepastian pembenaran kita ini mengandung satu hal penting. Itu berarti bahwa kita harus melakukan lebih daripada sekadar memiliki status anak kita, kita harus mempercayainya dan mengerjakannya.”
BERKELUH KESAH DAN MENGEMBARA
Tentang tema anak Kristen dan pencobaannya, kita dapat mempelajari pelajaran berharga lainnya dari nasihat Allah kepada Musa.
Kita membaca dalam Keluaran 4:21 tentang jaminan yang terkenal dari Allah kepada Musa bahwa Dia akan “mengeraskan hati Firaun, sehingga Dia tidak akan membiarkan bangsa Israel pergi.” Bagian ini selalu membingungkan banyak pembaca yang baru pertama kali membaca, bahkan yang sudah lama sekalipun. Mengapa, jika Allah sungguh-sungguh ingin membebaskan umat-Nya melalui Musa, akankah Dia dengan sengaja menyabotase usaha Musa? Meskipun ada berbagai jawaban yang berarti untuk pertanyaan ini, kita akan melihat salah satunya yang menjelaskan apa artinya menjadi anak Allah hari ini.
Tuhan membiarkan hati Firaun mengeras karena Dia menghendaki Musa dan orang-orang Israel mengerti bahwa menjadi anak-anak Allah tidak berarti hidup bebas tanpa masalah. Di bawah pimpinan Allah, Musa akan melakukan seluruh mukjizat, tetapi bahkan sampai akhir, ini tidak cukup untuk menggoyahkan kehendak Firaun. Allah memberitahu mereka bahwa Firaun akan keras kepala dan sulit, tetapi anak-anak Allah tidak menjadi apatis dan malas. Benar, sepuluh tulah itu mengesankan, tetapi orang Israel juga harus melawan keputusasaan di setiap kesempatan dan mempertahankan pengharapan di dalam hati yang dengan cepat kehilangan kepercayaannya, dan yang lebih parah, terhadap Allah. Pasukan belalang dan aliran darah memenuhi jalanan Mesir, tetapi salah satu pertempuran yang paling penting adalah dilakukan oleh kehendak setiap orang Israel, yang harus berdiri di belakang Musa saat dia melakukan kehendak Tuhan.
Tuhan ingin gereja sejati memahami hal yang sama. Status anak, seperti banyak hal, menjamin hak istimewa tetapi tidak selalu menyenangkan. Sama dengan orang Israel, keselamatan dan kebebasan ada di depan, dan ini untuk kita jangkau dan raih. Kita telah diberkati dengan janji dan hak istimewa ini. Tetapi Yesus telah mengungkapkan bahwa orang Kristen akan berkeluh kesah dan mengembara dalam hidupnya, sebanyak yang dia harapkan untuk tanda dan mukjizat. Masalah kita adalah akan sama keras hati dan keras kepala seperti Firaun, dan sepertinya tidak ada pasukan katak dan belalang yang akan menyelamatkan kita. Tetapi pertarungan yang benar-benar memenangkan perang melawan dosa adalah pertarungan yang pertama kali dilakukan orang Israel ketika mereka keluar dari Mesir. Ini adalah peperangan rohani.
ROH KUDUS DAN ANAK
“Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!” Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Gal. 4: 6-7)
Oleh kasih karunia-Nya, kita telah dijadikan sebagai anak-anak Allah. Dosa telah menjadikan kita sebagai anak yatim, tetapi oleh kasih karunia Yesus telah mati sehingga kita dapat dipulihkan kembali kembali sebagai anak-anak Allah.
Ada tiga hal yang dapat kita pelajari tentang anugerah status anak kita.
Pertama, ini berarti bahwa kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh dan bertobat agar Roh Kudus menyertai kita, dan ada di dalam kita.
“Masalah kita adalah akan sama keras hati dan keras kepala seperti Firaun, dan sepertinya tidak ada pasukan katak dan belalang yang akan menyelamatkan kita. Tetapi pertarungan yang benar-benar memenangkan perang melawan dosa adalah pertarungan yang pertama kali dilakukan orang Israel ketika mereka keluar dari Mesir. Ini adalah peperangan rohani.”
Tuhan telah menjadikan kita anak-anak-Nya–”mengadopsi” kita, seperti yang Rasul Paulus katakan (Rom. 8:15-17)–jadi kita adalah ahli waris-Nya, yang dinyatakan oleh Roh Kudus yang menyaksikan kehadiran-Nya di dalam kita dan tentang Yesus yang mendamaikan kita dengan Bapa kita. Roh Kudus adalah bagian yang tak terpisahkan dari status anak rohani kita. Dia tidak hanya bersaksi tentang keselamatan kita (Ef. 1:13-14), tetapi juga sebagai pengingat setiap hari, bahwa kita telah diberkati sebagai pewaris dari anugerah yang tidak layak kita terima dan tak terbatas nilainya.
Walaupun secara teori terdengar sangat menyenangkan, tetapi bagian yang kurang menarik muncul ketika tiba saatnya untuk sungguh-sungguh berdoa mohon Roh Kudus. Sebab bagi sebagian besar dari kita, menerima Roh Kudus adalah perjuangan yang panjang dan terkadang melelahkan. Malam yang panjang, lutut yang bengkak, telapak tangan yang lembab dan tenggorokan yang kering–banyak dari kita telah mengalami hal ini dalam prosesnya. Di luar tubuh, semangat terbaik apa yang harus dimiliki saat kita berdoa mohon Roh Kudus? Ketika kita berdoa memohon Roh, kita harus berdoa lebih dari sekadar orang percaya, seorang Kristen, atau jemaat gereja. Kita harus berdoa sebagai anak-anak Allah. Kita harus percaya kepada janji Allah, dan penggenapannya, sebagai pewaris anak-anak Allah. Yang terpenting, kita tidak boleh lupa bahwa Tuhan ingin kita menerima Roh-Nya. Dengan pengetahuan ini, kita menjadi percaya diri ketika kita menekuk lutut dan menundukkan kepala, tahu bahwa kita adalah anak-anak yang dapat mengambil warisan yang telah menjadi milik kita.
ANAK SULUNG
Menariknya, Allah tidak hanya menyatakan Israel sebagai anak-Nya. Dia selalu menegaskan kepada Musa bahwa Israel adalah anak sulung-Nya. Dari sini, kita belajar poin yang kedua tentang kasih karunia status anak: Allah sangat menghargai umat-Nya, walaupun sebagian besar dari kita, orang Kristen Gereja Yesus Sejati, mungkin bukan pilihan asli, tetapi kita sekarang, oleh kasih karunia Allah, adalah anak-anak rohani-Nya dan masing-masing sangat penting bagi-Nya. Penatua Petrus menjelaskan kita, sebagai berikut: “[K]amu yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan” (1 Pet. 2:10).
Kita pernah menjadi anak yatim. Dulu, manusia berpaling dari Allah karena tidak bertobat dari dosa. Kita mendiskualifikasi diri kita sendiri dari kebaikan Allah. Perumusan Petrus tentang sebelum dan sesudah yang sederhana dengan singkat menyampaikan pesan: karena, dan hanya karena kasih dan kemurahan Allah bagi kita sanggup menutupi semua dosa kita, kita orang percaya bukan keturunan Yahudi memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam rencana keselamatan-Nya yang besar. Bukan hanya itu, kita harus mewujudkan kasih karunia yang telah diberikan kepada kita dan mengabarkan berita baik keselamatan kita, karena kita bukan hanya anggota, tetapi sebagai utusan, prajurit, dan hamba Allah dan kerajaan-Nya yang aktif. Itulah sebabnya Petrus menyatakan: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangnya yang ajaib (1 Pet. 2: 9). Kita pernah menjadi pengembara yang tersesat di dunia, tetapi kasih karunia Allah telah menjadikan kita sebagai peziarah dalam perjalanan kita ke surga.
Walaupun kita seharusnya bangga atas status Kristen kita, tetapi Tuhan tidak ingin kita hanya puas dengan keselamatan kita, tetapi sebaliknya, menaati tugas mulia kita sebagai para pengubah dunia-untuk memberitakan Injil, berperang bagi yang lemah, dan menjadi teladan bagi orang lain sehingga mereka mungkin melihat keindahan dari apa artinya menjadi anak Allah.
“Tuhan tidak ingin kita hanya puas dengan keselamatan kita, tetapi sebaliknya, menaati tugas mulia kita sebagai para pengubah dunia-untuk memberitakan Injil, berperang bagi yang lemah, dan menjadi teladan bagi orang lain sehingga mereka mungkin melihat keindahan dari apa artinya menjadi anak Allah.”
ANUGERAH YANG BENAR
“Sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku; tetapi jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan membunuh anakmu, anakmu yang sulung.” (Kel. 4:23)
Pesan bagi Firaun ini disampaikan dengan selayaknya oleh Allah. Allah, sang Pencipta dan Pemelihara hidup, tidak memperlakukan kehidupan ciptaan-Nya secara sembarangan. Taruhan di sini pasti sangat tinggi. Walaupun ini adalah bukti lainnya dari kasih Allah yang begitu dalam bagi anak-Nya, Israel, tetapi dari sini kita belajar pelajaran ketiga tentang anugerah status anak kita: kasih karunia Allah, dan lebih jauh lagi status kita sebagai anak, bukanlah kebebasan untuk melakukan apa pun yang kita inginkan dalam hidup kita. Sama halnya kita memahami bahwa anugerah bukanlah obat mujarab bagi semua masalah kita, kita harus melihat juga bahwa anugerah tidak membebaskan kita dari konsekuensi dari keadilan Allah.
Firaun pasti belajar pelajaran ini secara langsung. Penguasa Mesir yang menghadapi murka Allah yang menyala-nyala, termotivasi oleh kepenuhan kasih Allah terhadap umat-Nya, sama besarnya dengan kebencian-Nya terhadap kejahatan. Orang-orang mungkin tersandung karena ilusi bahwa, ketika orang yang percaya kepada Tuhan dibaptis, dosa-dosa mereka mungkin dihakimi lebih lunak daripada para penguasa lalim di negeri kafir. Tidak ada kebenaran lainnya: mitos ini keliru mengenai keringanan karena kasih. Tepatnya, karena kita telah menjadi pendengar dan praktisi firman yang setia, maka Tuhan menempatkan kita di standar yang lebih tinggi. Karena diberkati dengan kebenaran akan keselamatan, kehadiran Roh Kudus, dan bimbingan gereja sejati, mengutip dari Paulus, orang Kristen GYS “tidak dapat berdalih” atau tidak mempunyai alasan (Rom. 1:20).
Apakah kita telah bertobat? Pertanyaan ini telah menggerogoti dan membuat jengkel orang Kristen yang memiliki hati nurani. Tetapi pertanyaan ini layak diulang karena respon kita berarti. Tuhan tidak mencari anak-anak sempurna yang hidup sempurna. Dia mengenal kita ketika kita tidak beribu-bapa, tidak yakin kita berasal dari mana, atau ke mana tujuan kita. Dan Tuhan tahu meskipun kita telah datang kepada-Nya, beberapa dari kita mungkin masih mencari. Oleh karena itu, yang Tuhan cari adalah anak-anak, yang walaupun adalah manusia dan tersesat, tetapi di lubuk hati mereka tahu bahwa di dalam Tuhan, mereka memiliki seorang bapa, dan memiliki sebuah rumah di gereja dan di surga. Tuhan telah memberikan kita waktu untuk menemukan peristirahatan rohani kita. Kita harus meraihnya sebelum waktu tersebut dan keselamatan kita melewati kita.
SUAMI SEDARAH
Setelah Musa pergi ke Mesir, tidak lama kemudian terjadi peristiwa lagi. Peristiwa luar biasa ini hanya terdiri dari tiga ayat (Kel. 4:24-26), tetapi ayat ini memberitahu kita pelajaran terakhir yang harus kita ketahui tentang status anak kita. Tuhan tidak meremehkan janji-Nya–sama seperti Dia memegang semua perjanjian-Nya, Tuhan mengharapkan anak-anak-Nya setia pada janji tentang pilihan dan keselamatan kita.
Banyak hal membebani pikiran Musa. Sepertinya nasib seluruh bangsa ada di pundaknya, dan yang ada di antara dia dan misinya adalah salah satu dari raja-raja yang terkuat dan pasukannya. Istri Musa, Zipora, juga memiliki beban yang berat. Setidaknya dapat dikatakan, keberangkatan tiba-tiba untuk memulai perjalanan yang tidak pasti ke negeri asing pasti menantang. Jadi, apakah mungkin, memaafkan kedua orang tua yang tidak siap ini karena tidak menyunatkan anak-anak mereka? Tidak, jawaban Tuhan menakutkan. Alkitab menarik gambaran yang menakjubkan: Tuhan ingin “membunuh” Musa karena kelalaiannya. Mengapa?
Zaman Abraham telah lama berlalu. Sunat merupakan tanda sebagai anak-anak Allah, sama seperti zaman dulu. Tetapi Tuhan mengasihi anak-anak-Nya dan ingin mereka menjadi umat yang dikhususkan, umat yang kudus. Tuhan tidak akan membiarkan waktu mengurangi kasih-Nya terhadap umat-Nya, dan kesetiaan mereka kepada firman-Nya. Dengan suatu cara, ini adalah jaminan bagi Musa. Aku telah membuat perjanjian dengan engkau, Tuhan memberitahu Musa, dan Aku memegang janji-Ku–engkau akan melepaskan umat-Ku dari Mesir dan akan menjadi pemimpin mereka.
Bagi umat Kristen hari ini, pesannya sama. Alkitab berulang kali memberitahu kita bahwa kita adalah anak-anak yang berharga dan ahli waris dari Allah, yang ditakdirkan untuk suatu warisan yang melampaui segala sesuatu. Kita juga diberitahu bahwa agar memenuhi syarat, kita harus benar-benar percaya pada keyakinan Kristen kita dan benar-benar menjadi anak-anak Allah dalam kehidupan kita sehari-hari. Tuhan telah menunjukkan kepada kita, dengan Musa sebagai contoh, bahwa Dia sangat peduli terhadap cara kita menjalani hidup sebagai anak-anak-Nya. Tuhan mengingat anak-anak-Nya.
KESIMPULAN
Kadang kala, mungkin sulit untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Anak-anak, imam, orang terpilih, umat pilihan–begitu banyak sebutan, tetapi apa arti semua ini? Mengapa mereka begitu penting? Musa memperlihatkan kepada kita. Dia orang Ibrani asli, seorang gembala, seorang suami dan seorang ayah. Dia tidak lagi memiliki gelar penting. Tetapi Musa belajar apa artinya menjadi anak Allah, bahkan sebelum Tuhan mengadakan perjanjian bagi kita. Status anak kita adalah Roh Kudus yang ada di dalam kita–Roh kepercayaan akan penyelamatan Tuhan, Roh kesabaran, Roh kesetiaan. Hari ini, Tuhan menyambut siapa pun yang mau menerima dan dipimpin oleh Roh Kudus untuk menjadi bagian dari keluarga-Nya yang mulia. Dia sedang memanggil anak-anak-Nya. Sekaranglah waktunya untuk merespon.