MUSA KEMBALI KE MESIR (1)
Berdasarkan khotbah Aun-Quek Chin – Singapura
YANG TERBATAS DAN TIDAK TERBATAS
Karena manusia tidak mengetahui waktunya (Pkh. 9:12a)
Hanya ada beberapa kata dalam perpustakaan kata kita yang dapat menakuti manusia modern seperti lima kata di atas. Dalam diri kita ada keinginan mendasar untuk menaklukkan ketidakpastian yang ada di depan kita. Seperti di dalam sejarah, terdapat banyak dokumentasi hasil kerja keras manusia untuk mengetahui waktu kita. Terlebih lagi dalam dunia digital seperti sekarang ini, kita takut kehilangan setiap menit dari hidup kita, dan bahkan akan kematian kita. Pada akhirnya, teknologi kehidupan virtual memberi poin penting ini: sekarang kita bahkan ingin menaklukkan dan menciptakan dunia yang kita diami saat ini. Setiap kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, dari mesin yang membantu kelangsungan hidup sampai ke penelitian mengenai genetika, merupakan jawaban manusia modern terhadap Salomo: Engkau salah, kami tahu waktu hidup kami sendiri, dan faktanya, kita bahkan dapat mengontrolnya.
Tetapi mungkin sang guru besar tersebut tidak bermaksud untuk menakuti, hanya mengingatkan.
Yang Salomo pahami, seperti yang diajarkan Allah kepadanya, adalah bahwa ada beberapa hal yang akan selalu di luar jangkauan manusia. Dengan memegang ilmu statistik dalam tangan kita, banyak orang hanya dapat mempersiapkan diri untuk ketidakpastian tersebut, bukan menguranginya atau menghilangkannya. Satu-satunya kepastian adalah kematian.
Dengan mengatakan kebenaran yang singkat namun suram tersebut, Salomo memperingatkan orang-orang Kristen yang menjalani kehidupannya dengan berharap akan selalu mengetahui segala hal yang akan terjadi–apa yang akan terjadi sebentar lagi dapat mengagetkannya, dan membuat dia masuk ke dalam krisis imannya. Jadi jika rasa optimis yang keliru bukan jawabannya, tentu kita tidak dapat hanya diam saja dalam ketidakpastian yang menakutkan ini! Bahkan jemaat Kristiani yang paling senior pun dapat membuktikan pengalaman menyayat jiwa karena hidup dalam kondisi ketidakpastian yang terus-menerus. Esok hari selalu menyimpan banyak ketakutan: Apakah saya masih dapat bekerja? Penyakit apa yang saya derita? Bagaimana dengan anak saya?
Meskipun Salomo tidak mempunyai jawaban yang sederhana, Pengkhotbah 3:11 memberikan kita pencerahan dalam ketakutan kita terhadap kekhawatiran yang selalu ada ini:
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
Ayat ini memiliki jawaban untuk umat Kristen yang takut dengan masa depan yang tidak pasti, dan yang putus asa karena kesusahan: menunggu waktu Tuhan tiba.
Apa yang dimaksud dengan waktu Tuhan? Waktu Tuhan bukanlah berupa dimensi lain. Dan juga bukan masa depan yang jauh ketika semua penderitaan akan hilang dan semuanya dapat diprediksi dengan sempurna. Tuhan menyatakan kepada kita, melalui prosa Salomo yang indah, bahwa “waktu Tuhan” adalah kekekalan yang Tuhan telah berikan kepada kita–kesadaran manusia dan kehausan kita akan keindahan dan kebaikan yang tidak habisnya. Pencerahan ini datang dari hubungan kita dengan Allah yang tidak terbatas.
Anehnya, ayat ini mengaitkan fakta pemberdayaan ini dengan peringatan yang suram tentang banyak ketidakpedulian kita dalam terang kemahatahuan Tuhan. Mengapa? Karena, di dalam Kekristenan, iman yang didasari oleh pengetahuan dan pengalaman adalah penting. Tetapi, dengan kekhawatiran kita, kita tidak akan pernah cukup mengenal atau mengalami, terutama akan masa depan kita, untuk memberikan kita kedamaian. Karena itu, satu-satunya penghiburan kita ada dalam iman, yaitu nyaman dengan segala ketidakpastian, karena hal ini sangat berhubungan dengan satu kepastian: yaitu percaya kepada Tuhan dan Firman-Nya adalah apa yang kita butuhkan. Sekali lagi, Salomo, membantu kita dengan kesimpulan di dalam Amsal 19:21: “Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana.” Jika kekacauan dunia seakan tiada berakhir, maka Tuhan berencana agar kita untuk untuk melawan ketidakterbatasan dengan keabadian, ketidakterbatasan dengan ketidakterbatasan.
““Waktu Tuhan” adalah kekekalan yang Tuhan telah berikan kepada kita–kesadaran manusia dan kehausan kita akan keindahan dan kebaikan yang tidak habisnya. Pencerahan ini datang dari hubungan kita dengan Allah yang tidak terbatas.”
Tentu saja, hal tersebut mudah untuk diucapkan, tetapi seringkali sulit untuk dilakukan. Itulah sebabnya kita mengalihkan pandangan kita kepada Musa, ke zaman sebelum kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang kita nikmati sekarang, untuk melihat bagaimana umat Kristen sekarang dapat hidup damai dengan berpegang kepada janji mengenai waktu Tuhan.
SEMUA PADA WAKTU YANG TEPAT
Walaupun Musa mempunyai kemahiran luar biasa dalam mengorganisir, hal yang sesungguhnya menjadikan dia sebagai utusan pilihan Tuhan tidak ada kaitannya dengan perencanaannya yang matang, melainkan lebih kepada kepercayaannya kepada waktu Tuhan daripada instingnya.
Hal pertama yang Musa lakukan setelah pertemuannya dengan Tuhan di semak yang terbakar adalah memohon kepada Yitro, mertua Musa, orang Midian itu: ”Izinkanlah kiranya aku kembali kepada saudara-saudaraku, yang ada di Mesir, untuk melihat apakah mereka masih hidup” (Kel. 4:18b).
Hal yang membingungkan: mengapa Musa memohon izin dari ayah mertuanya padahal dia telah mendapat restu oleh Bapanya di surga untuk pergi ke Mesir?
Budaya zaman itu adalah seorang pria harus meminta izin dari kepala suku sebelum dia pergi mengembara jauh dari rumah. Musa tahu bahwa melakukan tradisi orang Midian ini adalah suatu resiko. Bagaimana jika Yitro menolak permohonannya? Musa pasti masih bertekad untuk menyelesaikan misinya, tetapi apa risikonya? Apakah Yitro akan menyabotase perjalanannya? Jika pertemuannya dengan Firaun tidak semulus rencana, apakah Musa akan mempertaruhkan hidup keluarganya? Apakah dia akan kehilangan negeri dan orang di rumahnya? Musa tidak dapat menerka hasilnya. Jadi mengapa dia mengambil risiko tersebut?
Musa mengerti kebenaran pertama mengenai waktu Tuhan: untuk benar-benar mempercayainya, kita harus melepaskan keinginan kita untuk mengontrol segala hal dalam hidup kita, dan bersandar kepada satu hal yang pasti–bahwa Tuhan punya rencana. Bagaimana cara mempraktikkannya?
Kita sangat takut terhadap yang tidak kita ketahui sehingga kita berusaha untuk mengontrol semua yang kita bisa, bahkan jika itu berarti merusak persahabatan atau menyakiti perasaan orang-orang yang kita cintai. Inilah yang terjadi pada Musa, dalam segala panggilan dan misinya dari Tuhan yang luar biasa, langsung menuju tanah Mesir. Bagi Musa, risiko-risiko tersebut menjadi tidak penting karena dia percaya bahwa Tuhan mempunyai waktu dan rencana-Nya sendiri. Tuhan tidak akan membiarkan pekerjaan-Nya dikompromikan dengan keinginan Musa untuk menjaga perasaan orang-orang yang dikasihinya.
“Musa mengerti kebenaran pertama mengenai waktu Tuhan: untuk benar-benar mempercayainya, kita harus melepaskan keinginan kita untuk mengontrol segala hal dalam hidup kita, dan bersandar kepada satu hal yang pasti–bahwa Tuhan punya rencana.”
Ini adalah sebuah bentuk kesabaran unik yang berasal dari kepercayaan total kepada Tuhan. Hosea, seorang nabi yang dikenal dengan kepatuhannya terhadap perintah Tuhan untuk menikahi seorang pelacur, tahu lebih dulu apa artinya untuk membiarkan Tuhan untuk mengontrol dan percaya penuh kepada rencana-Nya, apa pun itu. Jadi ketika Hosea memberikan nasihat dalam Hosea 12:7, memberitahu kita untuk: “peliharalah kasih setia dan hukum, dan nantikanlah Allahmu senantiasa”, kita harus menyimpannya dalam hati kita. Hosea memberitahu kita bahwa dalam menantikan Tuhan, kita harus mempunyai beberapa kebajikan Kristen. Kita diharuskan untuk baik dan adil, memberikan pengaruh moral yang positif kepada orang yang kita temui dalam perjalanan iman kita.
Ambil contoh, masalah pekerjaan gereja. Urusan gereja seringkali menimbulkan ketegangan, karena banyak dari kita sangat serius mengenai iman. Dengan memecahkan loh batu, memukul batu sembarangan, berdoa sambil mengoyak jubah–Musa sering mendemonstrasikan bagaimana emosional perjalanan iman kita. Sebagaimana manusia Musa pada masa itu, demikian pula kita pada masa kini. Jadi ketika kita merasa ide dan pekerjaan kita dihalangi oleh orang atau komite, banyak ketidakpastian, dan dalam kefrustrasian, mungkin kita melampiaskan semuanya kepada rekan sekerja kita di dalam Kristus. Kita membiarkan ketakutan kita akan kehilangan kendali untuk mendikte kelakuan kita yang kita akan sesali, merusak keharmonisan gereja Tuhan dalam prosesnya.
Manusia adalah makhluk yang keras kepala dan suka bertengkar, dan sulit untuk berubah. Tetapi percaya pada waktu Tuhan merupakan aplikasi rasa percaya dan kontrol diri; selama kita taat kepada kehendak Tuhan, kita tidak perlu menentang aturan gereja dan komunitas. Paulus menyatakannya dengan baik dalam
LEBIH DARI YANG KITA TAHU
Film sejarah terkenal “Schindler’s List” menceritakan tentang seorang pengusaha mantan pro-Nazi Jerman yang akhirnya menyelamatkan lebih dari seribu orang Yahudi hidup selama Holocaust. Kisah klise ini bercerita tentang orang biasa yang melakukan hal-hal yang luar biasa pada waktu yang luar biasa.
Musa adalah salah seorang “Schindlers” pertama di masa lalu. Sebelum pertemuannya dengan Allah di semak yang terbakar, tanggung jawab Musa hanya kepada keluarga dan ternaknya di tanah Midian. Tiba-tiba, takdir sebuah bangsa diberikan kepada seorang gembala yang sederhana ini. Musa berdiri, dengan tongkat di tangannya, pada waktu yang bersejarah. Musa pastilah ketakutan saat itu. Walaupun mulanya dia percaya kepada Tuhan, namun rasa takut menguasainya. Musa mungkin takut bahwa untuk menjalankan imannya, dia harus memulai perjalanan yang panjang ke Mesir. Tetapi Tuhan mengerti. Dan dalam kunjungan-Nya yang kedua kepada Musa, Allah menguatkan dia, ”Kembalilah ke Mesir, sebab semua orang yang ingin mencabut nyawamu telah mati” (Kel. 4:19). Ini memberikan Musa keberanian untuk kembali ke Mesir.
Ini adalah fakta kedua tentang waktu Tuhan. Konsep dari waktu Tuhan, meski kelihatannya tidak dapat dimengerti, tetapi sesungguhnya Tuhan sangat menyelami kekhawatiran kita. Dan karena Tuhan mengetahui segala kekhawatiran kita, Dia tidak akan pernah memberikan kita lebih daripada yang dapat kita tanggung. Waktu, seperti yang kita tahu diukur dengan menit dan detik, bulan dan tahun adalah kejam dan tidak kenal ampun dalam perjalanannya. Waktu Tuhan berbeda; Tuhan memperhatikan perasaan dan kekhawatiran kita, dan senantiasa mau menolong kita.
Sama seperti Musa, ketika kita akan melakukan sesuatu yang sangat penting dalam perjalanan hidup kita, beban dan kecemasan yang tidak disangka-sangka mungkin kita alami. Ketika kita melihat banyak masalah di depan kita, kita selalu bertanya: Mengapa saya? Mengapa sekarang? Apa selanjutnya?
Tuhan memiliki rencana besar untuk Musa. Dia juga memiliki rencana besar untuk kita hari ini (Ef. 2:10). Masalahnya, seringkali rencana yang besar disertai dengan banyak ketidaktahuan. Namun, umat Kristen merasa bahwa mereka akan melakukan sesuatu yang baik dalam hidup mereka. Yang sering menghalangi mereka untuk melakukan langkah awal tersebut adalah ketakutan akan ketidakpastian. Seringkali, ketidakpastian ini tentang kemampuan sendiri: sesungguhnya apa yang dapat saya lakukan dalam perjalanan penginjilan? Dapatkah saya memimpin sesi pemahaman Alkitab? Bagaimana jika saya mendapat pertanyaan yang tidak dapat saya jawab ketika saya mulai menginjili? Kita langsung berpikir bahwa kita bukanlah siapa-siapa.
Sesungguhnya, kita tidak pernah dapat memprediksi apakah hasilnya baik, seperti Schindler, atau apakah kegagalan menunggu kita. Tetapi tidak mengapa, karena percaya pada waktu Tuhan berarti mengetahui bukan intinya. Yang penting adalah Tuhan tahu, dan Tuhan menunjukkannya dengan cara-Nya. Tuhan tahu hal besar yang Musa takutkan, dan memberikannya kesempatan untuk bangkit kembali. Yang terpenting adalah bagaimana Tuhan menunjukkan anugerah dan kehendak-Nya kepada kita.
Manusia adalah makhluk yang keras kepala, dan ketika kita memilih untuk tidak mau melihat sesuatu, kita menutup mata kita. Kita menolak untuk menerima bahwa Tuhan peduli tentang talenta kita, dan melewatkan kesempatan itu, seperti yang hampir dilakukan Ratu Ester, untuk melayani Tuhan ketika Dia memanggil.
Oleh karena itu, percaya pada waktu Tuhan adalah percaya 3 hal ini: pertama, Tuhan lebih tahu tentang kemampuan kita lebih dari kita sendiri; kedua, kita harus lebih peka akan panggilan Tuhan dengan cara sering berdoa dan membaca Alkitab; dan ketiga, ketika panggilan itu tiba, kita harus memiliki keberanian untuk menjalani takdir kita. Ketakutan akan ketidakpastian tidak ada di dalam hati seorang Kristen yang memegang firman ini: “Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu. Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing” (Ams. 16:3-4a).
Pengamatan lainnya yang menarik adalah bahwa Musa pasti memiliki kekhawatiran lain di dalam benaknya selain yang Tuhan tenangkan. Mengapa sebuah jawaban cukup untuk menguatkan Musa? Karena perkataan itu mengingatkan Musa bahwa Tuhan mengetahui kekhawatirannya, dan dia tidak memiliki alasan untuk khawatir karena Tuhan menyertai setiap langkahnya. Umat Kristen tidak perlu tahu bahwa semua masalahnya lenyap. Terkadang yang kita perlukan hanyalah sedikit sentilan.
SEMUANYA MENUNGGU
Sayangnya, bahkan dalam hal iman tidak ada yang namanya obat mujarab. Percaya pada waktu Tuhan tidak serta-merta menyelesaikan semua masalah kita. Itu kerja keras. Seringkali, menunggu saja tidak cukup, karena kita menunggu hari berganti, berpikir bahwa rencana Tuhan memiliki jadwal sama seperti rencana kita. Ini salah; Tuhan tidak seperti jam dinding, Dia hidup. Ada dua hal yang harus kita ingat tentang menunggu waktu Tuhan.
Pertama, kita harus menerima bahwa penderitaan dan rintangan tidak akan hilang hanya karena kita percaya pada rencana Tuhan. Musa dapat mengayunkan tongkatnya semaunya, tetapi mukjizat yang dilakukannya tidak dapat menakuti Firaun. Bahkan setelah lari menyeberang Laut Teberau, mukjizat demi mukjizat tidak dapat membuat bangsa Israel percaya. Tuhan tidak menjanjikan solusi yang cepat dan mudah. Hari ini Dia melepaskan kita, dan menguji kita esok. Beberapa cobaan dalam hidup kita tidaklah hilang karena waktu, tapi karena kepercayaan kita akan waktu dan rencana Tuhan yang lebih besar menunjukkan kepada kita bahwa kita memerlukan pencobaan tersebut untuk menjadi orang Kristen yang lebih baik. Sebagai contoh, Paulus sungguh-sungguh memohon agar Tuhan mencabut durinya, dan dia menunggu. Bukan berlalunya waktu yang menyebabkannya mengerti penderitaannya. Tetapi imannya pada waktu dan rencana Tuhanlah yang membantunya mengerti mengapa dia menderita seperti itu (2 Kor. 12:7), yang menginspirasi pujian Paulus tak terlupakan untuk kepercayaan pada Tuhan: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor. 12:9b). Karena itu, kita menunggu dengan sebuah harapan bukan untuk firdaus di dunia, tetapi firdaus yang lebih dari itu, dan kepercayaan pada Tuhan yang tinggal di dalamnya.
Kedua, dan anehnya, ketika kita pikir kita sedang menunggu Tuhan, seringkali justru Tuhanlah yang sedang menunggu kita. Kebiasaan manusia adalah mengingat kejadian yang lampau dan berpikir selayaknya allah, seperti, jika saja ini terjadi di sini, jika saja hal ini diundur sampai waktu berikutnya, tentu semuanya akan berjalan lebih baik. Perbedaan penting antara imajinasi kita dan Tuhan adalah kemahatahuan. Kita dapat berimajinasi mengatur masa lalu kita untuk lebih sempurna, tetapi kita melakukannya dalam ketidaktahuan kita. Kita harus percaya bahwa Tuhan mengetahui waktu yang tepat untuk semuanya–dari mekarnya bunga, sampai kematian Tuhan Yesus (Rom. 5:6), semua terjadi sesuai waktu Tuhan. Dan itu berarti jika sesuatu yang baik, kudus, murni, dan benar tidak terjadi pada kita, maka mungkin permasalahannya bukan pada kesabaran kita, tetapi bagaimana kita mengisi waktu kita selama kita menunggu. Ketika kita sepertinya sedang tenggelam dalam masalah kita, tidak ada kemajuan atau tidak menemukan solusi bahkan dengan doa kita, kita harus ingat bahwa menunggu Tuhan bukanlah dengan iman yang menunggu-namun-tidak-berbuat-apa-pun. Kita harus melangkah ke depan untuk menjadi umat Kristen yang lebih baik. Seringkali, Tuhan juga ingin memakai rintangan tersebut untuk mengingatkan kita untuk bersandar kepada-Nya saat kita berjalan dengan-Nya.
“Tuhan tidak menjanjikan solusi yang cepat dan mudah. Hari ini Dia melepaskan kita, dan menguji kita esok. Beberapa cobaan dalam hidup kita tidaklah hilang karena waktu, tapi karena kepercayaan kita akan waktu dan rencana Tuhan yang lebih besar menunjukkan kepada kita bahwa kita memerlukan pencobaan tersebut untuk menjadi orang Kristen yang lebih baik.”
Mustahil berdebat bahwa iman Musa telah bertumbuh dengan pesat setelah pengalaman sepuluh tulah dengan Firaun. Mengapa Tuhan harus mengirimkan sepuluh tulah, bukan satu, lima atau tujuh? Pertanyaan ini tidak penting ketika kita ingat bahwa dengan percaya kepada Tuhan dan waktu-Nya, kita tidak perlu tahu semua jawaban. Demikian juga contohnya ketika Tuhan menahan Roh Kudus dari jemaat yang telah percaya sungguh-sungguh selama 40 tahun, tentu membuat kita bingung. Mungkin saja ada hal-hal yang perlu jemaat itu pelajari; mungkin saja dia belum sungguh-sungguh lapar akan Roh Kudus; mungkin saja, mungkin dan mungkin. Segala spekulasi ini tidaklah penting. Yang penting adalah waktu yang kita siapkan untuk berdoa di dunia tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kekekalan yang di surga.
KESIMPULAN
“Nantikanlah Tuhan,” nyanyian pemazmur. “Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah Tuhan!” (Mzm. 27:14).
Mungkin saja kita tidak akan pernah tahu masa depan kita. Ketika kita perlu kepastian akan masa depan, statistik, logaritma, dan mesin tidak dapat menjawab kita. Yang telah Musa ajarkan kepada kita, dalam perjalanan imannya adalah kesabaran dan kepercayaan tidak akan mengecewakan kita. Ketidakpastian akan terus ada, tetapi tidak boleh menguasai kita. Tuhan punya waktu-Nya, dan terstruktur, tidak kacau; aktif, tidak malas. Dan selama kita mengerti kekekalan di dalam kita selama kita menjalani hidup Kekristenan kita, kemenangan akan menjadi milik kita.