DIDIRIKAN OLEH TUHAN: HIDUP SEBAGAI ISTRI PENDETA
Berbagai Orang
Catatan Editor: Dalam terbitan ini, kami menampilkan banyak kesaksian yang penuh kasih karunia tentang Allah yang memanggil hamba-hamba-Nya untuk melayani sepenuh waktu. Kisah-kisah seperti ini sudah tidak asing lagi bagi kita, namun sering kali, hanya sedikit perhatian yang diberikan pada pasangan yang mendukung dan mendampingi para pekerja ini. Istri seorang pendeta memegang peran khusus dan, seperti suaminya, dipanggil untuk menjalani jalan pengorbanan dan pelayanan. Dia mendedikasikan pasangan hidupnya pada pekerjaan Tuhan dan menerima lebih banyak tanggung jawab di rumah–menangani pekerjaan, membesarkan anak-anak, merawat anggota keluarga yang lanjut usia dan sakit, serta tugas-tugas gerejanya sendi–sehingga suaminya dapat berkomitmen penuh dalam pelayanan. Ini mungkin terdengar seperti sebuah beban berat, namun seperti yang dibuktikan oleh kesaksian-kesaksian di bawah ini, kehidupan seperti itu tidak perlu ditakuti. Mereka merasakan berkat dan kemurahan Tuhan yang melimpah, yang tidak hanya mempersiapkan para saudari ini untuk menempuh jalan ini namun juga menyediakan setiap kebutuhan mereka untuk membangun keluarga dan kehidupan mereka dalam kasih karunia-Nya. Dan bahkan di saat bahaya dan kesusahan, mereka dilindungi oleh perlindungan Tuhan dan kedamaian yang melampaui pemahaman, menjaga hati dan pikiran.
MENGAPA SAYA MENJADI SEORANG ISTRI PENDETA
Eunice Chiang—Dalin, Taiwan
Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. (Fil. 2:13)
Pada tanggal 28 Mei 1973, teman sekelas saya membawa saya ke Gereja Yesus Sejati untuk pertama kalinya untuk menghadiri kebaktian Sabat. Saya tinggal sampai malam untuk menghadiri kelas pendidikan agama Remaja dan menerima Roh Kudus yang berharga selama sesi doa. Saya dibaptis pada tanggal 25 September tahun yang sama. Semua ini terjadi ketika saya berumur tujuh belas tahun.
TERTANAM DALAM HATI SAYA
Biasanya, siswa di sekolah kejuruan harus menunggu hingga tahun keempat, ketika mereka berusia delapan belas tahun, untuk menghadiri acara kerohanian bagi mahasiswa. Namun, gereja membantu saya mendaftar lebih awal, saat saya berada di tahun ketiga, jadi saya bisa berpartisipasi sebanyak tiga kali. Setiap kali, saya berada di gereja berbeda yang berada di wilayah lain. Pada saat kebaktian di salah satu acara kerohanian inilah seorang pembicara berkata, “Saya berharap semua saudari dapat bertekad untuk menjadi istri seorang pendeta.” Jika dipikir-pikir, jelas bahwa Tuhan sudah menentukan bahwa ini akan menjadi jalan saya. Setelah kebaktian berakhir, saya merasakan Roh Kudus terus menggerakkan saya, yang membuat saya sedikit takut karena saya belum pernah memikirkan hal seperti itu sebelumnya. Begitu saya kembali ke gereja cabang saya, gagasan untuk menjadi istri seorang pendeta masih melekat di benak saya. Saya berkata kepada Tuhan dalam hati, “Biarlah terjadilah kehendak-Mu. Jika ini kehendak-Mu, tolong bantu saya menjadi istri pendeta yang kompeten.” Setelah itu, gagasan menjadi istri seorang pendeta memudar.
Setelah lulus sekolah kejuruan, saya mulai bekerja. Saya juga menjadi guru pendidikan agama untuk mengajar anak-anak kecil di gereja. Hari-hari berlalu, dan waktu berlalu sedikit demi sedikit. Pada satu titik, para pendeta gereja mulai menunjukkan kepedulian dan bertanya apakah mereka bisa memperkenalkan calon pasangan kepada saya. Rekan kerja saya di tempat kerja juga menanyakan pertanyaan serupa. Saat itu, saya belum serius memikirkan soal pernikahan. Saya adalah anak perempuan tertua dan saudara-saudara saya masih kecil. Ayah saya sudah pensiun, tetapi temannya menipu dia dengan uang pensiunnya yang sedikit. Jadi, saya perlu berkontribusi pada keuangan keluarga. Pernikahan belum terlintas dalam pikiran saya. Saya mengatakan kepada para pendeta gereja bahwa saya tidak mempunyai rencana saat ini, dan saya menolak bantuan rekan-rekan saya, menjelaskan bahwa saya hanya tertarik untuk menikah dengan anggota Gereja Yesus Sejati. Sebenarnya saya sudah lama lupa tentang menjadi istri seorang pendeta.
MENGIKUTI KEHENDAK TUHAN
Karena bidang studi saya berhubungan dengan komputer, saya langsung pergi ke gereja setelah bekerja untuk membantu sekretaris gereja. Keterlibatan saya dalam pelayanan ini membuat saya mulai lebih banyak berinteraksi dengan rekan sekerja di gereja dan pendeta setempat. Saat bersosialisasi ketika istirahat, saya mengetahui bahwa salah satu rekan kerja saya, Saudara Ko Chang Chiang, ingin menjadi seorang pendeta. Pasalnya, ibunya telah bersumpah ketika ia masih kecil, berharap ia akan tumbuh menjadi seorang pendeta. Saat itu, saya tiba-tiba teringat akan kegerakan Roh Kudus saat mengikuti acara kerohanian mahasiswa dan bagaimana keinginan untuk menjadi istri pendeta telah merasuki hati saya. Secara kebetulan, Saudara Chiang sedang mencari istri yang cocok saat itu. Suatu hari, dia bertanya apakah saya bersedia menjadi istrinya, dan itulah yang terjadi! Fakta bahwa Tuhan telah menggerakkan hati saya dan mempertemukan jalan kami tepat pada saat suami saya sedang mencari istri menunjukkan bahwa ini adalah pengaturan Tuhan. Belakangan, suami saya menyebutkan alasan dia bertanya pada saya—alasan utamanya adalah karena kepribadian saya yang mandiri. Saya tidak tahu bagaimana Tuhan membentuk saya untuk peran ini, namun secara keseluruhan, kehendak Tuhan terjadi.
PERCAYA PADA TUHAN
Ketika dihadapkan pada kenyataan menjadi istri seorang pendeta, saya berkata pada diri saya sendiri bahwa suami saya adalah milik Tuhan—dia adalah pekerja Tuhan. Tidak ada apa pun di rumah yang dapat mengganggunya. Tuhan akan selalu menjaga kita.
Ada komplikasi saat kelahiran kedua putra kami. Namun, dalam kedua kasus tersebut, saya merasakan kasih karunia dan pemeliharaan Tuhan. Ketika saya sedang melahirkan anak sulung saya, saya dirawat di rumah sakit pada malam hari tanggal 5 Maret 1981. Proses persalinannya sulit karena kepala anak saya besar dibandingkan dengan tubuhnya yang mungil. Saya berdoa memohon belas kasihan Tuhan, dan akhirnya, anak saya lahir pada pukul 9:08 keesokan harinya, tanpa perlu operasi.
Kelahiran putra kedua saya bahkan lebih genting, dan kali ini suami saya tidak bersama saya. Menjelang akhir kehamilan saya, posisi bayi sungsang, sehingga dokter menyarankan beberapa latihan untuk mendorong bayi mengubah dirinya ke posisi kepala menghadap ke depan sebelum lahir. Namun, saya merasa latihan ini sangat tidak nyaman, jadi saya tidak mengikuti saran dokter.
Saya bertanya kepada perawat mengapa tidak ada tangisan bayi, tapi dia tidak menjawab karena mereka berusaha menyelamatkannya
“Saya bertanya kepada perawat mengapa tidak ada tangisan bayi, tapi dia tidak menjawab karena mereka berusaha menyelamatkannya”
Air ketuban saya pecah pada malam hari tanggal 10 November 1982, dan mertua saya mengantarkan saya ke rumah sakit. Ketika saya tiba di unit gawat darurat, dokter bertanya apakah saya sudah mendiskusikan kemungkinan persalinan sesar dengan dokter saya. Saya bilang padanya saya belum melakukannya. Namun saat kami berbicara, saya merasa bayinya akan segera lahir. Anak saya muncul dengan kaki pertama, dan bahu serta kepalanya tidak bisa keluar. Karena ini situasi kritis, mertua saya disiagakan di ruang tunggu. Ada keheningan ketika anak saya akhirnya dilahirkan. Saya bertanya kepada perawat mengapa tidak ada tangisan bayi, tapi dia tidak menjawab karena mereka berusaha menyelamatkannya. Akhirnya kesunyian dipecahkan oleh tangisan anak saya. Dia ditempatkan di inkubator selama beberapa hari sebelum dipulangkan. Puji Tuhan, kedua anak saya sudah dewasa dan sama-sama menikah di dalam Tuhan.
Setelah melahirkan putra pertama, saya meninggalkan pekerjaan saya dan tinggal bersama keluarga suami saya. Ada empat generasi yang hidup di bawah satu atap. Tinggal bersama generasi yang lebih tua memungkinkan saya menikmati kedamaian dan kegembiraan seluruh keluarga dengan percaya kepada Tuhan, dan kami dapat merawat anak-anak saya bersama. Merupakan berkat besar bagi putra-putra saya karena begitu disayangi oleh orang yang lebih tua. Pada saat anak-anak saya jatuh sakit, saya tidak perlu panik karena orang tua selalu siap membantu. Kalau anak-anak menangis di malam hari, kami berdoa saja.
Mengingat kembali sejak pertama kali saya percaya kepada Tuhan hingga saat ini, satu-satunya keyakinan teguh dalam hati saya adalah memandang kepada Tuhan.
“Tetapi aku, tentu aku akan mencari Allah,
dan kepada Allah aku akan mengadukan perkaraku.” (Ayb. 5:8)
KASIH DAN PEMELIHARAAN TUHAN DALAM PERAN SAYA SEBAGAI ISTRI PENDETA
Lisa Liew—Portsmouth, Inggris
Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, saya bersaksi bagaimana Allah telah menunjukkan kasih karunia, belas kasihan, dan bimbingan-Nya dalam hidup saya sebagai istri seorang pendeta.
LAMARAN AWAL
Suami saya, Daniel, dan saya tumbuh bersama di gereja cabang kami. Setelah belajar, kami terhubung kembali sebagai teman. Kami adalah generasi muda yang bekerja dan suka mengobrol serta mengenal satu sama lain, seperti yang dilakukan banyak pemuda. Saya ingat ketika ia mengangkat topik melayani Allah sebagai hamba Tuhan penuh waktu. Itu terjadi sebelum kami memulai hubungan kami, dan dia menceritakan kepada saya kemungkinan dia mendedikasikan hidupnya sebagai seorang pendeta jika itu adalah kehendak Tuhan. Setelah kami mengungkapkan perasaan kami terhadap satu sama lain, dia menceritakan bahwa jika saya ingin menjadi bagian dari hidupnya, saya perlu mempersiapkan diri menghadapi tantangan menjadi istri seorang pendeta. Saya sedikit kaget, meski tidak terlalu terkejut. Pertama, kami belum mulai berpacaran, dan kedua, saya bertanya-tanya, Apakah ini semacam pra-lamaran? Saya berpikir panjang dan keras tentang kemungkinan menjadi pasangan seorang pendeta.
Di Inggris, keluarga pendeta tinggal di rumah, dan pendeta diharuskan melakukan perjalanan ke gereja atau tempat ibadah yang ditugaskan di Inggris, Eropa, dan Afrika. Artinya, istri sering kali mengurus keluarga sendirian. Akankah saya bersedia untuk berkomitmen pada Daniel, mengetahui bahwa dia jarang berada di rumah, dan akan melakukan perjalanan ke berbagai gereja untuk menggembalakan saudara-saudaranya, berkhotbah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, dan menempatkan Tuhan di atas keluarganya sendiri? Apakah saya bersedia? Kami berdua sepakat untuk mendoakan masalah ini dan mendiskusikannya setelah Daniel kembali dari Kursus Teologi Pemuda. Banyak hal yang harus saya pertimbangkan: Apakah saya bisa mandiri? Bisakah saya mempertahankan kerohanian saya tanpa pasangan di rumah? Apa harapan dari istri seorang pendeta? Meskipun pertanyaan-pertanyaan ini tampak tidak masuk akal pada saat itu, namun relevan dengan apa yang akan saya hadapi. Setelah banyak pertimbangan dan waktu yang dihabiskan dalam doa, kami memutuskan untuk melanjutkan hubungan kami.
Puji Tuhan, melalui pengaturan-Nya, saya dan Daniel menikah pada tahun 2009. Sebelum kami menikah, kami mendiskusikan harapannya untuk menjadi seorang pendeta dan bagaimana hal itu akan mempengaruhi masa depan kami. Saya belajar bahwa saya harus melihat gambaran yang lebih besar dari sudut pandang Tuhan: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Mat. 9:37). Prioritas saya adalah mengutamakan Tuhan dalam hidup saya, meskipun itu berarti membiarkan suami saya melayani Dia seumur hidupnya. Peran saya sebagai istri seorang pendeta bukan hanya untuk mendukung suami saya tetapi untuk mengetahui bagaimana saya dapat mendukung pelayanan Tuhan di gereja cabang saaya, memperhatikan saudara-saudara, dan bekerja bagi Tuhan untuk memakmurkan gereja-Nya.
DALAM WAKTU TUHAN
Pada tahun-tahun awal pernikahan, kami berbicara tentang bagaimana memulai sebuah keluarga akan terjadi jika suami saya mengikuti sekolah tinggi teologi (STT). Apakah kami akan mempunyai anak terlebih dahulu dan menunggu mereka bertambah besar sebelum dia mengajukan STT? Atau apakah kita akan berpikir untuk memulai sebuah keluarga setelah dia bergabung dengan STT? Apakah saya mampu menghadapinya sebagai orang tua tunggal?
Pada tahun 2012, dua peristiwa yang mengubah hidup terjadi. Yang pertama adalah meninggalnya mendiang ibu mertua saya, dan yang kedua, beberapa bulan kemudian, adalah kelahiran putri kami. Suami saya adalah anggota dewan gereja dan gereja sedang menghadapi tantangan pada saat itu. Ada kebutuhan akan pekerja gereja. Suami saya menyampaikan kemungkinan mengajukan permohonan STT lebih awal dari yang kami rencanakan. Setelah kehilangan ibunya dan menyaksikan berkat Tuhan atas putri kami, kami merasakan rapuhnya hidup. Seperti yang diingatkan Alkitab kepada kita:
Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. (Yak. 4:14)
Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab. Namun, kami hanya bisa menyerahkan masalah ini ke tangan Tuhan. Seperti yang dikatakan dalam Amsal 16:9, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.” Saya tahu apa pun rencana kami, Tuhan akan mengungkapkan jalan-Nya bagi kami. Kita tidak perlu khawatir jika kita mencari kehendak Tuhan terlebih dahulu (Mat. 6:33). Untuk memahami seperti apa kehidupan saya nantinya, saya meminta beberapa istri pendeta untuk berbagi pengalaman mereka. Saya benar-benar berterima kasih kepada Tuhan atas cerita dan dorongan mereka. Kepastian mereka menyadarkan saya betapa pentingnya memercayai pengaturan Tuhan bagi keluarga saya dan gereja-Nya.
Daniel melamar STT menjelang akhir tahun 2012. Karena tidak ada pelamar lain di tahun 2013, dia bisa menghabiskan tahun itu di rumah. Kami menikmati waktu bersama sebagai keluarga muda. Pada tahun 2014, atas karunia Tuhan, Daniel diterima di STT. Pada tahun 2015, kami dikaruniai seorang anak lagi. Anak-anak kami masih kecil—putri kami masih di penitipan anak, dan putra kami baru lahir. Daniel seharusnya dilatih di AS untuk semester pertama tetapi tidak dapat menghadiri STT secara langsung karena komplikasi visa dan keadaan di luar kendali kami. Alhasil, dia menghadiri kelas online. Sekitar enam bulan kemudian, dia memperoleh visa untuk tahun kedua STT di Taiwan. Saat itulah kenyataan membesarkan dua anak kecil sendirian benar-benar terasa.
MENGATASI TANTANGAN
Pada suatu kesempatan, putri saya terkena cacar air dan penyakit tangan, kaki, dan mulut secara berturut-turut. Penyakit ini menyebar ke anak laki-laki saya, penyakit demi penyakit. Saat mereka mulai pulih, saya terkena penyakit flu perut, yang dengan cepat menulari anak-anak saya. Saya berdoa kepada Tuhan agar mengasihani keluarga kami, dan saya bertanya-tanya mengapa Dia membiarkan kami sakit parah ketika ibu saya berada di luar negeri untuk mengunjungi keluarga. Saat itulah saya paling membutuhkan suami saya. Hampir setiap hari, saya mendapati diri saya terpuruk di atas meja tanpa kekuatan untuk memberi makan anak-anak saya. Saya berpikir, Bagaimana mungkin saya bisa menjaga anak-anak saya jika saya sendiri saja tidak bisa menjaga diri sendiri? Saya merasa lemah, tidak berdaya, dan putus asa. Tampaknya Tuhan segera memasukkan saya ke dalam jurang terdalam untuk menguji iman saya. Suami saya yang berada di Taiwan tentu saja sangat prihatin dan meminta teman-teman STT-nya untuk mendoakan keluarganya. Tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain mendoakan kami. Dia hanya diperbolehkan pulang beberapa kali dalam setahun, dan ini merupakan penyesuaian yang sulit bagi kami. Namun dengan mengandalkan Tuhan dan rahmat-Nya, saya bisa melewati cobaan ini tanpa suami atau ibu di sisi saya.
Di saat merasa lemah secara fisik dan rohani, saya tahu saya harus mengumpulkan kekuatan untuk berdoa memohon belas kasihan Tuhan. Bahkan ketika saya tidak bisa berdoa lama-lama, saya masih terhibur oleh kehadiran Tuhan dalam keluarga muda kami. Saya belajar bahwa Tuhan benar-benar mengetahui kemampuan kita dan seberapa kuat kita mampu bertahan (1 Kor. 10:13).
Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. (Yak. 1:2-3)
Dia mungkin tidak menghilangkan penderitaan kita, tapi Dia menguji kita melalui cobaan yang kita hadapi, berharap kita memperoleh ketekunan. Dia mengetahui kelemahan kita dan akan menguatkan kita (Fil. 4:13). Saya bersyukur kepada Tuhan karena memberi saya kekuatan fisik untuk pulih. Dia membantu anak-anak saya sembuh tanpa komplikasi atau bekas cacar air. Apa yang terasa seperti selamanya ternyata hanya beberapa minggu saja. Dengan bantuan anggota keluarga dan saudara-saudara di gereja, kami dapat kembali sehat sepenuhnya. Saya melihat ke belakang dan menyadari bahwa Tuhan telah merencanakannya seperti ini. Seandainya saya dan anak-anak saya terkena infeksi satu kali, maka akan ada rangkaian penyakit yang berbeda-beda sepanjang tahun. Sebaliknya, Tuhan mengizinkan saya dan anak-anak saya menderita berbagai penyakit dalam waktu yang relatif cepat. Beberapa minggu itu membuat saya memikirkan dan merenungkan pentingnya mencari Tuhan terlebih dahulu dalam hidup saya, terutama saat suami saya sedang pergi. Inilah pelajaran yang terus Tuhan ajarkan kepada saya setiap hari.
MEMBANGUN KELUARGA DALAM TUHAN
Sebagai istri seorang pendeta, sering kali kami harus menghadapi tantangan sendirian, dan kami menyadari bahwa tidak semua orang bisa berempati kepada kami karena kehidupan keluarga kami sangat berbeda dengan saudari-saudari lain di gereja. Kehidupan sehari-hari bisa sangat melelahkan, penuh tekanan, dan melelahkan, terutama ketika anak-anak kami masih kecil. Saya sering mendapati diri saya keluar dari zona nyaman saya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga yang biasanya dilakukan suami saya, atau mengurus anak, mengurus rumah tangga, dan memenuhi tanggung jawab gereja. Sulit rasanya untuk menjadi mandiri tanpa kehadiran suami. Seorang istri dan suami berbagi tanggung jawab rumah tangga dan mendiskusikan masalah sehari-hari. Tanpa suami, saya harus mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan anak-anak, urusan rumah tangga, dan keadaan darurat yang tidak terduga. Namun tantangan yang paling sulit adalah membesarkan anak-anak di dalam Tuhan. Saya sering mendapati diri saya memainkan peran sebagai ibu dan ayah dalam satu peran.
Secara alami, anak-anak tumbuh dan dipengaruhi oleh tren duniawi. Mereka sering bertanya tentang dunia, keyakinan mereka, dan identitas mereka. Setiap orang tua yang beriman bertanggung jawab untuk menanamkan pentingnya pembinaan kerohanian sejak dini. Saat suami saya jauh dari rumah, dengan bantuan teknologi, setidaknya kami bisa berdoa dan berbincang bersama sebagai satu keluarga. Penting bagi anak-anak saya untuk mengetahui bahwa ayah mereka dapat membantu mereka dalam iman meskipun tidak hadir secara fisik. Saya mengingatkan anak-anak saya bahwa, meskipun mereka adalah anak-anak pendeta, mereka tidak boleh merasakan tekanan tambahan untuk berperilaku lebih baik. Terlepas dari peran apa yang kita miliki dalam gereja Tuhan, semua orang tua telah diberi tanggung jawab yang sama untuk membesarkan anak-anak yang beriman sehingga mereka dapat bertumbuh untuk melayani Tuhan. Saya melihat bagaimana anak-anak saya mengingat ajaran-ajaran yang kami pelajari dari membaca satu pasal dalam Alkitab, dan bagaimana mereka membagikan kesaksian mereka tentang berdoa dalam hati di sekolah ketika mereka menghadapi situasi sulit. Tuhan telah menanamkan benih firman dan prinsip-prinsip-Nya dalam diri mereka, memampukan mereka bertumbuh dalam iman. Ini merupakan berkat yang sangat berharga untuk disaksikan sebagai orang tua.
JANGAN KHAWATIR
Saya telah belajar bahwa Tuhan menyediakan kebutuhan fisik kita, meskipun saya merasa kita kekurangan. Saya telah belajar untuk menaruh kepercayaan saya sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak meragukan kasih dan kepedulian-Nya terhadap anak-anak-Nya. Khawatir terhadap anak dan pasangan kita adalah hal yang wajar, namun kita tidak boleh terlalu cemas hingga meragukan kasih karunia dan kuasa Tuhan.
Saya terdorong oleh beberapa percakapan dengan beberapa istri pengkhotbah, dan tema umum yang saya sampaikan adalah jangan khawatir. Kedengarannya sederhana, namun kekhawatiran hidup sering kali membawa ketidakpastian dan kecemasan. Membiarkan perasaan ini menguasai kita bisa membuat kita meragukan pemeliharaan Tuhan. Saya sering memikirkan tentang dorongan yang saya terima dari istri-istri pendeta lainnya, dan hal itu membuat saya sangat terhibur karena mengetahui bahwa saudari-saudari lain juga mengalami hal yang sama. Ingatlah, Tuhanlah yang mengendalikan segala sesuatu. Jika Tuhan memelihara seekor burung pipit, mengapa Dia tidak memelihara anak-Nya, yang bahkan lebih berharga?
“Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.” (Mat. 10:31)
“Jadi, janganlah kamu mempersoalkan apa yang akan kamu makan atau apa yang akan kamu minum dan janganlah cemas hatimu. Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu.” (Luk. 12:29-31)
Terlepas dari tantangan yang ada, saya telah melihat berkat-berkat yang Tuhan limpahkan ke dalam keluarga kami, misalnya melalui tindakan kecil kemurahan hati dari tetangga dan saudara di gereja. Meskipun gaji seorang pendeta tidak terlalu besar, kami tidak kekurangan materi, dan saya belajar untuk merasa puas dengan apa yang Tuhan berikan kepada kami. Berkat terus dicurahkan kepada kita. Terkadang, kita tidak bisa melihatnya karena terlalu fokus pada penderitaan yang ada di hadapan kita dan hal-hal negatif di sekitar kita. Kita semua pernah mengalami kesulitan pada suatu saat dalam hidup, bahkan dalam keluarga pendeta. Tuhan ingin melihat bagaimana kita menanggapi penderitaan; Dia ingin kita menjangkau dan berpaling kepada-Nya dan tidak bergantung pada diri kita sendiri.
Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. (Ams. 3:5)
Saya berharap melalui cerita pribadi ini, Tuhan akan mendorong para saudari yang pada akhirnya menjadi istri pendeta untuk tidak mengkhawatirkan peran mereka dalam keluarga dan rumah tangga Tuhan. Berikan yang terbaik kepada Tuhan dengan membiarkan Dia memenuhi tujuan-Nya bagi gereja-Nya melalui para pekerja gereja. Dia akan mengawasi Anda dan keluarga Anda, dan Dia akan menjadi sumber kekuatan di sepanjang hidup Anda.
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (Rm. 8:28)
MELALUI LEMBAH BAYANGAN KEMATIAN
Apphia Yeung—Calgary, Kanada
Dalam nama Tuhan Yesus, saya bersaksi tentang perlindungan Tuhan ketika terjadi kejadian menyedihkan di awal pelayanan suami saya. Suami saya, Pendeta Timothy Yeung, terdaftar dalam Program Pelayanan Luar Negeri Majelis Internasional (IA), yang mencakup pelayanan selama lima tahun di Afrika. Oleh karena itu, setelah kami menikah, kami pindah ke sana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan perintisan dan pastoral di Afrika Timur dan Barat.
Kejadian ini terjadi di Nigeria pada tanggal 8 November 2001, ketika kami sedang menginap di rumah seorang jemaat. Jemaat ini kaya, jadi tempatnya luas, dengan halaman dalam dan penjaga keamanan di pintu masuk. Namun, keamanan ini tidak cukup untuk menjauhkan kami dari bahaya.
Pada jam 3 pagi, kami terbangun karena suara gedoran keras di pintu. Pelayan itu buru-buru menyuruh kami naik ke kamar tidur utama dan mengunci pintu tangga di belakang kami. Kami melihat ke luar jendela dan melihat lubang menganga di dinding luar dan tujuh atau delapan orang menghancurkan lampu yang mengelilingi halaman, hanya menyisakan kegelapan dan suara dentuman dan benturan. Kami diliputi rasa takut, dan kami berdoa dengan sungguh-sungguh. Saat saya berdoa, saya bertanya-tanya apakah polisi telah dipanggil. Namun pertanyaan saya terjawab ketika ada yang berkomentar bahwa sambungan telepon terputus karena tagihan yang belum dibayar. Tidak ada cara untuk menghubungi polisi.
Kami terus berdoa sementara suara gedoran terus terdengar. Yang paling menakutkan adalah ketika suara-suara itu berhenti karena menandakan bahwa penyusup telah berhasil masuk ke dalam rumah. Begitu mereka masuk, mereka menggunakan palu godam untuk mendobrak pintu dan menggeledah semua ruangan. Ketika mereka sampai di pintu pengaman logam, mereka menerobos dinding di sebelahnya. Kami berada di kamar tidur utama dengan banyak kunci di pintunya, tetapi mereka mendobrak bagian tengah pintu dan masuk. Mereka mulai memukuli kami dan menuntut untuk mengetahui di mana kamar tidur kami. Beberapa pria membawa saya dan pendeta ke bawah sementara sisanya tetap berada di kamar tidur utama.
Ketika kami sampai di kamar tidur kami, kami menemukan kamar itu telah digeledah. Para perampok memukuli dan mengancam kami, menuntut untuk mengetahui di mana uang kami berada. Satu-satunya uang tunai yang kami miliki adalah milik gereja—USD $1.500 untuk membangun gereja di desa tersebut. Karena seluruh ruangan telah berantakan, kami harus mencari kantong uang sambil terus diintimidasi oleh mereka. Ketika kami menyerahkan uang tunai itu kepada mereka, mereka merasa puas dan pergi. Namun lebih banyak pria yang masuk untuk memukuli kami dan meminta uang. Saat itulah kami menyadari bahwa mereka bukanlah sebuah geng yang bekerja sama, melainkan individu yang mencuri apa yang mereka bisa untuk diri mereka sendiri.
Kemudian, saya dan pendeta dipisahkan, sehingga kami tidak bisa saling melindungi. Dua pria membawa saya ke atas dan menyeret saya ke kamar mandi. Salah satunya hanya mengenakan celana pendek, jadi saya takut dengan apa yang akan terjadi dan menolak permintaannya untuk berbalik. Dia menggunakan tongkat untuk memukuli saya, memegang wajah saya dan melukai mata saya. Ketika kedua pria itu turun, saya bersembunyi. Kemudian, pelayan itu datang mencari saya dan memberi tahu saya bahwa mereka telah pergi. Dia kaget saat melihat saya. Wajah saya berdarah, memar, dan bengkak, serta lengan saya patah dan berdarah.
Pendeta datang dari bawah dan sangat terpukul melihat luka-luka saya. Dia tampak baik-baik saja, namun dia mengatakan kepada saya bahwa mereka telah mendobrak pintu kayu itu dan menggunakan sebagian dari pintu itu untuk memukul punggungnya. Setelah mereka menghajarnya hingga jatuh, salah satu dari mereka bertanya, “Apakah Anda ingin membunuhnya?”
Saat itu, pendeta merasa damai. Dia berkata kepada Tuhan di dalam hatinya, “Tuhan, jika Engkau bersedia mempertahankan hidup saya, saya bersedia kembali ke sini dan terus melayani Engkau.”
Lalu orang yang satu lagi berkata, “Tidak, kita tidak perlu membunuhnya.” Mereka memukulinya lagi untuk memastikan dia tidak bisa membalas, lalu mereka pergi. Kami tidak tahu apakah mereka akan kembali, tapi Tuhan memberi kami hati yang tenang dan damai.
Para perampok telah merampas sebagian besar barang bawaan dan makanan kami, jadi kami mengemas sisa barang kami ke dalam kantong plastik. Keesokan harinya, kami pindah ke sebuah hotel; saat kami berjalan ke lobi dengan luka yang terlihat dan sambil membawa kantong plastik, orang-orang menatap. Malam itu, saya berdoa, “Tuhan, tolong jangan biarkan saya mengalami mimpi buruk.” Syukurlah saya tidur nyenyak. Selagi kami memilah-milah harta benda kami, kami menyanyikan pujian Hitunglah Berkat-Nya. Kami tidak dapat mengambil foto untuk mengabadikan kejadian tersebut karena kamera kami telah diambil. Syukurlah, hari-hari berlalu dengan damai setelah ini.
Setelah itu, kami terbang ke Taiwan untuk memulihkan diri. Ketika teman saya menjemput saya dari bandara, dia menangis. Luka di wajah saya masih terlihat jelas. Dia terkejut karena saya tidak mau mencari konseling. Dia berkata, “Jika saya jadi Anda, saya perlu menemui psikolog. Apakah Anda tidak trauma dengan apa yang terjadi?” Setelah dia menanyakan hal ini, saya sadar bahwa damai sejahtera yang Yesus berikan begitu besar:
Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau,
Ia membimbing aku ke air yang tenang;
Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman,
aku tidak takut bahaya,
sebab Engkau besertaku;
gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. (Mzm. 23:1-2, 4)
Saya benar-benar mengalami kata-kata dalam ayat ini. Inilah kedamaian yang Yesus berikan. Meski kita beragama Kristen, bukan berarti kita akan selalu damai—sehat dan bebas masalah. Benar, Tuhan dapat memberi kita kedamaian di dunia, namun yang lebih penting, Dia memberi kita kedamaian yang melampaui pemahaman dan menjaga hati kita (Fil. 4:7). Di saat-saat sulit, kita dapat berpegang pada tangan Bapa kita. Dialah kekuatan penstabil yang menenangkan kita saat badai. Inilah kekuatan perdamaian melalui Yesus Kristus saja. Tanpa perdamaian ini, kami tidak akan mampu melanjutkan pelayanan. Atas karunia Tuhan, kami tidak menyerah dan merasakan nikmat-Nya selama bekerja di Afrika selama lima tahun tersisa. Kami tiba di Afrika sebagai dua orang tetapi pergi sebagai keluarga beranggotakan lima orang.
Kiranya segala kemuliaan bagi Tuhan! Amin.