SIAPAKAH SAYA? (Bagian 2)
Boaz—Malaysia
Catatan Editor: Ini adalah artikel kedua dari seri dua bagian tentang memahami siapa kita. Bagian pertama membahas bagaimana umat Kristiani harus mengelola identitas ganda dan kontras. Artikel ini berfokus pada siapa yang Tuhan ingin kita menjadi dan aspek spiritual yang Dia ingin kita kembangkan sebagai pekerja-Nya.
PENDAPAT SIAPA YANG PENTING?
Ketika kita merenungkan pertanyaan “Siapakah saya?”, perspektif manakah yang harus kita pertimbangkan? Cara orang lain memandang kita adalah hal yang penting dan dapat membantu kita memahami orang seperti apa diri kita. Tindakan dan perilaku kita menyingkapkan apa tentang diri kita, khususnya dalam kaitannya dengan identitas Kristen kita? Apa pun pendapat orang tentang kita, pada gilirannya akan berdampak pada cara mereka memandang orang Kristen secara keseluruhan. Oleh karena itu, kita harus sadar apakah kita adalah orang Kristen yang baik di mata orang lain dan hidup sesuai dengan gambar Kristus.
Meskipun demikian, kita hendaknya tidak terlalu menjunjung tinggi pendapat orang lain. Misalnya, tidak penting apakah orang lain menganggap kita kaya, cantik, atau berbakat karena hal-hal tersebut bersifat sementara (Yak. 1:11). Meski begitu, kita juga tidak ingin terlihat miskin, tidak cantik, atau biasa-biasa saja.
Untuk memahami segala sesuatunya, kita harus selalu bertanya, “Siapakah saya menurut pandangan saya sendiri?” Pertanyaan ini membantu kita lebih memahami status kita, sehingga menghasilkan pandangan yang lebih seimbang tentang diri kita sendiri. Sebagai pekerja Tuhan, kita tidak boleh menganggap diri kita terlalu tinggi atau merasa rendah diri, karena Tuhan telah memberi kita karunia yang berbeda (Rm. 12:3-8; Ams. 16:5; Why. 3:17).
Siapakah Saya di Mata Tuhan?
Pada akhirnya, pendapat Tuhan terhadap kita adalah yang paling penting, karena Dialah Hakim terakhir:
Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiri pun tidak kuhakimi. Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan. (1 Kor. 4:3-4)
Paulus mengingatkan kita bahwa tidak peduli seberapa baik kita dianggap oleh orang lain atau seberapa benar kita memandang diri kita sendiri, hanya penghakiman Allah yang tetap berlaku. Pepatah Tiongkok, “Jangan menilai seseorang sampai tutup peti matinya tertutup,” adalah sebuah pengingat bahwa seseorang hanya dapat benar-benar dinilai setelah kematiannya. Namun, tidak menjadi masalah apakah orang lain menilai kita sukses atau berbudi luhur. Ketika kita berangkat dari bumi ini, sanjungan terindah tidak akan memperbesar peluang kita masuk kerajaan surga. Tuhan adalah satu-satunya Hakim yang terakhir. Oleh karena itu, dalam kehidupan ini dan pelayanan kita kepada Tuhan, tidak ada pertanyaan yang lebih penting daripada siapa kita di mata Tuhan. Tuhan ingin kita menjadi orang percaya seperti apa?
- GEMBALA DAN PELAYAN
Kita dapat belajar banyak tentang menjadi seorang gembala dari Rasul Petrus.
Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu. Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. (1 Ptr. 5:2-4)
Meskipun pesan ini ditujukan kepada para penatua pada saat itu, ajarannya relevan bagi semua orang percaya, bukan hanya para pelayan gereja yang ditahbiskan. Banyak di antara kita yang memikul tanggung jawab sebagai seorang gembala, baik sebagai orang tua, guru pendidikan agama, anggota yang merawat sesama saudara, dan lain-lain.
Yang pertama dan terpenting, kita harus mengenali siapa yang mempunyai otoritas tertinggi atas kawanan domba. Petrus menyebut Yesus sebagai “Gembala Agung”—pemimpin semua gembala. Artinya hanya ada satu kepala, satu pemimpin, dan satu komandan di dalam gereja, yaitu rumah Tuhan. Itu adalah Yesus Kristus.
Kedua, kita harus memahami cara menggembalakan. Para penguasa dunia memerintah dengan penuh kuasa dan wewenang (Mat. 20:25). Para gembala di kerajaan Allah tidak melakukan hal itu. Di tempat kerja, atasan memerintahkan bawahannya untuk bekerja karena mereka mempunyai wewenang untuk itu. Sebaliknya, gembala adalah teladan bagi anak dombanya. Seperti kata pepatah, memberi contoh lebih baik daripada ajaran. Tuhan Yesus memberi kita teladan dalam segala hal—baptisan, basuh kaki, memelihara hari Sabat, dan bahkan dalam penderitaan demi kebenaran.
Rasul Paulus menggemakan pengingat Petrus tentang hati seorang gembala yang peduli terhadap kawanan domba Allah:
Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat Allah? (1 Tim. 3:5)
Ingatlah selalu bahwa kita adalah gembala yang merawat orang percaya, bukan manajer yang memberikan perintah singkat kepada karyawan di ruang rapat.
“Ingatlah selalu bahwa kita adalah gembala yang merawat orang percaya, bukan manajer yang memberikan perintah singkat kepada karyawan di ruang rapat”
Kita dipanggil untuk tidak mengelola gereja tanpa memihak; sebaliknya, kita harus mengurus rumah tangga Tuhan dengan hati yang peduli. Dalam teks asli Yunani, kata “mengurus” memiliki akar kata yang sama (epimeléomai) dengan kata yang digunakan dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, yang “merawat” orang yang terluka (Luk. 10:34). Ingatlah selalu bahwa kita adalah gembala yang merawat orang percaya, bukan manajer yang memberikan perintah singkat kepada karyawan di ruang rapat. Kita bukanlah pekerja upahan yang hanya menunjukkan kepedulian dan perhatian selama “jam kerja” resmi. Para pekerja tidak merasakan hubungan yang mendalam dengan tuntutan mereka. Mereka menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya, menyingkirkan tongkat penggembalanya, dan pulang. Jika terjadi sesuatu yang tidak terduga pada domba-domba itu di tengah malam, orang upahan itu akan berkata, “Tolong jangan datang mengetuk pintuku untuk menggangguku.” Sekalipun orang upahan sedang bertugas, jangan berharap dia mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan domba-domba itu dari pemangsa. Orang sewaan tidak mau bekerja ekstra karena domba-domba kecil itu bukan miliknya. Sebaliknya, gembala sejati mengasihi dombanya dengan hati orang tua. Orang tua tidak segan-segan mengorbankan waktu tidur untuk merawat anak mereka yang sakit atau bekerja keras untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga mereka.
Ketiga, para gembala memenuhi peran mereka tanpa memandang waktu dan tempat. Kita menjadi guru pendidikan agama tidak hanya pada saat jam pelajaran tetapi juga di luar kungkungan dinding kelas. Kita saling peduli sebagai saudara bukan hanya di dalam gereja, tapi juga saat kita sudah kembali ke rumah masing-masing. Paulus mendemonstrasikan apa artinya memiliki hati seorang gembala. Selain bekerja keras dan rela menanggung kesengsaraan dan penganiayaan fisik, hatinya selalu sangat prihatin terhadap anggotanya (2 Kor. 11:28).
Dalam
“Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat. 20:26-28)
Menjadi seorang pelayan (Yunani: diákonos) atau seorang budak (Yunani: doûlas) bukanlah suatu hal yang memalukan. Faktanya, meremehkan orang-orang dalam posisi ini sama saja dengan meremehkan Tuhan Yesus, karena itulah wujud yang Dia ambil ketika Dia berada di bumi (Flp. 2:7). Tuhan kita sengaja memilih menjadi hamba untuk melayani orang percaya, dan mengajari kita bagaimana melayani melalui tindakan-Nya. Dia merendahkan diri-Nya dan membungkuk untuk membasuh kaki murid-murid-Nya. Jika Yesus bersedia mengambil pekerjaan yang dianggap rendah oleh orang lain, apa dasar kita menolak pekerjaan indah ini?
Seorang hamba berdiri diam-diam (Kej. 18:8) dan tanggap terhadap indikasi sekecil apa pun mengenai kebutuhan majikannya (Luk. 17:7-8). Di gereja saat ini, sebagian orang percaya rela merendahkan diri untuk melayani dengan diam-diam seperti seorang pelayan. Mereka mungkin luput dari perhatian orang lain, namun mereka memperhatikan semua yang dibutuhkan gereja. Apa yang melatarbelakangi kemauan bekerja seperti itu? Pertimbangkan mengapa Yakub bersedia bekerja empat belas tahun untuk Laban dalam kondisi yang mengerikan.
“Aku dimakan panas hari waktu siang dan kedinginan waktu malam, dan mataku jauh dari pada tertidur.” (Kej. 31:40)
Yakub rela menderita karena cintanya pada Rahel. Demikian pula, mereka yang bekerja dengan setia dan diam-diam melakukannya karena mereka mengasihi Yesus dan gereja. Cinta mereka tidak terbatas pada jumlah jam tertentu per hari.
PELAKSANAAN PELAYANAN
Selama kunjungan kelompok pemuda ke gereja antar negara bagian, seorang penatua mengambil tanggung jawab untuk menerima mereka. Karena dia juga menggembalakan gereja-gereja lain di wilayah tersebut, dia bangun pagi-pagi untuk memastikan kesejahteraan para pemuda sebelum berangkat untuk melakukan kebaktian di gereja-gereja lain. Kemudian di penghujung hari yang sibuk, dia mengambil tanggung jawab untuk terus melayani para remaja yang berkunjung selama acara barbekyu malam mereka. Penatua tidak hanya menyiapkan bahan-bahan untuk barbekyu malam sebelumnya, dia juga membantu memanggang. Setelah para pemuda menikmati barbekyu yang lezat, dia memimpin para pemuda membersihkan.
Baik saat melayani di atas mimbar maupun di luar mimbar, penatua ini sepenuhnya mewujudkan semangat seorang pelayan (Luk. 17:7-10). Melalui tingkah lakunya, orang-orang beriman di sekitarnya melihat dan mempelajari apa artinya menjadi hamba yang rendah hati dan setia.
- LIDAH DAN TELINGA YANG TERPELAJAR
“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata.” (Yak. 1:19a)
Tuhan telah memberi kita lidah dan telinga dan meminta agar kita lebih banyak menggunakan telinga dan mengurangi penggunaan lidah. Ironisnya, kita melakukan yang sebaliknya—kita selalu menuntut agar orang lain mendengarkan apa yang kita katakan. Sebagai gembala dan hamba Tuhan, bagaimana cara terbaik menggunakan telinga dan lidah kita untuk melayani kawanan domba-Nya?
Telinga Orang Terpelajar
Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku
lidah seorang murid,
supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru
kepada orang yang letih lesu.
Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku
untuk mendengar seperti seorang murid. (Yes. 50:4)
Fungsi telinga adalah menerima. Pada akhirnya, orang terpelajar harus menggunakan lidahnya untuk mendukung dan menyemangati orang yang lemah. Namun, untuk bisa belajar, pertama-tama seseorang harus diajar, dan giat belajar. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita dalam mempelajari firman Tuhan?
Setiap pagi
Belajar itu seumur hidup. Orang-orang terpelajar mengetahui bahwa memahami firman Tuhan tidak dapat dicapai dalam semalam, dan juga bukan upaya yang dilakukan satu kali saja. Faktanya, karena orang yang terpelajar sangat menghargai pembelajaran akan firman tersebut, dia berusaha untuk belajar selama dia hidup.
Terbangun
Dalam Alkitab versi Bahasa Inggris, terdapat ungkapan “Dia membangunkan” dan ungkapan ini digunakan dua kali dalam ayat tersebut. Ini mengacu pada bangun dari tidur atau tergerak. Telinga kita yang tertidur harus dibangunkan dari tidurnya. Kita harus membiarkan telinga kita disadarkan oleh firman Tuhan, khususnya dengan mendengarkan khotbah.
“Apa pun gaya dan isi khotbahnya, telinga dan hati kita harus selalu terbuka terhadap pesan Tuhan”
Orang yang berbeda menyukai gaya dan isi khotbah yang berbeda. Beberapa khotbah didasarkan pada eksposisi tradisional Alkitab yang telah kita dengar sejak kecil; yang lain menggunakan penjelasan kreatif untuk membangkitkan rasa realisasi. Beberapa khotbah mengandung anekdot yang menarik dan alur cerita yang mengejutkan, sementara khotbah lainnya bernuansa lebih mendidik. Apa pun gaya dan isi khotbahnya, telinga dan hati kita harus selalu terbuka terhadap pesan Tuhan.
Mendengar
Sebagai umat Kristiani, kita terbuka untuk mendengarkan dan menerima perkataan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Selain perkataan-Nya yang dicatat dalam Alkitab, Yesus dapat berbicara kepada kita melalui orang-orang di sekitar kita. Ketika kita memulai kebaktian kita, kita dengan senang hati menerima nasihat dari para senior dan orang yang lebih tua. Namun, semakin lama kita melayani dalam pelayanan, kita hendaknya semakin ikhlas merenungkan apakah kita bersedia mendengar dan menerima perkataan rekan kerja kita. Apakah kita cukup mempertimbangkan pendapat rekan kerja kita? Yang lebih penting lagi, apakah kita merenungkan diri kita sendiri dan menjadi lebih baik setelah mendengar dorongan dan koreksi dari rekan kerja kita?
Lidah Orang Terpelajar
Begitu kita mempunyai telinga orang-orang terpelajar, maka Tuhan akan menganugerahkan kepada kita lidah orang-orang terpelajar. Pada saat ini, orang terpelajar, setelah mendapat pendidikan dari Tuhan, akan menjadi pemberi.
Apa harapan Tuhan terhadap lidah kita?
Berbicara kepada mereka yang letih lesu
Orang yang terpelajar harus mewariskan segala sesuatu yang telah dipelajarinya dan diterima secara cuma-cuma dari Tuhan kepada orang lain. Saat kita menggunakan lidah kita untuk mengajar dan menyemangati orang lain, kita harus ingat bahwa lidah kita bukan untuk bersaing menjadi pembicara khotbah yang paling populer atau paling berpengaruh, untuk memenangkan perdebatan teologis dan menunjukkan “hikmat” kita dalam pembelajaran Alkitab atau diskusi iman, atau untuk kritik jahat dan gosip tentang orang lain. Sebaliknya, lidah kita harus digunakan untuk membantu dan mendukung mereka yang letih lesu—mereka yang lemah secara rohani.
Ketaatan Orang Terpelajar
“Tuhan ALLAH telah membuka telingaku,
dan aku tidak memberontak,
tidak berpaling ke belakang.” (Yes. 50:5)
Dalam Yesaya 50:4, telinga dibangunkan oleh Tuhan dan menerima ajaran-ajaran-Nya, sehingga memungkinkan kita menjadi terpelajar. Dalam Yesaya 50:5, telinga dibuka oleh Tuhan dan menerima instruksi-Nya, sehingga memungkinkan kita menjadi hamba-Nya. Karena kita telah menerima begitu banyak dari Allah, maka kita akan dituntut lebih banyak lagi (Luk. 12:48). Memperoleh wawasan rohani yang lebih dalam melalui tuntunan Tuhan hendaknya tidak membuat kita menjadi sombong. Faktanya, semakin banyak pengetahuan spiritual yang kita peroleh dari Tuhan, kita diharapkan akan semakin tunduk.
Yesus mencontohkan hal ini dengan sempurna melalui ketaatan-Nya yang total terhadap kehendak Bapa Surgawi. Penulis kitab Ibrani mencatat bagaimana Yesus mengutip Mazmur 40 untuk menggambarkan panggilan dan pelayanan-Nya:
“Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan dan korban sajian,
tetapi Engkau telah membuka telingaku;
korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau tuntut. …
“Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku;
Taurat-Mu ada dalam dadaku.”” (Mzm. 40:7, 9)
“Karena itu ketika Ia masuk ke dunia, Ia berkata:
“Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki
— tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku —.
Kepada korban bakaran dan korban penghapus dosa
Engkau tidak berkenan.
Lalu Aku berkata:
Sungguh, Aku datang;
dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku
untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.”” (Ibr. 10:5-7)
Apa hubungannya membuka telinga dengan mempersiapkan tubuh? Dalam Perjanjian Lama, hamba Ibrani harus dibebaskan setelah menjalani hukuman enam tahun. Namun, jika seorang hamba ingin tinggal bersama tuannya, telinganya akan ditindik (Kel. 21:5-6). Oleh karena itu, tindik telinga menandakan bahwa laki-laki akan melepaskan kebebasannya, menjadi pelayan tuannya, dan menaati perintah tuannya selamanya. Karena kebebasan adalah hak asasi manusia yang begitu berharga, maka tindik telinga jelas bukan tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan imbalan yang lebih besar. Sebaliknya, hal itu dilakukan karena rasa cinta yang tulus terhadap tuannya.
“Melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.” (Flp. 2:7-9)
“Membuka telinga” dan “mempersiapkan tubuh” mengacu pada bagaimana Yesus tunduk pada kehendak Bapa Surgawi. Ketika Dia berada dalam tubuh daging-Nya, Dia mengambil wujud seorang hamba. Saat bingung dalam memilih, Dia mempersembahkan tubuh-Nya untuk menjadi korban bakaran dan korban penghapus dosa. Dia mengesampingkan kehendak-Nya sendiri dan tunduk pada kehendak Tuhan—inilah yang dimaksud dengan menjadi seorang hamba. Barangsiapa yang telinganya terbuka akan menjadi lebih rendah hati jika ia semakin banyak melayani dan semakin tunduk kepada Kristus dan gereja.
KESIMPULAN
Yesus tunduk pada kehendak Tuhan ketika Dia masih hidup di bumi. Sebagai hamba, Dia merasakan kerendahan hati manusia dan penderitaan di bumi. Oleh karena itu, ketika Dia bangkit, Bapa Surgawi meninggikan Dia sebagai Yang Maha Tinggi—setiap lutut akan bertelut di hadapan-Nya dan setiap lidah akan memuji Dia (Flp. 2:7-11). Pesannya bertahan lama dan jelas. Siapakah saya di kehidupan ini akan menentukan siapa saya di kehidupan yang akan datang. Jika saya adalah orang kaya yang bodoh dalam kehidupan ini, saya tidak akan mendapat bagian bersama Tuhan dalam kehidupan yang akan datang. Jika saya adalah hamba yang taat dalam hidup ini, maka saya akan memerintah bersama-sama dengan Dia dalam hidup yang akan datang (2 Tim. 2:12).
Jadi saat kita melayani Tuhan di gereja-Nya, marilah kita mengingat siapa diri kita di mata Tuhan—seorang gembala yang penuh kasih dan tidak mementingkan diri sendiri, dan seorang hamba yang setia dan taat, yang telinganya terus-menerus dibangunkan oleh firman Tuhan dan yang lidahnya siap untuk menghibur dan mengajar.