Dari Pengetahuan Untuk Pengetahuan
Vincent Yeung—Cambridge, Inggris
IMAN DAN PENGETAHUAN
Iman dan pengetahuan tampaknya saling terkait namun berada di dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, kita percaya bahwa prinsip iman kita didasarkan pada bukti alkitabiah, sehingga meningkatkan pengetahuan alkitabiah kita adalah cara untuk bertumbuh dalam keimanan kita. Di sisi lain, Kitab Ibrani mendefinisikan iman sebagai “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1). Oleh karena itu, beberapa orang mungkin merasa bahwa mempelajari Kitab Suci secara mendalam adalah usaha yang sia-sia dan akademis semata, yang lebih menghasilkan pengetahuan untuk merangsang pikiran daripada memperkuat iman.
Tentu saja, menempatkan iman dan pengetahuan di ujung sisi yang berlawanan merupakan kesimpulan yang berlebihan. Jika deskripsi ini tidak memadai, lalu bagaimana kita harus mendefinisikan hubungan antara iman dan pengetahuan?
Peran Bukti
Seperti yang sudah disebutkan, kita telah menerima iman Kristen ini karena kita percaya pada bukti alkitabiah yang menjadi dasarnya. Menurut kita, adalah masuk akal untuk menerima bagian-bagian Alkitab tertentu sebagai bukti untuk suatu kepercayaan atau doktrin. Mayoritas orang percaya, yaitu sebagai orang rasional yang telah memahami seperti apa “bukti” itu, telah memutuskan bahwa teks-teks ini membuktikan kebenaran akan keyakinan kita “tanpa keraguan sama sekali.”[1]
Namun, jika bukti begitu kuat sehingga kesimpulan tidak dapat disangkal, lalu apa peran iman? Faktanya, ada banyak aspek doktrin yang tidak dapat divalidasi dengan bukti yang tak terbantahkan. Pernyataan seperti “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16) atau “jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh 3:5). Semuanya melibatkan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian, penghakiman terakhir, demikian pula tentang surga dan neraka. Hal-hal rohani seperti itu tidak berwujud dan tidak mungkin disajikan dalam pengetahuan duniawi.
Kurangnya bukti fisik tidak serta-merta berarti bahwa sesuatu keliru. Para ilmuwan memberitahu bahwa kita hanyalah aktivitas karbon dan protein karena sains tidak mengenal atau mengukur dimensi rohani kehidupan. Keberadaan jiwa kita, yaitu “aku” yang ada, terasa, dan hidup, tidak dapat ditunjukkan atau dibuktikan; namun itu tidak dapat dipisahkan dari konsep kehidupan setelah kematian dan iman kita. Seringkali orang tidak dapat menjelaskan apa yang mereka ketahui sebagai kebenaran, tetapi ini tidak mengurangi kebenaran yang mereka akui. Bagi Paulus, sifat-sifat Allah yang tidak terlihat itu dapat terlihat melalui ciptaan-Nya (Rom 1:18-20). Kita tidak tahu esensi Tuhan, bagian-Nya tidak terlihat jelas bagi kita. Tetapi ini dapat ditunjukkan oleh hal-hal yang dapat kita amati, yaitu melalui dampak-Nya. Namun, bagi orang-orang yang tidak percaya, mereka belum menemukan alasan yang dapat membuktikan keberadaan Tuhan.
Bukti atau pembuktian yang dimasukkan dalam istilah “pengetahuan” bukanlah pengganti iman. Namun demikian, keyakinan kita tidak ada di dalam ruang hampa udara. Tanpa dasar atau substansi, iman kita akan menjadi iman yang buta atau bersifat takhayul. Ketika kita mengatakan kita percaya kepada Tuhan atau Yesus, kita harus dapat mendasari keyakinan kita. Ketika kita bertobat dan dibaptis, kita harus mengetahui mengapa kita membutuhkan pertobatan dan baptisan. Petrus mengatakan bahwa hasil akhir dari iman kita adalah keselamatan jiwa kita (1 Pet 1:9); Paulus mengatakan bahwa keselamatan dan pengetahuan yang lengkap akan kebenaran itu berjalan bersamaan (1 Tim 2:4).
Dengan merenungkan hal ini, bagaimana seharusnya kita mengejar pengetahuan untuk mendukung iman kita? Apakah perlu tahu banyak dahulu sebelum menjadi percaya? Apa yang dimaksud dengan pengetahuan akan kebenaran yang lengkap?
PENGETAHUAN SEBAGAI TEORI
Iman umat pilihan Allah berakar dalam sejarah, dalam apa yang telah Tuhan lakukan bagi mereka. Paulus merangkum kasih karunia Allah kepada mereka secara ringkas dalam satu ayat “diangkat menjadi anak, menerima kemuliaan, perjanjian-perjanjian, pemberian hukum Taurat, dan ibadah kepada Allah, dan janji-janji” (Rom 9:4). Mengetahui hubungan historis Allah dengan umat pilihan adalah dasar dari iman kita. Dengan cara yang sama, iman kita yang berharga diperoleh melalui keadilan Allah (2 Pet 1:1) dan kebangkitan Yesus dari antara orang mati (1 Pet 1:3).
Namun, walaupun pengetahuan tentang kasih karunia Allah dan perkataan serta perbuatan Yesus merupakan bagian penting dari iman, tetapi sekedar mengetahui saja mungkin tidak bisa menuntun pada iman. Titus Flavius Josephus, sejarawan Romawi-Yahudi abad pertama, menggambarkan Yesus sebagai ”orang yang bijaksana”. Dia menulis bahwa Yesus “menampakkan diri kepada orang-orang yang mengasihi-Nya pada hari ketiga” dan bahwa “suku orang Kristen, yang disebut menurut namanya, masih ada sampai hari ini” (Antiquities of the Jews 18.63). Josephus (lahir pada tahun 37 Masehi) mengenal Yesus, pesan-Nya, kisah kematian dan kebangkitan-Nya, dan khotbah para pengikut-Nya. Namun pengetahuan kontemporernya tidak menimbulkan iman. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu untuk menyaksikan sendiri setiap peristiwa sejarah. Hanya beberapa ratus orang yang menyaksikan kebangkitan Yesus (1 Kor 15:3-6), dan iman kita didasarkan pada kesaksian mereka. Karena itu, akan selalu ada kesenjangan antara apa yang dunia anggap sebagai bukti dan apa yang dibutuhkan oleh orang-orang beriman. Dengan hikmat duniawi, hikmat orang bijak dan pemberitaan tentang salib dianggap sebagai suatu kebodohan. Hanya orang-orang beriman yang menganggapnya sebagai kekuatan Allah (1 Kor 1:18-21) dan percaya akan diselamatkan melalui iman mereka.
Karena itu, beberapa orang memandang pengetahuan secara negatif, yang berlanjut kepada mereka yang mengaku memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, baik secara duniawi maupun rohani (Kol 2:8;
Namun, dikotomi atau pemisahan sederhana antara pengetahuan duniawi dan rohani juga membawa bahaya sendiri.
Manusia tidak dapat menemukan Tuhan dengan hikmat atau usahanya sendiri. Sepanjang masa, Tuhan mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya pada berbagai tahap perkembangan manusia.
Manusia tidak dapat menemukan Tuhan dengan hikmat atau usahanya sendiri. Sepanjang masa, Tuhan mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya pada berbagai tahap perkembangan manusia. Dia menampakkan diri kepada Abram dan mengundangnya untuk meninggalkan rumahnya sendiri dan pergi ke tanah perjanjian. Pengetahuan tentang misteri Kristus yang tersembunyi selama berabad-abad, hanya untuk diungkapkan kepada para rasul dan nabi oleh Roh pada waktu yang ditentukan-Nya (Ef 3:4–5; Rom 1:17; 1 Pet 1:20). Penggenapan, pewahyuan, atau penyingkapan dari sesuatu yang tersembunyi adalah cara Tuhan menyampaikan tujuan-Nya kepada umat manusia. Banyak yang telah melihat pekerjaan Yesus dan mendengar kesaksian-Nya, namun banyak yang tidak percaya kepada-Nya. Orang-orang Farisi mengenal Kitab Suci dengan baik dan menyelidikinya dengan sungguh-sungguh, namun mereka tidak percaya kepada Yesus (Yoh 5:39-40). Banyak orang Yahudi melihat apa yang telah dilakukan Yesus dan percaya kepada-Nya, seperti setelah kebangkitan Lazarus (Yoh 11:45). Tetapi imam kepala dan orang-orang Farisi menolak untuk menerima (Yoh 11:47). Mereka yang menutup hati dan pikirannya tidak dapat melihat, dan Tuhan hanya membuka hati mereka yang mencari Dia (Kis 16:14).
Sebagai orang Kristen, kita dapat memperoleh pengetahuan dengan mempelajari doktrin dasar, mempelajari Alkitab, merenungkan firman-Nya, berpartisipasi dalam diskusi kelompok, atau mendengarkan khotbah. Ajaran Yesus, para rasul, dan para nabi membentuk dasar iman kita. Namun, wahyu menjadi suatu informasi setelah diungkapkan, ditulis, diajarkan, dan dipelajari. Para murid menyaksikan mukjizat Yesus memberi makan lima ribu dan empat ribu orang, tetapi yang dapat mereka ingat hanyalah informasi, mereka gagal melihat makna di balik mukjizat tersebut (Mrk 8:19-21). Kita tidak ingin menjadi penyimpan informasi belaka, mahir merangkai ayat-ayat Alkitab dan mengeluarkan doktrin-doktrin tanpa adanya kemajuan dalam pengetahuan. Apa lagi yang kita butuhkan untuk maju? Apakah kita hanya memiliki informasi tanpa menuai manfaatnya?
PENGETAHUAN SEBAGAI EKSPRESI DAN PEMBERDAYAAN IMAN
Pertumbuhan dalam iman dan pengetahuan saling terkait, tidak eksklusif atau terpisah satu sama lain. dua hal yang saling terkait, namun tetap berbeda satu sama lain. Pengetahuan tidak menggantikan iman, dan iman tidak mengurangi pengetahuan. Pengetahuan lebih dari konseptualisasi teoritis atau perolehan informasi. Orang-orang mengenal Allah, tetapi tidak semua menerima keTuhanan-Nya (Rom 1:21). Iman terhubung dengan pengetahuan, ia mewujudkan dan diperkuat olehnya.
Dalam terminologi Yohanes, “percaya” mendahului “mengenal” (Yoh 6:69, 8:31-32). “Mengenal” memberikan “percaya” kekuatan baru (Yoh 16:30, 17:7-8). Para pengikut Yesus melihat bahwa hubungan antara Bapa dan Anak perlahan-lahan tersingkap. Perjumpaan awal mengarah pada keyakinan, dan pengertian lebih lanjut mengarah pada peningkatan keyakinan. Para murid melihat tanda pertama di Kana, dan mereka percaya kepada-Nya (Yoh 2:11). Mereka menegaskan kembali iman mereka dengan mengakui bahwa Yesus adalah Anak Allah (Yoh 6:69), namun pemahaman mereka hanyalah sebagian (Yoh 14:8-9). Mengetahui pentingnya hubungan antara Bapa dan Anak memperkuat keyakinan mereka (Yoh 17:7-8).
Iman dan pengetahuan berkembang melalui pengalaman. Paulus tidak tahu bahwa Tuhan akan menyelamatkannya di Asia (2 Kor 1:8-11). Setelah pengalamannya tentang penyelamatan dari Tuhan, dia berada di posisi untuk menghibur orang lain (2 Kor 1:3-6). Karena itu, pengetahuan terdiri dari pengalaman pertama dan berlanjut ke pengalaman kedua. Yang terakhir diperoleh melalui pembelajaran, yang pertama melalui pengalaman. Yang pertama memperkuat yang terakhir, yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan.
PENGETAHUAN SEBAGAI SUATU PENERAPAN
Ortodoksi (doktrin yang benar) sangat penting, tetapi perlu dilengkapi dengan ortopraksis (perilaku yang benar). Pandangan Kristen tentang pengetahuan ditentukan oleh pengakuan yang taat dan penuh ucapan syukur atas perbuatan dan tuntutan Tuhan.
Kata Ibrani “yada” (mengenal) tidak hanya menunjukkan pengetahuan tetapi juga ketaatan terhadap firman Tuhan. Umat pilihan Allah tidak mengenal Allah (Yes 1:2–3), bukan karena mereka mengabaikan korban, hari Sabat, atau doa (Yes 1:11–15). Allah membenci persembahan mereka kepada-Nya karena ketidakadilan dan penindasan yang ada di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, menjalani kehidupan seperti Kristus merupakan perwujudan sejati dari ortodoksi, bukan sekadar berpegang pada suatu bentuk agama, memegahkan panggilan ilahi kita (Rom 2:17) dan prestasi pribadi dalam pelayanan ilahi (Mat 7:21–23).
Mengenal Tuhan bukan sekedar memiliki pengetahuan yang diperoleh dari penyelidikan, pengamatan, atau spekulasi. Agama bukanlah ilmu pengetahuan melainkan pengabdian. Kasih Allah bagi dunia dinyatakan dengan pengutusan Putra-Nya (Yoh 3:16). Dan kasih Yesus, dinyatakan dalam ketaatan kepada Bapa dan pelayanan kepada dunia. Karena pengenalan akan Yesus atau Allah dinyatakan dalam kasih, mentaati perintah-perintah juga dapat disebut sebagai kriteria “mengenal” Kristus (1 Yoh 2:3-6). Sekedar mengatakan bahwa kita mengenal Tuhan tanpa memiliki perilaku yang diinginkan Tuhan tidak akan membawa kita pada keselamatan. Bahkan Setan pun mengenal Tuhan dengan sangat baik tetapi hanya bisa menunggu dalam ketakutan akan penghakiman-Nya (Yak 2:19).
Petrus memperingatkan orang-orang percaya bahwa nabi-nabi palsu akan muncul di antara mereka dan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka
Ajaran sesat bukanlah hal baru di dalam gereja. Petrus memperingatkan orang-orang percaya bahwa nabi-nabi palsu akan muncul di antara mereka dan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka (2 Ptr 2:1). Ada banyak spekulasi tentang Yesus, malaikat, dan iblis selama zaman para rasul dan setelahnya, yang berlanjut hingga hari ini. Namun, kesesatan yang paling berbahaya dalam kehidupan Kristen adalah menyangkal Tuhan. Tentu saja, tidak ada orang Kristen yang secara terang-terangan menyangkal Yesus. Namun, menyangkal kuasa, janji, dan tuntunan-Nya sama dengan menyangkal Dia. Petrus tidak sedang menulis tentang spekulasi doktrinal yang dibuat-buat tetapi tentang penyimpangan duniawi dalam bentuk kenikmatan, kesenangan, pesta pora (2 Pet 2:13), keinginan daging (2 Pet 2:14, 18, 3:3; Yud 18), kebebasan (dari batasan norma-norma Kristen) (2 Pet 2:19), dan menyangkal kedatangan-Nya yang kedua, yang artinya juga kedatangan kembalinya Yesus dan penghakiman terakhir (2 Pet 3:4). Pernikahan sesama jenis, kawin cerai, penolakan kedatangan-Nya yang kedua, kebangkitan, surga atau neraka, penghakiman terakhir dan penghukuman kekal adalah sikap dan praktik umum yang dianjurkan secara terbuka di denominasi non-Gereja Yesus Sejati (GYS). Yang tidak diketahui adalah berapa banyak jemaat GYS yang diam-diam bersimpati dengan beberapa ide atau pemahaman tersebut atau bahkan mempraktikkannya. Pengetahuan palsu bukan hanya berasal dari penelitian teologis akademis tanpa rasa hormat yang sejati terhadap Tuhan, tetapi juga termasuk mengenal firman Tuhan tanpa benar-benar datang kepada Kristus.
Pengetahuan adalah tentang Allah dan tentang Yesus, tetapi pengetahuan ini harus diwujudkan dalam bentuk kesalehan dan kebajikan (2 Ptr 1:2–3). Kedua kata ini muncul enam belas dan empat kali dalam Perjanjian Baru, tetapi dalam pasal
Jika kita tidak menaiki tangga ini, ilmu yang kita miliki tidak akan berguna. Kita tetap kering dan tidak berbuah dalam pengenalan akan Tuhan Yesus (2 Ptr 1:8). Tanpa kemajuan dalam iman, keselamatan kita menjadi kurang pasti, dan kita mungkin hampir gagal masuk ke kerajaan Allah (2 Pet 1:10-11; Fil 2:12). Ada banyak jebakan dan godaan dalam hidup yang dapat membuat kita meninggalkan jalan yang benar dan tersesat. Kita mungkin terjerat dan dikuasai oleh pengaruh dunia, berpaling dari perintah kudus, dan disesatkan oleh kesalahan orang fasik (2 Ptr 2:15, 20, 21, 3:17). Paulus memperingatkan kita terhadap kekeliruan pemikiran yang memikat bahwa kita harus lebih banyak berbuat dosa agar kasih karunia semakin melimpah (Rom 6:1). Ada banyak orang yang mengklaim bahwa karena Tuhan adalah kasih, hukuman kekal akan bertentangan dengan sifat-Nya. Pemulihan (apokathistémi) kerajaan Israel (Kis 1:6) dapat dengan mudah mengarah pada apocatastasis, yaitu pemulihan segala sesuatu, pemulihan akhir semua makhluk yang berdosa kepada Allah dan keadaan penuh berkat. Namun jawaban Paulus tegas: “Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (Rom 6:2).
KESIMPULAN
Manusia sampai pada pengetahuan tentang kebenaran bukan dengan menggunakan kekuatan penalarannya, tetapi dengan menerima atau pemberian iman yang memungkinkannya menggunakan akalnya dengan benar. Akal tidak mendahului iman, seperti anggapan rasionalisme, tetapi iman mendahului akal[4]. Teks Septuaginta dari Yesaya 7:9 diterjemahkan sebagai, “Jika kamu tidak mau percaya, kamu tidak akan mengerti” (Yes 7:9, LXX)[5]. Pertama-tama kita harus percaya, kemudian kita akan memahami hal yang kita percayai. Nalar itu sendiri harus dibenarkan oleh iman, dengan mempercayai sesuatu yang tidak terbukti dengan sendirinya atau tidak dapat dibuktikan oleh semua orang. Merupakan suatu kekeliruan untuk menganggap bahwa iman dapat dipilih sebagai hasil pengujian fakta yang murni rasional dan objektif. Dua orang dapat memiliki interpretasi yang berlawanan tentang fakta dan bahkan tidak setuju tentang apa yang merupakan fakta dan bukan fakta. Ini adalah kekuatan pikiran manusia untuk memutarbalikkan kebenaran, menggoda manusia untuk percaya bahwa mereka rasional dan bahwa hanya mereka yang dapat memperoleh keselamatan (Yer 17:9).
Kemampuan nalar yang jatuh tanpa bantuan, yang dibatasi oleh kesenjangan dalam pengetahuan empiris kita, gagal mencapai penilaian kebenaran yang objektif, terutama dalam masalah eksistensial. Seorang yang rasional akan meminta bukti rasional yang melampaui batas nalar alamiah. Namun demikian, iman dalam kesaksian apostolik bukanlah tindakan percaya yang “buta” terlepas dari bukti apa pun. Itu adalah karakteristik iman yang memberikan bukti pada dirinya sendiri. Itu bukanlah karunia pengetahuan, tetapi karunia tentang melihat, yang dari padanya timbul pengetahuan. Iman bukanlah pengganti pengertian tetapi syarat adanya pengertian tersebut. Tuhan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan mengungkapkan kepada mereka yang dewasa secara rohani (Fil 3:15).
Bahaya di hari-hari terakhir ini adalah kepura-puraan atau kepalsuan dalam agama, menganut suatu bentuk kesalehan tetapi menyangkal kuasa-Nya (2 Tim 3:5). Firman Tuhan tidak bermanfaat bagi kita ketika kita tidak memiliki iman (Ibr 4:2) dan tidak ada perbuatan atau tindakan. Iman, kasih, dan pengharapan adalah nilai-nilai yang tidak berwujud, tetapi dapat diwujudkan dalam bentuk pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan (1 Tes 1:3).
Kita harus bertumbuh dan mencapai kesatuan iman dan pengetahuan tentang Anak, melawan setiap angin pengajaran
Pemahaman kognitif akan firman Tuhan, percaya sepenuh hati kepada-Nya, ketaatan pada kehendak-Nya, dan melakukan firman-Nya merupakan pengetahuan sejati tentang Dia. Firman Tuhan harus digabungkan dengan iman (Ibr 4:2). Jika kita kurang memahami apa yang kita yakini dan tidak mengerti bagaimana hal itu diwujudkan ke dalam tindakan, kita akan terjebak dalam rasa puas diri. Kita harus bertumbuh dan mencapai kesatuan iman dan pengetahuan tentang Anak, melawan setiap angin pengajaran (Ef 4:11-16). Paulus menyatakan bahwa dia berdoa memohon hikmat, pengetahuan, dan pengertian atas nama orang-orang percaya agar mereka dapat bersabar (menjalankan firman dengan setia), menghasilkan buah (perilaku yang benar), dan bertumbuh dalam pengenalan akan Allah (pengertian mereka diperkuat dan ditingkatkan) (Kol 1:9-10). Jika kita memiliki ketiga unsur pengetahuan ini, kita akan mampu berdiri teguh melawan setiap angin pengajaran yang sesat yang terus mengelilingi kita dalam perjalanan kerohanian kita.
[1] Di pengadilan hukum, “standar pembuktian mengacu pada kewajiban orang yang bertanggung jawab untuk membuktikan kasus tersebut. Ada standar pembuktian yang berbeda dalam keadaan yang berbeda.” Bukti tanpa ada keragu-raguan yang masuk akal adalah standar pembuktian tertinggi, yang digunakan dalam kasus hukum pidana di mana nyawa atau kebebasan terdakwa dipertaruhkan, sehingga hakim harus yakin bahwa terdakwa bersalah tanpa keraguan yang masuk akal. Sumber: “Different Standards of Proof,” HG.org, diakses 25 Maret 2022, https://www.hg.org/legal-articles/different-standards-of-proof-6363
[2] “Pernyataan di mana Yesus berbicara tentang penderitaan, kematian dan kebangkitan Anak Manusia. Kelompok perkataan ini juga tidak otentik, karena di dalamnya Yesus meramalkan sengsara dan kebangkitan-Nya dengan cara menunjukkan pengetahuan yang begitu rinci tentang apa yang akan terjadi sehingga perkataan itu pasti berasal dari vaticinia ex eventu, yaitu “nubuatan” setelah peristiwa telah terjadi atau diyakini telah terjadi.” Rudolf Bultmann, Sejarah Tradisi Sinoptik, terj. John Marsh (New York: Harper and Row, 1963), 153.
[3] GA Wells, Apakah Yesus Ada? (London: Pemberton Publishing Co, 1986), 124.
[4] Augustine, De Utilitate Credendi, 22-5: “Therefore seek not to understand that thou mayest believe, but believe that thou mayest understand.” Augustine, On the Profit of Believing (Amerika Serikat: Beloved Publishing, 2014), 37–49.
[5] Εάν μη πιστεύσητε ουδε μη συνήτε: “If you should not trust, neither should you perceive.” The NKJV is based on the Masoretic Text: “If you will not believe, surely you shall not be established.”
* kalau dalam kitab bahasa Indonesia, kata “kebajikan” hanya muncul 2 kali, karena di kitab