MEMBESARKAN PELAYAN TUHAN
Lawrence Chan—London, Inggris
Mengasuh anak adalah sebuah tantangan. Kita perlu merawat anak-anak kita, mengajar, dan menafkahi mereka hingga melewati tahun-tahun awal mereka. Sebagai orang Kristen, kita memahami bahwa tanggung jawab kita lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak-anak kita; kita juga harus membina mereka secara rohani. Lebih jauh lagi, ketika anak-anak kita dibaptis, mereka mengambil identitas baru di dalam Tuhan:
Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya — dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya. (Why. 1:5b-6a)
Mereka yang dosanya diampuni melalui baptisan telah menjadi raja dan imam. Dalam Perjanjian Lama, jabatan sebagai imam merupakan berkat dan anugerah dari Allah (Bil. 18:7). Ketika Tuhan menetapkan imamat Harun, Dia memerintahkan Harun dan putra-putranya untuk memisahkan diri dari umat agar mereka dapat melayani di hadapan Tuhan dan melakukan pekerjaan-Nya (Kel. 28:1). Saat ini, sebagai imam akhir zaman, yang dibeli dengan darah Kristus, kita juga telah dipanggil dan diberi tugas untuk melayani di hadapan Allah. Peran seorang imam ini berlaku tidak hanya bagi kita namun juga bagi anak-anak kita.
Oleh karena itu, bagian penting dari membesarkan anak-anak kita di dalam Tuhan berarti membesarkan mereka sebagai hamba Tuhan. Bagaimana kita harus melaksanakan tugas ini dan sikap apa yang harus kita miliki? Raja Daud memberikan contoh yang baik tentang bagaimana ia memperlengkapi putranya, Salomo, untuk melayani Allah.
TUHAN ADALAH BAPA DARI ANAK-ANAK KITA
Sebelum Salomo diurapi menjadi raja, Daud mengumpulkan semua pemimpin dan pejabat Israel. Mengetahui bahwa masa hidupnya sudah hampir berakhir, Daud mempersiapkan Salomo menjadi raja dan mengambil alih pekerjaan pembangunan Bait Allah.
Ia telah berfirman kepadaku: Salomo, anakmu, dialah yang akan mendirikan rumah-Ku dan pelataran-Ku sebab Aku telah memilih dia menjadi anak-Ku dan Aku akan menjadi bapanya. (1 Taw. 28:6)
Jika kita mengganti nama Salomo di sini dengan nama kita sendiri atau nama anak-anak kita, maka pernyataan ini juga benar. Meski rasanya anak-anak kita akan selalu menjadi milik kita, waktu kita sebagai orang tua sebenarnya terbatas. Allah telah memilih kita untuk menjadi anak-anak-Nya, dan Dia tetap menjadi Bapa kita selama-lamanya. Sebagai anak-anak-Nya, kita bertanggung jawab untuk bersama-sama membangun rumah-Nya—bait rohani ini, gereja—sehingga rumah ini terus bertumbuh dan makmur hingga Yesus datang kembali (1 Ptr. 2:4-5).
Kita harus memiliki pola pikir Hana, yang melahirkan Samuel, mengetahui bahwa suatu hari nanti dia harus mempersembahkan dia kepada Tuhan. Demikian pula, kita membesarkan anak-anak kita untuk Tuhan, dan ketika mereka sudah siap, kita perlu menyerahkan mereka kepada-Nya untuk pelayanan.
MENANAMKAN KERENDAHAN HATI
Berkatalah raja Daud kepada segenap jemaah itu: “Salomo, anakku yang satu-satunya dipilih Allah adalah masih muda dan kurang berpengalaman, sedang pekerjaan ini besar, sebab bukanlah untuk manusia bait itu, melainkan untuk TUHAN Allah. (1 Taw. 29:1)
Pertama, Daud mengucapkan kata-kata ini kepada Salomo untuk mengajari dia sikap yang dia perlukan sebagai raja. Kita cenderung berpikir bahwa pemimpin adalah orang yang percaya diri dan berpengetahuan luas, namun Daud mengingatkan Salomo bahwa dia masih muda dan belum berpengalaman. Sebagai orang Kristen, kita harus rendah hati; hanya dengan cara itulah kita dapat menerima dan mengakui keterbatasan dan kelemahan kita serta menyadari bahwa kita harus bersandar pada Tuhan. Dengan pertolongan Tuhan, kita memiliki kekuatan untuk melanjutkan pekerjaan-Nya (2 Kor. 12:9-10) dan mampu menjalankan peran yang diberikan kepada kita (2 Kor. 3:5-6).
“Bahkan Salomo, yang sebagai raja akan menduduki posisi tertinggi dalam masyarakat, tidak dapat menjadi penguasa dan pemimpin yang efektif jika ia hanya mengandalkan dirinya sendiri”
Kedua, Daud mengucapkan kata-kata ini di hadapan jemaat karena dia ingin para pemimpin memahami bahwa mereka perlu membantu Salomo membangun bait suci yang layak bagi Allah. Para pemimpin kemudian mendukung Salomo dengan mempersembahkan uang dan batu-batu berharga mereka. Daud dan seluruh rakyat bersukacita karena mereka telah menyediakan dana untuk pekerjaan pembangunan (1 Taw. 29:6–9). Ini adalah kebahagiaan yang juga kita temukan ketika kita melayani bersama. Seperti yang Paulus katakan dalam Efesus 4, kita semua adalah bagian dari satu tubuh, dan setiap bagian mempunyai peranannya masing-masing. Semua bagian tubuh harus bekerja sama, karena jika tidak, tubuh tidak dapat berfungsi secara efektif. Bahkan Salomo, yang sebagai raja akan menduduki posisi tertinggi dalam masyarakat, tidak dapat menjadi penguasa dan pemimpin yang efektif jika ia hanya mengandalkan dirinya sendiri.
Ketiga, Daud mengingatkan Salomo bahwa pekerjaan yang harus dilakukannya penting demi kemuliaan Allah. Sebagai hamba Tuhan, kita harus ingat bahwa pekerjaan kita adalah untuk Tuhan dan kemuliaan-Nya. Kita dapat mencegah kesombongan memasuki hati kita dengan selalu mengingatkan diri kita akan hal ini, khususnya jika kita memegang peranan penting dalam gereja.
Dari tanggapan Salomo kepada Allah dalam
Menanamkan pola pikir rendah hati ini adalah kunci dalam membesarkan hamba Tuhan. Kita perlu mengajarkan prinsip-prinsip ini kepada anak-anak kita agar kita dapat melayani Tuhan bersama dengan kerendahan hati:
- Kita harus bersandar pada Tuhan, bukan pada diri kita sendiri.
- Pekerjaan Tuhan dilaksanakan bersama-sama.
- Pekerjaan Tuhan itu penting.
- Kita bekerja untuk memuliakan Tuhan, bukan diri kita sendiri.
MEMBERIKAN CONTOH YANG BAIK
“Dengan segenap kemampuan aku telah mengadakan persediaan untuk rumah Allahku, yakni emas untuk barang-barang emas, perak untuk barang-barang perak, tembaga untuk barang-barang tembaga. …Lagipula oleh karena cintaku kepada rumah Allahku, maka sebagai tambahan pada segala yang telah kusediakan bagi rumah kudus, aku dengan ini memberikan kepada rumah Allahku dari emas dan perak kepunyaanku sendiri.” (1 Taw. 29:2-3)
Tuhan melarang Daud membangun Bait Suci. Namun karena pekerjaan itu masih membekas di hati dan pikirannya, ia berusaha semaksimal mungkin menyiapkan bahan-bahan bangunan. Daud menyatakan perkataan di atas kepada bangsanya dan Salomo untuk memberi contoh dan menunjukkan kepada mereka bahwa dia telah rela mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan.
Dalam
Daud mampu secara efektif menantang bangsanya untuk memberikan yang terbaik kepada Tuhan karena dialah yang pertama memberikan teladan. Orang tua adalah teladan bagi anak-anak mereka—mereka tumbuh dengan mengamati dan belajar dari kita. Mereka mengambil kebiasaan, sikap, perilaku, etos kerja, dan banyak hal lainnya. Ketika mereka memperhatikan kita, apakah mereka melihat seseorang yang mengasihi, melayani, dan menempatkan Tuhan sebagai yang utama dalam hidupnya? Penting bagi kita untuk memberikan teladan yang baik tentang apa artinya menjadi seorang Kristen sehingga, melalui kita, mereka dapat membangun landasan yang kokoh untuk menjadi hamba Tuhan yang baik.
MENDUKUNG ANAK KITA
Lalu Daud menyerahkan kepada Salomo, anaknya, rencana bangunan dari balai Bait Suci dan ruangan-ruangannya, dari perbendaharaannya, kamar-kamar atas dan kamar-kamar dalamnya, serta dari ruangan untuk tutup pendamaian. Selanjutnya rencana dari segala yang dipikirkannya mengenai pelataran rumah TUHAN. (1 Taw. 28:11-12a)
Daud membantu Salomo dalam pekerjaan pembangunan dengan menyediakan rencana pembangunan bait suci. Dengan melakukan hal tersebut, Daud langsung mendukungnya, memberinya titik awal dan arahan untuk pekerjaannya.
Sebagai orang tua, kita tentu saja mengkhawatirkan masa depan anak-anak kita karena kita tahu mereka perlu menghidupi diri mereka sendiri suatu hari nanti. Jadi kita berusaha mempersiapkan mereka sebaik mungkin, baik secara finansial, akademis, atau dengan memberikan mereka pengalaman dan kesempatan berbeda untuk mempelajari keterampilan baru. Namun, dalam mempersiapkan mereka menghadapi dunia, kita dapat dengan mudah mengabaikan kehidupan rohani mereka. Tapi kerohanian mereka lebih penting karena gelar, pekerjaan, dan harta benda kita pada akhirnya tidak lagi berarti, sedangkan kehidupan rohani kita bersifat kekal (2 Kor. 4:18). Jadi kita tidak boleh mengabaikan untuk membantu anak-anak kita menjadi dewasa dalam hal ini.
Ketika anak-anak kita mulai bekerja untuk Tuhan, mereka, seperti Salomo, masih muda dan belum berpengalaman. Pekerjaan ilahi yang tampak sederhana dan mudah bagi kita mungkin tampak menakutkan dan sulit bagi anggota yang lebih muda. Jadi ketika anak-anak kita terlibat dalam pekerjaan gereja, kita harus mendukung mereka sebaik mungkin daripada membiarkan mereka bergumul dengan tugas sendirian.
“Dukungan kita dimulai sejak usia dini, dalam membangun kepercayaan dan iman mereka kepada Tuhan serta mengajarkan mereka firman Tuhan, sehingga mereka memiliki dasar yang kuat untuk melayani ketika mereka sudah dewasa”
Di gereja tempat saya dibesarkan, siswa pendidikan agama (RE) di usia remaja awal akan ditugaskan untuk memimpin sesi nyanyian pujian sebelum kebaktian. Ketika tiba waktunya kelas RE saya dimasukkan ke dalam jadwal, saya sangat menolaknya, jadi seorang saudari menggantikan saya saat pertama kali saya ditugaskan. Orang tua saya kadang-kadang mencoba menyemangati saya, namun saya menolaknya selama berbulan-bulan, terutama karena takut berada di depan orang lain—ketakutan yang tidak hanya dialami oleh kaum muda. Bertahun-tahun kemudian, ibu saya menceritakan kepada saya bahwa, menyadari bahwa saya keras kepala dalam penolakan saya, mereka mendoakan saya sampai saya siap untuk menerima tugas tersebut.
Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk mendukung anak-anak kita dalam melayani Tuhan. Ini termasuk:
- Membantu mereka menemukan peluang yang sesuai untuk melayani.
- Memberi mereka kesempatan untuk berlatih di rumah, seperti memimpin pujian, doa, dan pembelajaran Alkitab selama kebaktian keluarga.
- Berdoa bersama mereka untuk pekerjaan mereka.
- Membantu mereka merencanakan dan mempersiapkan.
- Memberi mereka umpan balik yang membangun.
- Menghibur dan menyemangati mereka ketika segala sesuatunya tidak berjalan baik.
MEMBANGUN DASAR UNTUK MELAYANI
Karena ketika aku masih tinggal di rumah ayahku sebagai anak,
lemah dan sebagai anak tunggal bagi ibuku,
aku diajari ayahku, katanya kepadaku: “Biarlah hatimu memegang perkataanku;
berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan hidup. (Ams. 4:3-4)
Mendukung anak-anak kita dalam pelayanan mereka tidak dimulai ketika mereka siap untuk melayani. Dukungan kita dimulai sejak usia dini, dalam membangun kepercayaan dan iman mereka kepada Tuhan serta mengajarkan mereka firman Tuhan, sehingga mereka memiliki dasar yang kuat untuk melayani ketika mereka sudah dewasa. Salomo teringat kata-kata hikmat rohani yang disampaikan Daud kepadanya; mereka telah bermanfaat untuk mempengaruhi dan membimbing hidupnya. Dengan menulis Kitab Amsal, dia melakukan hal yang sama untuk putranya sendiri.
Saya memiliki kenangan yang kuat tentang ibu saya yang membacakan kesaksian dari majalah Holy Spirit Monthly sebagai cerita pengantar tidur kepada saya dan saudara perempuan saya ketika kami masih muda. Kami berdua menantikan hal ini dan senang mendengar kesaksian—sebuah antusiasme yang saya lihat tercermin hari ini dalam diri putri saya. Karena masih muda dan belum memiliki pengalaman akan kuasa Tuhan, kita mungkin merasa takjub melihat mukjizat yang Tuhan lakukan pada orang-orang yang percaya kepada-Nya. Saya ingat, ketika saya masih remaja, saya menyimpulkan bahwa meskipun saya belum merasakan Tuhan secara pribadi, saya percaya Tuhan itu ada karena semua kesaksian yang saya dengar. Hal ini membentuk dasar dalam kepercayaan dan iman saya kepada Tuhan.
Bahkan tindakan yang tampaknya kecil pun tidak boleh diabaikan. Sejak putri saya masih balita, saya dan istri saya memberitahunya bahwa kami akan mendoakannya setiap kali dia sakit. Setelah dia sembuh, kami akan menyebutkan bagaimana Yesus telah membantunya dan berterima kasih kepada-Nya dalam doa. Di kemudian hari, ketika dia masih kecil, dia akan mengatakan hal yang sama kepada kami ketika dia tahu kami sakit atau terluka. Dari tindakan kecil seperti itu, tumbuhlah iman yang sederhana—iman bahwa Tuhan itu nyata dan berkuasa untuk menolong kita.
Mendirikan dan memelihara mezbah keluarga sangat penting untuk membangun iman anak-anak kita sejak kecil. Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk mengajar anak-anak mereka dengan tekun sepanjang hari, bahkan ketika dalam perjalanan atau berbaring (Ul. 6:6–7). Demikian pula, ada peluang dalam kehidupan kita sehari-hari untuk berbicara tentang Yesus dan firman Tuhan serta untuk membangun iman anak-anak kita.
KESIMPULAN
Dari teladan Daud, kita bisa lebih memahami tugas membesarkan pelayan Tuhan. Ini mungkin tampak menantang, namun kita tidak memikul tanggung jawab ini sendirian. Bapa surgawi kita, Bapa dari anak-anak kita, memainkan peran-Nya dalam membantu mereka bertumbuh. Seperti yang Daud doakan:
“Dan kepada Salomo, anakku, berikanlah hati yang tulus sehingga ia berpegang pada segala perintah-Mu dan peringatan-Mu dan ketetapan-Mu, melakukan segala-galanya dan mendirikan bait yang persiapannya telah kulakukan.” (1 Taw. 29:19)
Setelah menyampaikan proklamasinya kepada jemaat yang berkumpul, Daud meminta Tuhan untuk membimbing Salomo. Sebagai orang tua, kita boleh saja mendidik dan mempersiapkan anak kita untuk melayani Tuhan, namun yang terpenting, kita perlu berdoa dan mempercayakan mereka ke dalam tangan Tuhan. Melalui darah Kristus anak-anak kita dijadikan raja dan imam; melalui kasih karunia Allah, mereka dipanggil untuk melayani Dia, membangun bait suci-Nya, dan melayani di hadapan takhta-Nya. Oleh karena itu, ketika kita berupaya untuk menanamkan kerendahan hati dalam diri mereka dan memberikan teladan pelayanan yang baik, marilah kita bersandar pada Bapa surgawi kita untuk membesarkan anak-anak-Nya menjadi hamba-hamba-Nya yang setia.