Seri Pekerjaan Kudus: Pelayanan Musik Seturut Kehendak
Tina Yang—Phoenix, Arizona USA
PENDAHULUAN
Apa gambaran yang terlintas dalam pikiran kita, ketika memikirkan tentang pelayanan musik: Persembahan pujian paduan suara dalam ĶKR dan KPI? Menyanyikan kidung rohani dalam ibadah? Atau ketika bersama-sama memuji Tuhan dalam sebuah persekutuan? Walaupun biasanya ini adalah kesan pertama kita tentang pelayanan musik, namun Tuhan memiliki maksud yang baik, yang berkenan, dan sempurna untuk bidang pekerjaan kudus ini. Sebagai pengetahuan dasar tentang pelayanan musik, mari kita renungkan beberapa pertanyaan di bawah ini:
Pertanyaan 1: Kapan musik untuk penyembahan dicatat pertama kali dalam Alkitab?
Pertanyaan 2: Siapakah orang pertama yang memuji Tuhan?
Pertanyaan 3: Siapa yang memprakarsai pelayanan musik?
Untuk Pertanyaan 1, sebagian besar dari kita akan beranggapan bahwa jawabannya ada di dalam Kitab Kejadian. Namun, catatan pertama tentang musik dalam Kitab Kejadian tidaklah mengacu pada musik untuk penyembahan, melainkan pada Yubal, salah satu keturunan dari Kain, yang memilih untuk menjauh dari hadirat Tuhan. Yubal menemukan alat musik hanya untuk kepentingannya sendiri. Setelah meninggalkan Taman Eden, manusia menunjukkan penghargaan mereka kepada Tuhan dengan mempersembahkan korban di atas mezbah, seperti yang dicontohkan oleh Habel, Nuh, dan Abraham. Namun, kita tidak melihat adanya catatan tentang persembahan musik dalam Kitab Kejadian.
Musik untuk penyembahan yang paling awal sesungguhnya dicatatkan dalam Kitab Ayub 38:
“Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?
Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!
Siapakah yang telah menetapkan ukurannya?
Bukankah engkau mengetahuinya?
Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya?
Atas apakah sendi-sendinya dilantak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya
Pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai?”
Di sini, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi, bintang-bintang fajar (bala tentara surga) bersatu dalam pujian dan bersorak-sorai akan pekerjaan-Nya yang ajaib. Catatan pertama tentang musik untuk penyembahan ini menggambarkan sebuah urutan kejadian yang penting:
- Tuhan melakukan pekerjaan yang mengagumkan, dalam hal ini, menciptakan langit dan bumi.
- Bala tentara surga menyaksikan pekerjaan Tuhan.
- Ini mendorong mereka untuk bernyanyi dan bersorak-sorai bagi Tuhan.
Urutan yang serupa terjadi juga pada pujian yang pertama kali dinaikkan oleh umat manusia, yang membawa kita pada pertanyaan 2: siapa orang pertama yang memuji Tuhan?
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, persembahan korban di atas mezbah adalah cara yang utama bagi manusia untuk menunjukkan penghargaan mereka kepada Tuhan. Namun demikian, memuji Tuhan berbeda dengan mempersembahkan korban secara fisik kepada-Nya. Memuji Tuhan bukan sekedar pernyataan kata-kata belaka, tetapi merupakan ekspresi verbal secara menyeluruh dari seseorang untuk memuliakan Tuhan, melalui cara yang indah dan nyata. Jadi siapa orang pertama yang memuji Tuhan dalam Alkitab?
Dalam Kitab Kejadian, ada tiga contoh dari orang-orang yang berkata, “Terpujilah Tuhan.” Dalam hal ini, Nuh, Melkisedek, dan hamba Abraham mengucapkan “Terpujilah Tuhan,” untuk memberkati, menyatakan rasa syukur, dan memuliakan Tuhan atas segala kasih dan rahmat-Nya (Kej 9:26, 14:20, 24:26-27).
Lea adalah orang pertama dalam Alkitab yang mengucapkan kata “memuji” (“praise”, NKJV) (Kej 29:31-35). Lea adalah istri pertama Yakub, tetapi tidak dicintai suaminya. Tuhan melihat kesedihan Lea, sehingga Dia mengaruniakan empat anak laki-laki secara berturut-turut kepadanya. Kita dapat melihat bagaimana Lea secara bertahap memahami akan kasih Tuhan yang besar melalui nama-nama yang ia berikan kepada keempat putranya: Ruben (“Tengoklah, seorang anak laki-laki,”), Simeon (“Mengabulkan”), Lewi (“Menggabungkan”), dan Yehuda (“Memuji”). Melalui anak keempat, Lea akhirnya menyadari betapa Tuhan mengasihinya dengan memberikan empat orang anak laki-laki secara berturut-turut, yang mendorongnya memberikan nama Yehuda. Aslinya, nama ini berarti “bertepuk tangan,” tetapi meluas artinya menjadi “memuji”. Sungguh cara yang indah dan nyata untuk memuji Tuhan! Dengan demikian, setiap kali Lea memanggil Yehuda, ia sedang memuji Tuhan dan mengingatkan dirinya atas anugerah yang menakjubkan dari Tuhan atas dirinya. Karena itu, pujian yang sejati membutuhkan pemahaman dan juga penghargaan atas pekerjaan dan berkat Tuhan, yang mendorong seseorang untuk memuji Tuhan dari dasar hatinya.
Mari kita lihat contoh lainnya: lagu pertama dalam Alkitab, yang ditulis oleh Musa dan dicatatkan dalam Keluaran 15:1-18. Kita perlu memahami latar belakangnya sehingga kita dapat memahami sepenuhnya. Musa menyanyikan lagu ini tepat setelah menyaksikan pasukan Mesir dimusnahkan seluruhnya di Laut Merah. Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Musa tidak memuji Tuhan ketika ia pertama kali berjumpa dengan Tuhan di semak belukar yang menyala-nyala? Atau, setelah sepuluh tulah? Musa tidak mengucapkan pujian apa pun sampai pada saat ia tiba di sisi lain dari Laut Merah. Hal ini karena, pada saat itulah, Musa akhirnya menyadari bahwa tentara Mesir tidak akan pernah dapat menyakiti mereka lagi. Mereka akhirnya terbebas dari Firaun; mereka tidak akan pernah menjadi budak lagi!
Pada saat peristiwa bersejarah ini, Musa memahami janji Tuhan atas keselamatan telah menjadi nyata, diwarnai dengan karya hebat dan juga kasih-Nya. Karena itu, ia menyanyikan lagu ini untuk memperingati penebusan Tuhan dan keperkasaan tangan-Nya, serta dengan penuh keyakinan bernubuat bahwa pada akhirnya mereka akan masuk ke tanah perjanjian. Musa pun bernyanyi dengan sukacita dan rasa syukur yang besar. Dengan segenap hati, ia memberikan kemuliaan bagi Allah Israel yang Maha Besar ini!
Mari kita tekankan lagi: pujian yang tulus harus berasal dari pengalaman akan pekerjaan Tuhan, tersentuh oleh rahmat-Nya, dan kemudian dengan rela menaikkan pujian dan memuliakan Tuhan dari lubuk hati yang terdalam.
Pertanyaan 3: Siapa yang memprakarsai pelayanan musik? Setelah memahami pujian yang tulus, pertanyaan ini menjadi lebih mudah untuk dijawab. Kita mungkin mengira bahwa jawabannya adalah Raja Daud, karena ia memainkan kecapi dengan sangat ahli, dan ia juga mencintai musik. Namun ketika kita membaca
TUJUAN DAN FUNGSI PELAYANAN MUSIK
Jadi apa tujuan yang baik, yang berkenan, dan sempurna dari pelayanan musik? Saya menemukan setidaknya ada tiga alasan:
- Untuk menerima dan mengajarkan Firman Tuhan.
- Untuk menguatkan dan mengubah kerohanian umat Tuhan.
- Untuk menyembah Tuhan dengan berhiaskan kekudusan.
Sekarang kita akan memperluas persepsi kita tentang pelayanan musik, dari sisi luar persembahan paduan suara dan pujian ibadah, menuju kualitas di dalam diri para penyembah. Yesus berkata, “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.” (Yoh 4:23). Dapat disimpulkan, tujuan utama dari pelayanan musik adalah untuk memastikan pertumbuhan rohani dari setiap orang percaya, juga agar setiap orang percaya memiliki hubungan yang dekat dan penuh sukacita dengan Tuhan.
Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa ini adalah tujuan pelayanan musik? Kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan melihat pelayanan Raja Daud.
1. Untuk Menerima dan Mengajarkan Firman Tuhan
Tujuan pertama pelayanan musik dapat ditemukan dengan mempelajari tanggung jawab orang Lewi. Ketika Daud memilih para penyanyi di Bait Suci, hanya orang Lewi yang boleh melakukan pelayanan musik. Sejak zaman Musa, bani Lewi bertanggung jawab untuk mengajarkan hukum dan melaksanakan keputusan-keputusan hukum (Ulangan 17:8-9). Dalam
Ini adalah cara yang baik, yang berkenan, dan sempurna untuk mengajarkan Firman Tuhan. Pada zaman dahulu, kebanyakan orang tidak dapat membaca, sehingga hanya orang Lewi, yang menerima pelatihan untuk pekerjaan mereka sebagai guru-guru dan hakim-hakim, yang dapat membaca. Ketika membacakan hukum dengan lantang kepada orang-orang Israel dalam pertemuan publik, cara yang paling baik untuk menyampaikan kata-kata adalah dengan diberi nada (chanting). Cara lain yang juga efektif adalah dengan dinyanyikan. Melalui pengaturan Daud tentang pelayanan dalam Bait Suci, orang Lewi dapat menjadi para ahli musik yang menuliskan mazmur serta puji-pujian untuk membantu orang Israel mengingat akan Firman Tuhan.
Hari ini, kebanyakan orang yang berpendidikan dan dapat membaca Alkitab sendiri, namun apakah kita menggunakan kemampuan ini dengan baik untuk membaca Alkitab setiap harinya? Jika kita hanya mendengar Firman Tuhan dari khotbah dan kelas Pendidikan Agama, kita tidak akan pernah bertumbuh kuat secara rohani. Selain itu, jika kita dapat menghafal Firman Tuhan dengan bantuan nyanyian, maka kita dapat setiap saat mengingat kembali akan Firman Tuhan dan merenungkannya. Dengan cara ini, kita akan sangat dikuatkan melewati kehidupan sehari-hari. Inilah alasan yang pertama dan paling nyata, mengapa Tuhan menginginkan pelayanan musik yang terorganisasi dengan baik dalam gereja.
2. Untuk Menguatkan dan Mengubah Kerohanian Umat Tuhan
Bahkan jika kita membaca Alkitab setiap hari, apakah kita sering mengalami kuasa yang mengubahkan dari Firman Tuhan yang hidup? Ini adalah tujuan kedua dari pelayanan musik. Memang, pelayanan musik yang diprakarsai Raja Daud memiliki dampak jangka panjang terhadap umat Israel. Orang Israel, yang mengeluh selama perjalanan di padang gurun, mulai menyanyikan mazmur. Walaupun kerajaan Yehuda telah dihancurkan, orang-orang buangan masih tetap membaca dan menyanyikan hukum dan mazmur. Reputasi buruk Israel yang selalu mengeluh telah digantikan dengan kualitas baru menyanyi dan memuji secara terus menerus.
Kitab Mazmur adalah bukti dari perubahan ini. Mazmur seringkali dikutip dalam Perjanjian Baru; Tuhan Yesus juga menggunakan dalam pengajaran-Nya (Luk 20:17, 42-43); penulis lain mereferensikannya untuk membuktikan nubuat dari Mesias dan pekerjaan-Nya (Ibr 1:5-13); Petrus dan Paulus juga mengutip Mazmur ketika mereka mulai berkhotbah (Kis 2:25-28, 34-35, 13:33-35). Seluruh catatan ini menunjukkan bahwa Kitab Mazmur dikenal luas dan banyak digunakan di kalangan orang Yahudi pada masa itu. Bahkan hingga saat ini, orang Yahudi masih menggunakan mazmur dalam ibadah harian mereka, dengan membaca seluruh kitab baik mingguan ataupun bulanan[1].
Kitab Mazmur juga merupakan salah satu kitab yang disukai banyak orang Kristen karena memberikan penghiburan, dorongan, dan pengharapan. Kekristenan memiliki tradisi musik gereja yang berlimpah. Kidung pujian nan indah dan mazmur nan damai telah memenangkan banyak jiwa.
Namun, satu tantangan dalam pelayanan musik adalah kecenderungan untuk lebih menekankan pada musik itu sendiri, daripada kebenaran yang terkandung di dalam liriknya. Untuk mengatasi hal ini, musik gereja telah mengalami reformasi setidaknya dua kali. Kali pertama adalah pada akhir abad keenam, ketika Paus Gregory menggabungkan dan membatasi musik gereja yang dapat dinyanyikan untuk menghilangkan unsur sekuler dalam musik penyembahan. Kali kedua adalah pada abad keenam belas, ketika Martin Luther memulai Reformasi Protestan. Munculnya Gereja Protestan atau Reformasi kembali menekankan pada lirik dan pesan, sebuah reaksi terhadap musik polifoni yang rumit (beberapa melodi dinyanyikan secara bersamaan) pada masa itu, yang membatasi jemaat untuk berpartisipasi dalam penyembahan dan mengaburkan fokus terhadap lirik[2].
Hari ini, walaupun kita tidak menyanyikan lagu yang rumit, tetapi orang-orang percaya masih tetap dapat terbuai oleh keindahan musik itu sendiri dan lupa untuk memperhatikan pesan Firman Tuhan yang terkandung di dalam liriknya. Terlebih, beberapa pujian sangat sering dinyanyikan membuat kita tidak lagi sadar akan perkataan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pelayanan musik harus berdasar pada pengajaran kebenaran di dalam liriknya, menjunjung tinggi pesan di atas musik itu sendiri. Musik harus selalu menjadi pelayan dari Firman Tuhan. Dengan prinsip ini, melalui pelayanan musik orang Kristen dapat mengalami kuasa yang mengubahkan dari perkataan Firman Tuhan.
3. Untuk Menyembah Tuhan dengan Berhiaskan Kekudusan
Untuk menggambarkan alasan ketiga dari pelayanan musik, kita akan melihat sebuah ayat, “Sujudlah menyembah Tuhan dengan berhiaskan kekudusan,” yang digunakan beberapa kali dalam Kitab Perjanjian Lama (1 Taw 16:29;
Daud dengan niat baik ingin membawa tabut perjanjian ke Yerusalem, namun pada mulanya ia tidak menyadari betapa luhurnya tabut perjanjian. Tabut perjanjian merupakan tempat di mana Tuhan berbicara kepada Musa selama tahun-tahun di padang gurun. Berada di hadapan tabut perjanjian adalah sama dengan berada di hadapan Tuhan. Sebelum Tuhan turun dan berbicara kepada orang Israel di Gunung Sinai, Ia menyuruh Musa memberitahukan orang Israel untuk menguduskan diri mereka (Kel 19:10-11). Lebih jauh lagi, kemah suci dan segala yang ada di dalamnya harus diurapi dengan minyak urapan sebelum digunakan dalam pelayanan. Harun dan keturunannya, yang menjadi Imam Besar, juga harus diurapi dengan minyak urapan sebelum melayani di depan tabut perjanjian – yang adalah, di hadapan Allah (Kel 30:26-30). Tanpa kekudusan, tidak ada seorang pun dapat melihat Tuhan (Ibr 12:14). Pada upaya pertama, Daud tidak benar-benar menghargai kekudusan tabut perjanjian dan memindahkannya dengan caranya sendiri. Hal ini mengakibatkan kegagalan dan kematian yang tragis (1 Taw 13).
Dalam upaya kedua (1 Taw 15), Daud akhirnya menyadari bahwa tabut perjanjian harus diangkat oleh bani Lewi, seperti yang telah diperintahkan Allah kepada Musa. Oleh karena itu, ia menyuruh orang Lewi dan para imam untuk menguduskan diri. Daud juga mengatur orang Lewi dan para imam dengan urutan tertentu: tiga kepala pemusik memimpin prosesi, diikuti orang-orang Lewi yang memainkan alat-alat musik, seorang pemimpin paduan suara bersama anggota paduan suara yang besar dari orang Lewi, empat orang penjaga pintu, tujuh orang peniup sangkakala, dan akhirnya, Daud dengan para tua-tua Israel dan orang-orang Israel lainnya (1 Taw 15:2-25).
Kedua prosesi ini sangatlah berbeda! Yang pertama sangatlah kacau, kerumunan besar orang diiringi gabungan suara musik dan kegaduhan. Yang kedua diatur rapi, dengan orang Lewi yang berpakaian kain lenan halus, memainkan dan menyanyikan musik secara harmonis.
Setelah pengalaman dari prosesi kedua, Daud mengerti betapa indahnya menaati perintah Tuhan dan betapa pemurahnya Tuhan itu. Dalam mazmur ucapan syukur Daud, yang ditulis setelah prosesi ini (1 Taw 16:8-36), Daud memahami bahwa firman Tuhan membawa kekudusan (semua orang Kaum Lewi menguduskan dirinya), teratur (dalam pengaturan yang tertata rapi), harmonis (beragam alat musik dimainkan dalam keselarasan), indah (semua orang Lewi berpakaian kain lenan halus), dan sukacita yang besar (1 Taw 15:25). Inilah kehendak Tuhan yang baik, berkenan, dan sempurna sehingga kita dapat merasakan hasil akhir yang sangat indah ketika kita menaati perintah-Nya! Oleh karena itu, Daud menuliskan untuk pertama kalinya “sujudlah menyembah dengan berhiaskan kekudusan” di dalam mazmur ini (1 Taw 16:29), mengakui akan rahmat Tuhan yang memungkinkan upaya kedua berjalan dengan lancar dan damai (1 Taw 15:26). Tuhan telah mengabaikan ketidaksempurnaan jemaah Israel, dan menganugerahkan damai sejahtera dan sukacita. Hal ini menginspirasi Daud membuat kutipan yang sering ia ulangi: “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (1 Taw 16:34).
Tuhan ingin kita tahu betapa berbahagianya menyembah Dia dengan berhiaskan kekudusan. Menyembah bukanlah sekedar mengikuti perintah, namun sesuatu yang orang Kristen cintai dan nantikan untuk bergabung di dalamnya. Dari tujuh mazmur terakhir dalam Kitab Mazmur, serta pujian-pujian dalam Kitab Wahyu, kita tahu bahwa menyembah dengan berhiaskan kekudusan adalah tema hidup kita dalam kekekalan: pujian dari jemaah yang besar yang tak terhitung (Why 7:9-10, 19:1-3), dari 144,000 orang (Why 14:1-5), dan dari orang-orang yang telah menang (Why 15:2-4), semuanya menggambarkan sukacita menyembah Tuhan dalam kekekalan. Namun selama kita masih di dalam dunia, setiap orang Kristen harus merasakan pengalaman surgawi ini untuk menjaga iman kita tetap teguh di dalam kesengsaraan atau pencobaan, sampai kita dapat menyembah Tuhan di dalam keindahan dan kemuliaan yang kekal.
Prinsip Praktis Pelayanan Musik Gereja Yesus Sejati
Sekarang, setelah kita memahami pelayanan musik yang selaras dengan kehendak Tuhan, kita dapat menarik beberapa prinsip praktis dalam pelayanan musik, dengan bantuan instruksi dari Paulus:
“Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” (Ef 5:18-20, penambahan tekanan)
Di sini Paulus menasihatkan orang-orang percaya agar tidak mabuk, melainkan dipenuhi oleh Roh Kudus. Daripada mengucapkan perkataan sia-sia, kotor, omong kosong, atau sembrono (Ef 5:4), Paulus menginstruksikan orang percaya bagaimana menggunakan suara mereka: mereka harus berbicara dan menguatkan satu sama lain dalam mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani. Mereka harus memuliakan Allah dengan bernyanyi dan bersorak bagi Tuhan, dengan segenap hati, dengan rasa syukur dalam segala hal. Paulus menyebutkan tiga jenis musik yang berbeda dan tiga aspek komunikasi, yang dapat kita terjemahkan menjadi keahlian untuk berpartisipasi dalam pelayanan musik secara penuh. Mari kita lihat bagaimana kita dapat menerapkan tiga aspek ini, baik dalam lingkup pribadi maupun gereja.
UNTUK JEMAAT INDIVIDU
1. Berkata-kata
Aspek pertama yang Paulus sebutkan adalah berkata-kata. Kita memiliki pemahaman yang keliru bahwa pelayanan musik hanya terdiri dari bernyanyi atau memainkan alat musik. Kita tidak hanya dapat menyanyikan mazmur dan kidung pujian, namun kita juga dapat membangun satu sama lain dengan menyampaikan dan membagikan makna dari teks serta liriknya. Kita mungkin bertanya bagaimana kita dapat “berkata-kata” dengan nyanyian rohani. Satu definisi “berkata-kata” dalam bahasa aslinya berarti menyuarakan atau mengeluarkan bunyi. Jadi boleh saja kita menggunakan perkataan “berkata-kata” atau “menyuarakan” dalam menyampaikan nyanyian rohani.
Berkata-kata adalah salah satu karunia unik yang Tuhan berikan kepada manusia. Ciptaan lainnya tidak memiliki perkataan atau bahasa seperti kita, walaupun semua ciptaannya dapat menyatakan kemuliaan Tuhan (Mzm 19:1-4). Para filsuf Yunani kuno meneliti dan mengagumi keteraturan dan keharmonisan dalam alam semesta, dan menyebutkan hal ini pernyataan yang menakjubkan dari “musik alam semesta”[3]. Jika ekspresi tak bersuara dari langit sekalipun dapat menyatakan kemuliaan Tuhan, seberapa banyak kita dapat lebih memuliakan Dia, ketika kita menyuarakan firman dan pekerjaan-Nya yang ajaib! Oleh karena itu, dengan berkata-kata satu sama lain dengan mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani, kita sedang melakukan pelayanan musik: dengan berkata-kata satu sama lain dengan mazmur, kita menyatakan firman Allah, saling mengajar serta menegur (Kol 3:16). Dengan mengucapkan lirik pujian, kita membagikan anugerah Allah, dan saling membangun. Dengan mengucapkan nyanyian rohani dalam doa, kita akan menerima penghiburan dan sukacita dari Roh Kudus. Kita tidak membutuhkan keahlian membaca not ataupun keahlian bernyanyi untuk melakukan hal ini. Sama seperti Lea belajar untuk memuji Tuhan, yang kita perlukan hanyalah hati yang tulus untuk mempersembahkan syukur dan puji-pujian kepada Tuhan.
2. Bernyanyi
Bernyanyi adalah aspek selanjutnya dalam instruksi Paulus. Inilah keahlian yang biasanya paling banyak dikaitkan dengan pelayanan musik. Walaupun bernyanyi terutama ditujukan kepada Tuhan, namun baik orang percaya maupun yang belum percaya yang ada di sekitar kita dapat terbangun ketika mendengarkan musik kudus yang indah. Daud memberikan teladan bagaimana menggunakan keahlian musik ini dengan tepat. Ketika ia memainkan musik untuk Raja Saul, bukan hanya dengan keahlian musiknya, namun yang lebih penting, melalui kesungguhan hatinya yang menghasilkan musik kudus untuk mengusir roh jahat dan menyegarkan jiwa Saul (1 Sam 16:23).
Jadi, kita dapat menyimpulkan beberapa petunjuk dalam menggunakan keahlian musik kita untuk pelayanan:
- Lebih memperhatikan pada kebenaran yang terkandung dalam lirik, dibandingkan sekedar memanjakan diri dalam musik yang indah.
- Lebih menitikberatkan untuk memiliki dan menumbuhkan kesungguhan hati serta sikap, dibandingkan pada keahlian musik.
- Kesederhanaan pada musik lebih baik daripada musik yang rumit, sehingga semua orang dapat turut serta dalam memuji Tuhan.
- Fokus pada kekudusan, keteraturan, keharmonisan, keindahan, dan sukacita dari musik untuk penyembahan.
3. Bersorak bagi Tuhan dengan Segenap Hati
Aspek ketiga yang Paulus sebut, bersorak bagi Tuhan dengan segenap hati, merupakan keahlian yang paling jarang ditekankan. Bagaimana cara kita bersorak dengan segenap hati? Sementara berkata-kata dan menyanyikan mazmur, pujian, dan nyanyian rohani menggunakan tubuh dan pikiran kita untuk memuji Tuhan; bersorak dengan segenap hati berarti hati dan jiwa kita sepenuhnya terlibat dalam memuji Tuhan. Ketika kita menguasai keahlian ketiga ini, kita dapat bersyukur dan memuji Tuhan dengan seluruh keberadaan kita: tubuh, hati, dan jiwa. Kita tidak hanya menjadi seorang pemuji dari sisi luar yang terlihat saja, tetapi juga memiliki kualitas sisi dalam dari seorang penyembah sejati.
Ketika seorang percaya telah mencapai tingkat ini, ia telah berdamai dengan dirinya sendiri, saudara-saudari, dan juga Tuhan. Ia dapat bersorak dengan segenap hati karena memiliki damai sejahtera dan sukacita. Ada perubahan nyata! Ia telah menyerap firman Tuhan dan musik yang kudus, sehingga berakar kuat dalam dirinya. Setiap saat ia dapat bersorak dengan segenap hati. Sungguh indahnya ketika seluruh jemaat dapat bersorak dengan segenap hatinya! Artinya, di dalam hati mereka sudah tidak ada lagi gerutuan, amarah, ataupun perkataan kotor, tetapi hanya ada damai sejahtera, sukacita, dan anugerah. Ini adalah tujuan akhir yang Paulus bayangkan untuk pelayanan musik, sebagai cara lain untuk mengatakan “dengan berhiaskan kekudusan”. Marilah kita berusaha untuk mencapai aspek ketiga ini dari pelayanan musik!
TINGKAT GEREJA LOKAL DAN DI ATASNYA
Secara umum, kita dapat melihat bahwa pelayanan musik gereja secara mayoritas berfokus pada aspek kedua yang disebutkan oleh Paulus. Tetapi kita juga perlu mengakarkan keahlian berkata-kata (saling membangun dengan mengucapkan mazmur, pujian, dan nyanyian rohani), serta berupaya mencapai keahlian ketiga yaitu bersorak bagi Tuhan dengan segenap hati (menyatakan damai sejahtera, sukacita, dan anugerah). Di bawah adalah beberapa pekerjaan yang dapat dilakukan oleh gereja, untuk membantu setiap orang bertumbuh melalui pelayanan musik:
- Mengajarkan dengan jelas akan perkataan Firman Tuhan yang terkait dengan kehendak Tuhan dalam pelayanan musik, termasuk tujuan dan fungsi pelayanan musik. Mendorong jemaat untuk mempraktekkan tiga aspek yang diinstruksikan Paulus.
- Menyediakan lebih banyak waktu untuk menyembah dengan musik. Selama kebaktian, kita dapat memberikan lebih banyak waktu bagi pemimpin pujian untuk mengarahkan hati jemaat terhadap pesan dari pujian yang dibawakan, dan memilih pujian yang sesuai dengan tema khotbah. Mengadakan kebaktian pujian istimewa juga bermanfaat bagi jemaat untuk mempraktekkan saling berkata-kata dan menyanyikan mazmur, pujian, dan nyanyian rohani.
- Merancang program pelatihan bagi para musisi gereja. Serupa dengan Pembekalan Guru Agama, kita dapat merancang program pelatihan bagi para musisi gereja di tingkat lokal, regional, dan nasional untuk meningkatkan kesadaran pelayanan musik yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dan memperlengkapi para pekerja dengan keahlian untuk memimpin pelayanan musik.
- Menciptakan lebih banyak lagu dan pujian berdasarkan kebenaran yang seutuhnya. Gereja Yesus Sejati memiliki kebenaran yang tidak disadari oleh denominasi lain. Kita dapat mendorong jemaat untuk menulis puisi dan pujian berdasarkan kebenaran yang seutuhnya, sebagai landasan bagi para penulis lagu untuk menggubah lagu dan pujian baru. Lagu-lagu pujian ini akan membantu jemaat mengingat dan merenungkan kebenaran setiap waktu. Dengan pertolongan Roh Kudus, kita dapat menghasilkan musik rohani yang menarik dan membangun orang-orang.
- Mendorong jemaat untuk mendengarkan musik rohani dan juga musik-musik yang baik. Bukan hanya musik rohani yang dihasilkan oleh paduan suara kita, tetapi juga musik-musik yang baik, seperti musik klasik yang digubah dengan indah dan lagu rakyat dari seluruh dunia. Musik jenis ini lebih baik dibanding musik pop masa kini dan jenis musik sekuler lainnya. Ketika mendengarkan lagu rakyat, kita perlu waspada agar musik tidak berhubungan dengan pemujaan. Dengan menyerap bunyi dari musik rohani dan musik-musik yang baik, kita dapat bersorak bagi Tuhan dengan segenap hati, memancarkan keharmonisan, damai sejahtera, dan sukacita di dalam gereja.
KESIMPULAN
Sebagai penutup, saya berharap artikel ini menjadi panggilan awal untuk bertindak, demi memperkuat dan mengembangkan pelayanan musik di gereja kita. Saya mendorong dan menyambut semua masukan dari semua rekan sekerja dalam pelayanan musik, dan juga para pendeta, diaken, dan penatua. Di akhir zaman, pelayanan musik memainkan peranan penting dalam melayani jemaat di seluruh bidang pelayanan. Kiranya Tuhan membantu kita memahami kehendak-Nya yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna dalam pelayanan musik; saling membangun melalui mazmur, pujian, dan nyanyian rohani; diubahkan; serta menyembah Tuhan dengan berhiaskan kekudusan selama-lamanya!
Kiranya segala hormat dan kemuliaan hanya bagi nama-Nya!
____________________________________________________
[1] “Which Psalms Should I Read Daily?” Chabad.org, diakses pada 19 Juli, 2022, https://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/764344/jewish/Which-Psalms-Should-I-Read-Daily.htm.
[2] Dowley, Tim. 2011. Christian Music: A Global History. Oxford and Minneapolis: Lion Books. 88.
[3] Wilson-Dickson, Andrew. 2003. The Story of Christian Music. Oxford and Minneapolis: Lion Books. 40.