Pengalaman yang Penuh Kasih Karunia
Li-Bin Mok—Vancouver, Canada
Melintasi Lembah Kematian dengan damai di hati,
Aku percaya pada kehendak dan rencana Tuhan.
Dengan rahmat dan manna setiap hari aku diberkati,
Pujian dan rasa syukur kepada Tuhan tiada henti-hentinya mengalir.
Haleluya! Puji Tuhan saya diberi kesempatan untuk membagikan kesaksian ini. Sebagai hamba Tuhan, saya tidak bisa mencuri kemuliaan-Nya. Yesus telah menyembuhkan sepuluh orang kusta (Luk 17:11–19), tetapi hanya satu yang kembali untuk berterima kasih kepada-Nya dan memuji Tuhan. Saya ingin meneladani penderita kusta ini. Meskipun peristiwa ini terjadi dalam beberapa bulan, itu menunjukkan kemahakuasaan Tuhan dan kasih karunia-Nya yang dilimpahkan kepada saya.
Catatan Kasih Anugerah Tuhan
Pada bulan Agustus tahun 2018, saya mulai mengalami nyeri tumpul di pangkal leher. Ini menyusahkan tetapi bisa ditahan. Karena semakin parah, saya memeriksakannya ke dokter keluarga saya, seorang dokter umum. Ia memperkirakan rasa sakit ini akibat cedera dari olahraga, otot tertarik, atau ketegangan leher dan punggung akibat posisi tidur yang salah. Ia menyarankan pijat atau fisioterapi dan mengarahkan saya untuk serangkaian scan dan tes.
Hasil dari tes dan scan tidak menunjukkan tanda bahaya bagi dokter dan ahli radiologi yang meninjau hasilnya. Namun menjelang akhir tahun, leher saya menjadi sangat kaku sampai saya kesulitan memutar kepala. Melalui semua itu, saya merasakan sakit yang semakin parah yang secara bertahap menyebar ke berbagai bagian tulang belakang dan tulang rusuk saya.
Dari salah satu tes dengan spesialis neuromuskuler, disimpulkan bahwa rasa sakit tersebut bukanlah akibat dari cedera neuromuskuler. Segera setelah janji temu dokter, ia memasukkan saya ke ruang gawat darurat rumah sakit (UGD).
Itu adalah hari yang agak aneh di UGD. Tempat itu dipenuhi dengan kasus overdosis obat, kecelakaan traumatis, dan cedera parah akibat perkelahian. Karena kasus di UGD diprioritaskan berdasarkan urgensi, semua kasus-kasus tersebut diprioritaskan di atas kasus saya.
“Saat itulah dokter yang kelihatan tertekan itu mengumumkan bahwa saya menderita kanker stadium 4…[yang] tidak dapat disembuhkan dan biasanya terminal.”
Waktu berlalu, sedangkan saya duduk di tempat tidur dan menonton berbagai macam drama yang diputar di depan saya. Sudah lebih dari delapan jam sejak saya masuk rumah sakit, namun tidak ada dokter yang tersedia untuk merawat saya. Sambil menunggu, saya menjalani serangkaian tes untuk membantu dokter UGD memastikan apa masalahnya.
Pada jam 10 malam, saya melihat beberapa dokter yang bertugas jam 11 malam tiba lebih awal untuk membantu menangani kasus yang belum selesai tertangani. Seorang dokter bergegas masuk, berganti pakaian, dan pergi ke dinding papan klip. Ia memilih satu secara acak dan mulai meninjau berkas tersebut.
Setelah beberapa menit, ia memperkenalkan diri sebagai dokter yang menangani kasus saya sebelum ia bergegas pergi lagi. Saya perhatikan ia adalah seorang dokter yang telah menyelesaikan residensi dan sedang menjalani tahapan untuk menjadi subspesialis, bukan dokter residen biasa. Dari tempat tidur rumah sakit, saya bisa melihat ia sedang meninjau catatan medis saya. Selama beberapa jam berikutnya, saya menjalani beberapa tes dan scan lagi.
Keesokan paginya, diagnosis telah dibuat, dan ia perlu berbicara dengan saya secara pribadi. Saat itulah dokter yang kelihatan tertekan itu mengumumkan bahwa saya menderita kanker stadium 4, maka ada rasa sakit di berbagai bagian struktur kerangka saya. Kanker stadium lanjut seperti itu tidak dapat disembuhkan dan biasanya terminal. Mulai saat ini, strategi dan rencana pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan kanker dan memperpanjang hidup.
Bagi kebanyakan orang, diagnosis seperti itu kemungkinan besar akan diikuti oleh kehancuran, ketidakpercayaan, kebingungan, atau bahkan kemarahan. Saya terkejut mendapatkan diri saya relatif tenang dan damai. Setidaknya sekarang, apa yang menyebabkan saya sakit sudah diketahui! Dengan diagnosis, para dokter dan saya dapat mengatasi masalah tersebut. Kalau tidak, saya akan meninggal dalam beberapa bulan tanpa mengetahui penyebabnya.
Karena keseriusan kondisi dan sel kanker yang agresif, dokter memberi saya setumpuk permintaan untuk beberapa tes dan scan lagi di berbagai rumah sakit. Semuanya ada kata “MENDESAK” yang distempel warna merah untuk mempercepat proses diagnostik.
Saya percaya tangan Tuhanlah yang membimbing orang ini untuk memilih file saya malam itu di UGD. Pengalamannya memungkinkan untuk secara akurat mendiagnosis tingkat keparahan kondisi saya dan tahu protokol tindak lanjut yang diperlukan. Senioritas dan rasa urgensinya juga menyebabkan saya menerima perawatan segera yang diperlukan oleh penderita kanker stadium akhir. Dalam doa-doa saya, saya memohon Tuhan untuk mempersiapkan saya dalam menempuh perjalanan ke depan, dengan campuran rasa gentar, kegembiraan, dan pemahaman yang mendalam bahwa pelajaran penting akan diberikan di sepanjang jalan.
Selama beberapa minggu berikutnya, saya akan menjalani tes dan scan yang diperlukan. Walaupun secara fisik saya semakin lemah dari hari ke hari dan hanya bisa bergerak lambat karena sakit, tetapi Tuhan memberikan saya energi dan kekuatan mental yang cukup untuk menanggung kerasnya semua tes.
Selama pemeriksaan dengan ahli onkologi senior, dokter menanyakan berapa banyak obat penghilang rasa sakit yang saya minum setiap hari untuk mengukur intensitas rasa sakit yang saya derita. Saya menjawab bahwa walaupun tulang saya sakit, tetapi tidak cukup mengganggu saya untuk minum obat penghilang rasa sakit. Ia menggelengkan kepalanya dengan tak percaya, berkata, “Anda tangguh, siapa pun dengan kondisi yang sama akan meminum segenggam obat penghilang rasa sakit setiap hari, dan Anda tidak meminumnya?“ Saat dia terus bergumam pelan, di dalam diri saya ada kata-kata, “Haleluya, haleluya, puji Tuhan.” Inilah anugerah berlimpah yang Tuhan berikan kepada anak-anak-Nya.
Akhirnya, kerusakan penuh yang disebabkan oleh kanker terjadi pada saya. Saya diberitahu bahwa tim ahli onkologi akan segera ditugaskan pada kasus saya untuk memulai proses perawatan. Karena pengobatan kanker juga diprioritaskan, bersamaan dengan seluruh proses diagnosis yang dipercepat, saya menunggu tiga hari sampai slot pertama tersedia untuk memulai kemoterapi–tiga minggu setelah saya menerima diagnosis di UGD.
Saat itu, saya merasa hampir seluruh hidup saya telah terkuras. Pada hari pertama kemoterapi, saya merasa sangat lemah sehingga saya tidak dapat menahan diri untuk tidak jatuh ketika saya berbalik untuk bangun dari tempat tidur. Dasar tempurung kepala saya terbentur tiang ranjang, mengirimkan sentakan rasa sakit yang hebat ke seluruh tubuh.
Rasa sakit tetap ada sepanjang hari. Setiap gerakan kecil akan mengirimkan sentakan rasa sakit yang luar biasa ke seluruh tubuh saya, tapi saya bertekad untuk menyelesaikan sesi kemo pertama saya. Ketika saya kembali dari kemo di sore hari, saya merasa sangat lelah dan kesakitan sehingga saya duduk di samping tempat tidur untuk beristirahat sebelum mencoba menyeret diri ke tempat tidur.
Pada saat itulah saya mendapatkan penglihatan tentang orang banyak pada penyaliban Yesus di Golgota, sebuah area di luar tembok kota Yerusalem. Ketika saya lumpuh oleh rasa sakit yang hebat dan menyiksa di tulang-tulang saya, Tuhan membuat saya mengerti bahwa rasa sakit seperti itu, dan jauh lebih sakit lagi, telah Yesus tanggung ketika Ia menderita di kayu salib untuk kita. Dari sudut pandang saya, saya dapat melihat dengan jelas penderitaan fisik Yesus. Saya benar-benar dapat merasakan seruan-Nya di Bukit Zaitun: “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42). Untuk mengikuti teladan-Nya, saya mengerahkan keberanian untuk berkata kepada Tuhan bahwa saya akan pergi ke mana pun Ia memimpin. Lalu saya berdoa kepada Tuhan untuk memberikan saya kekuatan untuk menyelesaikan perjalanan ini dan iman untuk mengetahui bahwa ini adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna.
“Apa pun yang terjadi pada saya…Saya akan mampu menghadapi tantangan karena Tuhan berjalan bersama saya.”
Rasa sakit berlanjut dengan intensitas yang sama keesokan paginya. Karena saya akan menjalani sesi kemo berikutnya hari itu, saya pergi memeriksakan diri ke UGD. Rasa sakitnya begitu hebat sehingga membutuhkan setidaknya tujuh perawat UGD untuk menggerakkan dan memposisikan saya untuk beberapa macam scan dan tes. Saat itulah mereka menemukan bahwa tulang leher saya retak akibat jatuh dari tempat tidur sehari sebelumnya.
Tindakan segera adalah melakukan operasi untuk menstabilkan leher saya dengan pelat titanium. Ini akan mencegah tulang belakang runtuh, yang dapat mengakibatkan kelumpuhan. Tapi saya protes, jadi sebagai gantinya, sebuah penopang diberikan untuk menopang kepala saya, dan pengaturan dibuat bagi saya untuk menemui ahli bedah tulang belakang dalam waktu empat puluh delapan jam. Saya juga menandatangani surat-surat untuk membebaskan rumah sakit dari tanggung jawab jika saya menjadi lumpuh karena keputusan saya.
Masih dalam kesakitan, saya bertekad untuk menjalani sesi kemo berikutnya, jadi saya diperbolehkan pulang. Dengan penopang terpasang, saya pulang dengan sangat pelan-pelan dan hati-hati.
Keesokan harinya, saya berkonsultasi dengan dokter bedah tulang belakang. Setelah serangkaian tes dan penilaian tingkat mobilitas saya, ia menyimpulkan bahwa pelat titanium terlalu drastis pada saat itu. Dengan baik hati ia memutuskan untuk mencoba dengan obat dan radiasi sebelum menjalani operasi.
Pada saat saya menemui ahli onkologi radiasi beberapa minggu kemudian, saya tidak mengenakan penopang itu. Saya masuk ke klinik, duduk, dan menunggunya. Seorang dokter residen masuk dan sangat terkejut melihat saya duduk di sana sehingga ia benar-benar berseru, “Anda sedang duduk!” Saya menjawab, “Ya, saya sedang duduk.” Kemudian ia pergi dengan tergesa-gesa, membawa dokter residen lain untuk menyaksikan kejadian itu. Selama konsultasi, saya diberitahu bahwa pasien dengan cedera serupa umumnya didorong masuk, baik dengan kursi roda atau di atas tandu. Dan saya ini, duduk dan berjalan tanpa bantuan.
Kesimpulan
Ini hanyalah beberapa mukjizat dan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada saya. Sejak itu, saya telah menjalani beberapa macam perawatan lagi. Tapi yang terpenting, saya melanjutkan hidup dengan cara terbaik yang saya tahu caranya. Meskipun saya tidak tahu apa yang Tuhan rencanakan, setidaknya saya tahu apa pun yang terjadi pada saya—baik itu pelajaran untuk dipelajari, tugas untuk diselesaikan, atau perjalanan untuk lebih baik. Saya akan mampu menghadapi tantangan karena Tuhan berjalan bersama saya.
Jika tubuh yang hancur adalah salib yang harus saya pikul seumur hidup ini, biarlah. Karena saya tahu dengan pasti bahwa ketika seseorang melakukan perjalanan bersama Tuhan, selalu ada sesuatu yang dinanti-nantikan. Dalam perjalanan yang berbahaya ini, saya berterima kasih kepada Tuhan untuk setiap langkah maju yang berhasil saya ambil, seberapa pun melelahkannya setiap langkah itu. Nyanyian pujian terus-menerus menemani saya, menyelubungi saya dengan rasa optimisme dan kedamaian seiring berjalannya waktu.
Saya percaya pengalaman-pengalaman ini adalah talenta yang saya terima dari Tuhan Allah kita. Tidak membagikannya sama dengan menyembunyikan talenta di dalam tanah (Mat 25:14–30) dan mengurangi kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan adalah pelita yang harus diletakkan di atas kaki dian dan bukan ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap.” (Mrk 4:21–25). Amin.