Siapakah Aku? (Bagian 1)
Boaz—Malaysia
Catatan Editor: Kedua seri ini membahas bagaimana kita memahami diri sendiri dan bagaimana peran dan identitas kita yang berbeda dapat melengkapi ataupun menghambat status Kekristenan kita. Bagian pertama artikel ini berfokus pada mengelola konflik identitas ganda kita.
MEMAHAMI DIRI
“Siapakah aku?” adalah pertanyaan yang jarang kita tanyakan pada diri kita sendiri. Sebaliknya, “Siapakah kamu?” adalah pertanyaan yang lebih umum, entah muncul karena rasa penasaran, ataupun tercetus dengan nada merendahkan. Namun, penting bagi kita untuk mengajukan pertanyaan tersebut kepada diri kita sendiri, sehingga kita dapat mengenal diri sendiri yang sesungguhnya dengan lebih baik. Dalam pencarian untuk mengenal diri ini, pertanyaan yang penting untuk ditanyakan adalah:
Siapakah aku setelah aku melepaskan jabatan dan posisi kerjaku?
Siapakah aku setelah aku kehilangan seluruh kekayaan dan kemampuanku?
Siapakah aku tanpa kesehatan dan daya gerak?
Siapakah aku di balik penampilan luarku?
Siapakah aku ketika jiwaku meninggalkan ragaku?
IDENTITAS GANDA
Sama seperti sebuah koin, sifat alami manusia memiliki dua sisi – emas di satu sisi dan karat di sisi lain. Sifat alami manusia menjadi bersinar seperti emas dan memperlihatkan kemuliaan ketika dirinya memancarkan kasih. Namun, dengan niat jahatnya untuk menghancurkan kehidupan, sifat alami manusia ini terkorosi dan menjadi hina.
Kita semua memiliki identitas ganda. Sebagai individu, saya memiliki dua kutub yang sangat bertentangan. Tubuh jasmani saya yang terlihat, berdampingan dengan jiwa saya yang tak terlihat. Saya memiliki kehidupan jasmani yang singkat dan sementara, namun juga memiliki kehidupan rohani yang kekal.
Saya juga dipenuhi dengan berbagai kontradiksi. Tindakan saya seringkali bertentangan dengan pikiran saya. Bahkan ketika saya mengkonsumsi obat-obatan untuk hipertensi karena takut mati, saya menikmati daging berlemak kesukaan saya dengan sedikit memikirkan konsekuensinya! Meskipun saya memiliki Roh Kudus yang tinggal di dalam saya, tetapi saya berpikir dan berperilaku seperti orang yang tidak mengenal Tuhan. Meskipun saya tahu suatu hari nanti saya akan meninggal, tetapi saya menolak menghadapi kenyataan ini untuk membuat persiapan yang cukup untuk hal ini.
1. Anak Dan Orang Berdosa
Contoh Alkitabiah yang menggambarkan identitas ganda dari anak dan orang berdosa adalah anak yang hilang. Ia adalah seorang pewaris dan juga penggembala babi, seorang anak dan juga orang berdosa. Oleh karena kita juga memiliki identitas ganda ini, sebagai anak Allah dan orang berdosa, kita seringkali berada dalam konflik. Rasul Paulus merangkumnya dengan jelas:
“Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.” (Rom 7:25-26)
Ini adalah kesimpulan dari perikop di mana Paulus menjelaskan pergumulannya. Dahulu ia hidup sebagai orang berdosa yang mendatangkan murka Allah. Namun kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib telah membayar hutang dosanya. Oleh karena itu, dalam pikirannya Paulus ingin tunduk kepada hukum Allah, dan jiwanya dilahirkan kembali setelah baptisan, menjadi anak Allah. Namun, jiwanya masih terperangkap dalam tubuh insani yang menuju kepada kematian, karena tubuh insani melayani hukum dosa.
Kematian tubuh insani adalah akhir yang lazim terjadi pada semua manusia, terlepas apakah ia seorang yang percaya kepada Tuhan atau tidak. Melalui baptisan, jiwa kita dilahirkan kembali. Tetapi jiwa yang telah lahir kembali dalam tubuh jasmani adalah seperti orang merdeka yang tetap terpenjara. Dalam penjara tubuh insani yang berdosa, manusia tidak dapat dengan bebas melakukan perbuatan baik, hanya dengan mengandalkan niat hati. Hal buruknya, manusia seringkali menganggap dirinya baik dan benar, namun tidak dapat melihat dosanya!
Jika kita mengenali pelanggaran dan kelemahan kita, kita tidak akan begitu acuh tak acuh. Sebaliknya, kita akan sangat mengucap syukur atas anugerah Tuhan. Siapakah aku sehingga Bapa di surga memilih aku, dari milyaran orang di dunia, untuk menjadi Anak-Nya?
“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (Rom 8:29-30)
Bahkan yang lebih mengagumkan, Allah yang Maha Kudus dan Maha Kuasa telah mengenal orang-orang berdosa seperti kita, sebelum kita dibentuk dalam kandungan ibu kita (Yer 1:5), dan bahkan sebelum penciptaan dunia (Ef 1:4). Dari mengenal dan dipanggil, sampai waktunya tiba, Tuhan memimpin kita, keledai yang tegar tengkuk, dengan tali kesetiaan dan ikatan kasih (Hos 11:4). Melalui darah Anak Tunggal-Nya yang terkasih, kita dibenarkan dan dapat mengenakan Kristus. Pada hari terakhir, Ia akan membangkitkan kita dari kematian dan mempersilakan kita untuk memasuki kemuliaan-Nya.
Sebagai orang-orang berdosa, kita lebih buruk dibandingkan anak yang hilang, yang hidup dengan babi-babi yang najis. Namun demikian, kita dijadikan anak-anak-Nya, bukan karena perbuatan baik kita, tetapi karena rahmat Tuhan.
Berapa harga yang harus kita “bayar” untuk mendapatkan rahmat Tuhan ini? Kita hanya perlu percaya kepada Yesus agar dapat dibenarkan sepenuhnya dengan cuma-cuma.
“Dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” (Rom 3:24)
“Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.” (Rom 4:5)
Hal ini sungguh berbeda dengan dunia, di mana “tidak ada makan siang yang gratis!” Bahkan jika kita mendapatkan produk ataupun jasa secara cuma-cuma, ini pun biasanya harus ditukar dengan data pribadi kita yang berharga.
Berapa harga yang dibayar oleh Yesus untuk menjadikan seorang berdosa menjadi anak-Nya? Anak Allah yang penuh kemuliaan menjadi seperti orang yang berdosa, mati melalui penderitaan di kayu salib. Setiap kali memikirkan akan kasih dan pengorbanan-Nya yang tidak tertandingi, hati saya berseru, “Haleluya,” sebagai ucapan syukur kepada Yesus dari lubuk hati yang terdalam!
2. Roh Kudus Dan Keinginan Daging
Menerima Roh Kudus adalah sebuah pengalaman yang menggembirakan dan tak terlupakan. Namun siapa yang berani mengatakan bahwa semua keinginan daging kita akan berhenti ketika menerima Roh Kudus? Bahkan, hari ini siapa yang dapat mengatakan bahwa kita tidak lagi tergoda dan menderita oleh keinginan daging kita?
Pada saat menerima Roh Kudus, kita merasa menang dan bertekad bahwa dosa tidak akan pernah lagi mengganggu hidup kita. Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan buruk kita perlahan-lahan kembali. Meskipun pernah dimusnahkan sepenuhnya oleh “api surgawi,” rumput liar dari kebiasaan lama ini mulai bertunas ketika angin musim semi (keinginan daging) bertiup. Terlebih, kita pun bimbang apakah kita benar-benar memiliki Roh Kudus. Karena terlepas dari bukti bahwa kita berbahasa roh, nampaknya kita tidak memiliki kuasa apa pun untuk mengalahkan keinginan-keinginan ini.
“Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.” (Gal 5:17)
Tubuh kita adalah medan peperangan, di mana Roh Kudus berperang melawan keinginan daging kita. Kita akan mengalami tekanan yang kuat di antara kedua hal tersebut. Jika kita mengarah pada kedagingan, kita mendukakan Roh Kudus. Jika kita mengarah pada Roh Kudus, kedagingan kita akan berteriak karena mengalami penderitaan. Sebagai contoh, kedagingan kita akan berbisik, “Kamu sudah sangat lelah, mari kita lewatkan doa kali ini,” atau “Kamu sudah melayani dengan begitu bersemangat. Mari bersantai sejenak dan minum bir. Ini hanya bir; kamu tidak melakukan kejahatan!”
Kita bukanlah orang pertama yang ditempatkan dalam dilema seperti ini. Bahkan Bapa Orang Beriman pun menghadapi pilihan yang sulit. Secara spesifik, Abraham harus memilih di antara anak-anaknya. Mempertahankan keduanya, baik Ishak – anak yang lahir dari janji – dan juga Ismail – anak yang lahir dari daging – akan menjadi malapetaka. Tidak akan ada kedamaian di dalam rumah tangga Abraham. Oleh karena itu, Allah memerintahkannya untuk mengusir Ismail.
Hari ini, mengusir keinginan daging kita adalah satu-satunya cara, agar kita dapat melepaskan diri dari godaan-godaan dari keinginan daging tersebut. Pada dasarnya, ini adalah peperangan antara hidup dan mati. Jika dikalahkan, kematian – bukan kematian secara tubuh jasmani, namun kematian jiwa kekal kita – adalah suatu kepastian! Mengalahkan keinginan daging kita adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kedamaian, baik tubuh maupun pikiran. Jika kita gagal melepaskan diri, kehidupan sehari-hari kita akan menjadi lingkaran setan dari kelemahan-dosa-pertobatan-kelemahan.
“Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup.” (Rom 8:13)
Pertobatan sejati sangatlah penting. Kita dapat berdoa memohon pengampunan setiap kali kita berbuat dosa. Tetapi, apakah hati kita benar-benar tulus dalam pertobatan ini? Pertobatan sejati membutuhkan kita untuk berbalik dari pelanggaran kita. Namun, seringkali kita tidak berani berjanji kepada Tuhan bahwa kita tidak akan mengulangi dosa. Dan pada kenyataannya, kita menyadari bahwa kelemahan kita akan muncul kembali, karena kita merasa tidak mampu melepaskan diri dari belenggu keinginan daging. Kita merdeka, namun terbelenggu kembali. Karena itu, asalkan kita mau berjuang memperbaikinya, kita pasti akan dapat melakukannya dan meraih tujuan mulia yang telah ditetapkan Tuhan untuk hidup kita. Namun jika kita mengalah pada hawa nafsu, kita akan tenggelam dalam kemerosotan dan berakhir dalam keterpurukan.
“Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan,” (1 Tes 4:3-4).
Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, si bungsu akhirnya hidup dengan babi dan makan makanan babi. Anak yang hilang bukannya lupa bahwa babi adalah binatang haram sesuai iman kepercayaan Yahudinya, atau bahwa tindakan-tindakannya adalah perbuatan dosa. Namun, ia telah melupakan identitasnya sebagai anak bapa – bahwa ia dapat kembali kepada ayahnya apa pun yang terjadi. Pada akhirnya, anak ini sadar dan kembali ke pelukan ayahnya. Seandainya ia mengingat identitas dirinya lebih awal, ia tidak perlu tinggal bersama babi.
Pertanyaan mengenai siapa kita – identitas yang mulia sebagai anak Yang Maha Kuasa – harus selalu terdepan dalam pikiran kita. Mengingat bahwa Tuhan telah menebus tubuh dan jiwa kita dengan harga yang sangat mahal, akan membantu kita mempertahankan kekudusan. Selain itu juga menjaga kita agar tidak mengalah pada keinginan daging dan mencemarkan tubuh kita.
3. Tubuh Dan Jiwa
Dengan standar kehidupan yang meningkat, kita tidak lagi mengkhawatirkan apakah kita punya cukup makanan atau tidak. Sebaliknya, kita lebih memedulikan bagaimana makanan dan minuman ini terhadap kesehatan kita. Kita dengan sadar mengkonsumsi suplemen kesehatan dan berolahraga. Semua hal baik ini kita lakukan untuk menjaga tubuh yang telah diberikan oleh Bapa di Surga kepada kita. Orang-orang yang memperhatikan penampilannya akan bersedia membayar sejumlah besar uang untuk perawatan kosmetik yang dapat menghilangkan kerutan.
Namun, terlepas dari bagaimanapun kita makan makanan sehat, sebanyak apa pun kita berolahraga, atau seberapa pun maju ilmu kedokteran, siapakah yang dapat menambahkan satu hasta pada jalan hidupnya? Siapa yang dapat menghindari kematian? Tidak ada!
Mereka yang hanya memikirkan tubuh jasmaninya adalah orang-orang yang berpikiran pendek. Mereka lupa bahwa di dalam rangka luar yang terlihat, ada jiwa yang tak terlihat – yaitu “Aku”. Bayangkan telepon genggam kita, yang bukan hanya terdiri dari perangkat keras yang terlihat, tetapi juga ada perangkat lunak yang tak terlihat. Perangkat keras akan menjadi usang dan tua. Komponen-komponen yang rusak dapat digantikan. Tetapi, kita juga perlu membarui sistem perangkat lunaknya, untuk menjaga telepon genggam kita tetap berfungsi optimal. Demikian juga, selain menjaga kesehatan tubuh jasmani kita, kita juga harus memastikan bahwa tubuh rohani kita sehat dan kuat (1 Tim 4:8)
“Untuk menentukan apakah kita adalah “penabung” atau “pemboros” secara rohani, bandingkanlah saldo rekening di bank duniawi kita dengan apa yang kita berikan untuk Tuhan.”
Mengapa orang-orang menabung ataupun melakukan investasi jangka panjang? Sebab mereka memiliki keyakinan atau pengharapan akan hari-hari yang akan datang; mereka ingin siap untuk masa depan. Sebaliknya, mereka yang tidak berpikir akan masa depan akan mencari kepuasan instan dan menikmati hidup selama mereka bisa. Sama halnya dengan orang Kristen, mereka mengumpulkan harta di surga karena hati mereka ada di surga, dan mereka lebih menghargai kehidupan kekal di masa mendatang dibandingkan kehidupan sementara mereka di dunia (Mat 6:21). Untuk menentukan apakah kita adalah “penabung” atau “pemboros” secara rohani, bandingkanlah saldo rekening di bank duniawi kita dengan apa yang kita berikan untuk Tuhan. Janganlah hanya menyimpan harta di dunia. Jika tidak, kita akan mencapai surga sebagai orang miskin, dengan kekayaan kita tertinggal di dunia, itu pun kalau kita cukup beruntung dapat masuk ke surga. Sungguh sangatlah tragis jika kita berakhir di neraka, karena kita tidak cukup melakukan investasi surgawi!
Jangan menjadi orang kaya yang bodoh (Luk 12:13-21). Dari sudut pandang dunia yang sementara, orang ini adalah orang sukses. Ia memiliki bisnis yang berkembang pesat dan visi untuk terus meningkatkan toko retailnya. Namun dalam perspektif kerajaan surga yang kekal, ia adalah orang bodoh dan dungu. Meskipun terlihat seperti sedang mempersiapkan jiwanya (ia berkata kepada jiwanya beristirahatlah dan bersenang-senanglah), tetapi sesungguhnya ia sama sekali tidak membuat persiapan untuk kehidupan kekalnya. Yang dibutuhkan oleh jiwa kita bukanlah rasa aman yang diperoleh dari sumber daya jasmaniah. Sebaliknya, yang jiwa kita perlukan adalah berbalik kepada Tuhan.
Kapan kita harus mulai mempersiapkan masa depan jiwa kita? Meminjam ungkapan yang seringkali digunakan oleh perusahaan asuransi: “Mulailah sedini mungkin.” Jangan berkecil hati jika saat ini kita belum melakukannya. Dalam Yohanes pasal 3, Nikodemus – seorang Farisi dan pemimpin Yahudi – datang untuk belajar dari Yesus. Tuhan tidak berpikir bahwa rabi ini sudah terlalu tua atau terlalu dalam mempelajari ajaran Yahudi untuk dilahirkan kembali dan masuk ke dalam kerajaan Allah. Yesus dengan sabar menjelaskan kepadanya rahasia kelahiran kembali secara rohani. Di mata Yesus, tidak pernah ada kata terlambat untuk mempersiapkan diri masuk ke dalam kerajaan surga.
KESIMPULAN
Dalam menjalani hidup, kita harus mengatur identitas ganda kita, jangan sampai lupa siapa diri kita. Siapakah aku ketika ditelanjangi dari kekayaan dunia, status, dan penampilan fisik? Dulu aku seorang yang berdosa, namun Yesus memberikan nyawa-Nya untuk menebus dan mendamaikanku dengan Tuhan. Aku adalah manusia yang masih tunduk pada keinginan daging, namun Yesus mengutus Roh-Nya untuk tinggal di dalamku, untuk membantuku menjadi seorang Kristen yang berkemenangan. Dulu aku mengejar kekayaan materi dengan bodohnya, tetapi sekarang aku mengikuti nasihat Yesus untuk mengumpulkan harta di surga.
Siapakah aku? Mungkin banyak orang tidak mengenalku, tetapi Tuhan mengenalku. Inilah yang paling berharga, meskipun aku hanya terbuat dari debu tanah, tetapi Allah Yang Maha Kuasa mengenal namaku. Seperti ketika Ia memanggil murid-murid yang dipilih-Nya dengan nama, Ia telah mencatat namaku di dalam Kitab Kehidupan. Lebih jauh lagi, jika aku dengan tekun mempersiapkan masa depan jiwaku, ketika gulungan kitab itu terbuka untuk dibacakan, Yesus akan memanggil namaku.