Mengatasi Pencobaan Samar Sebagai Pelajar
Bianca Wong—Newcastle, Inggris
Masa kuliah seringkali menjadi puncak kehidupan sosial kita: kita bertemu dengan orang-orang yang berpikiran sama, memiliki kesukaan dan impian yang serupa, dan kita memiliki banyak waktu serta kesempatan untuk bersosialisasi. Namun, pesona dunia melalui kegiatan sosial yang penuh tipu daya ini telah menjerat banyak orang, mengemas kejahatan dengan begitu rupa untuk memisahkan kita dari Tuhan.
Alkitab mengajarkan bahwa rancangan si Iblis begitu cerdik, terencana, dan dipersonifikasi untuk kita masing-masing (1Ptr. 5:8). Kalau bukan karena perlindungan Allah atas anak-anak-Nya, hal ini sangatlah menakutkan. Sama seperti Paulus, kita masih dapat mengalami kesulitan untuk menghadapi dosa yang terjadi berulang kali, yang seharusnya tidak kita lakukan (Rm. 7:19).
GODAAN UNTUK MENYENANGKAN ORANG LAIN
Seringkali, pencobaan yang tidak kentara-lah yang membuat kita tersandung. Pencobaan seperti ini tidak datang dengan tanda-tanda yang jelas seperti rambu-rambu lalu lintas, karena Iblis memang dengan sengaja membuatnya samar-samar. Pencobaan-pencobaan ini dikemas dengan tampilan yang dianggap normal dan lumrah bagi mahasiswa. Godaan dosa ini nyaris tak terasa, seiring kita perlahan-lahan mengikuti norma duniawi.
Godaan dari tekanan teman sebaya dapat berbentuk lisan, tidak lisan, langsung, maupun tidak langsung. Tetapi apapun bentuknya, godaan selalu memaksa kita untuk mengambil pilihan. Apakah kita mengalah demi menyenangkan orang lain dan keinginan hawa nafsu kita, atau kita taat pada firman Allah?
Saya teringat pada tiga peristiwa yang menantang iman untuk lebih lebih menyenangkan manusia ketimbang Allah, saat saya kuliah di universitas.
1. Godaan untuk Menyenangkan Teman Kita
Keluarga dan saudara-saudari seiman kita seringkali menasihati untuk berinteraksi dengan teman-teman sekelas kuliah demi membuka kesempatan memberitakan Injil. Walaupun ini merupakan alasan yang baik, namun tanpa disadari, dengan keinginan untuk bisa diterima oleh mereka, kita dapat tersedot masuk ke dalam pusaran pergaulan mereka, dan ikut berperilaku seperti mereka.
FOMO: fear of missing out – takut ketinggalan. Kita semua pernah merasakannya. Ini adalah perasaan tidak nyaman saat melihat teman-teman kita menikmati sesuatu tanpa keterlibatan kita. Tetapi rasa tidak nyaman ini akan mereda apabila kita menyadari akan bahaya yang ada di balik kenikmatan aktivitas duniawi yang berdosa, seperti clubbing dan minum minuman keras, atau ketika kita mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan perintah Allah, seperti melewatkan kebaktian di hari Sabat.
Masyarakat modern saat ini membuat kita lebih mudah untuk mengatakan tidak, karena dunia semakin menghargai identitas pribadi, individualisme, nilai, dan keyakinan pribadi. Kebutuhan untuk diterima dalam lingkaran pergaulan saat ini bukanlah hal yang ‘kekinian’.
Walaupun demikian, pencobaan yang samar dan tidak langsung lebih sulit dideteksi dan ditolak. Kita mungkin tidak menyadari bahwa kita sedang dicobai, dan baru menyadarinya setelah kita jatuh ke dalam dosa, di mana keadaan hati dan iman kita terungkap. Misalnya, kita dapat masuk ke dalam perbincangan untuk mengkritik dosen dan teman kita, atau mengeluhkan tugas dan penilaian. Kita bahkan dapat dengan sengaja mendukungnya demi lebih dikenal dan mendapatkan teman-teman.
Tekanan sebaya secara tidak langsung dapat menggoda kita untuk mengikuti perilaku buruk yang dilakukan orang lain. Di permukaan, tampaknya tidak berpengaruh pada keselamatan kita, tetapi perkataan yang kita ucapkan mencerminkan keadaan hati kita.
“Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.” (Luk. 6:45)
2. Godaan untuk Menyenangkan Diri Sendiri
Kita hidup di dunia yang memakan sesamanya. Termasuk di dalamnya universitas. Universitas adalah institusi yang membakar kita dengan prospek untuk berkembang, mengangkat ambisi siswa-siswanya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Kita tahu dengan kerja keras kita dalam pendidikan dan pekerjaan duniawi, kita akan menikmati hasil jerih lelah yang Tuhan anugerahkan kepada kita (Pkh. 5:18-20, 9:10). Petrus juga mengingatkan untuk taat pada orang yang berkuasa atas diri kita (1Ptr. 2:18). Kita harus dengan tekun melakukan tanggung jawab kita sebagai mahasiswa, dengan menyelesaikan tugas-tugas, menghadiri kelas, dan mengikuti bimbingan dosen kita. Namun dalam lingkungan yang kompetitif ini, kita dengan mudah akan tergiur untuk mengejar impian kita dan mengabaikan perkara-perkara surgawi, apalagi ketika kita membandingkan usaha-usaha dan pencapaian pendidikan kita dengan orang-orang tidak percaya.
Menjadi yang terbaik, diakui, dan menemukan jalan tercepat menuju keberhasilan, adalah impian yang umumnya ingin dikejar oleh mahasiswa. Tetapi, semuanya ini berakar dari keinginan untuk memuaskan kepentingan diri sendiri. Tidak ada yang salah dengan kita berusaha sebaik mungkin, mengembangkan diri, dan melayani tuan-tuan kita di dunia, tetapi pola pikir yang kompetitif ini dapat membuat kita merasa tidak puas, karena yang kita utamakan adalah diri kita sendiri.
Rasa tidak puas ini dapat mengarahkan kita untuk mengabaikan pentingnya memegang perintah Allah dan prinsip-prinsip kebenaran, yang lebih mudah untuk kita korbankan. Saat membandingkan diri dengan orang yang tidak memegang prinsip-prinsip ini, perasaan FOMO semakin menyengat dan sulit dipikul. Misalnya, kita dapat mengabaikan hari Sabat dan persekutuan untuk lebih banyak belajar, memperoleh kredit kuliah yang lebih banyak, demi menjadi yang terdepan di kelas.
Godaan untuk menyenangkan diri sendiri ini akan mengaburkan standar Allah dan menyorot diri kita sendiri.
3. Godaan untuk Menyenangkan Dosen
Masyarakat mendorong sikap inklusif atas segala keyakinan dan identitas, termasuk hak-hak LBGTQ, prinsip-prinsip agama, dan identitas gender. Walaupun ini dapat menguntungkan kita dalam memberitakan Injil dan beribadah, tetapi juga memiliki dampak yang besar terhadap iman kita.
Sebagai orang Kristen, kita perlu mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah untuk tunduk pada tuan-tuan kita di dunia. Tetapi ketika dosen atau orang yang berkuasa mendesak kita untuk melakukan apa yang berlawanan dengan kebenaran, seperti mengikuti hari raya penyembahan berhala atau acara-acara bertemakan LBGTQ, kita dihadapkan pada pencobaan untuk menyenangkan mereka ketimbang menyenangkan Allah.
Saya mengalami pencobaan ini pada tahun terakhir kuliah. Seluruh mahasiswa sedang menggalang dana untuk pagelaran desain pasca-sarjana tahunan yang bergengsi di London. Acara yang paling membutuhkan dana adalah pesta Natal, yang diadakan pada pekan terakhir sebelum liburan musim dingin. Walaupun saya tidak terlibat dalam proses perencanaannya, usaha saya untuk menghindar dari acara ini akhirnya terendus. Teman-teman saya tidak terkejut karena memang saya tidak pernah hadir pada pesta Natal tahun-tahun sebelumnya. Walaupun mereka terus mengajak saya, saya tidak ingin mengubah keputusan saya.
Tetapi pada hari acara, dosen mendekati saya dan bertanya apakah saya akan menghadiri pesta. Kali ini, saya merasakan tekanan langsung. Ketika saya berkata bahwa saya tidak akan datang, ia bertanya mengapa. Saya tidak cukup berani untuk menjelaskan pendirian Kristen saya; sebaliknya, saya menjawab bahwa saya bukan tipe orang yang suka pergi ke acara-acara sosial, sembari berharap pembicaraan segera beralih ke topik lain.
Saya teringat pada ekspresi kecewa di wajahnya sembari ia berkata, “Kamu seharusnya ikut menggalang dana untuk angkatanmu, dan seharusnya kamu menjadi bagian dalam tim. Dari semua orang, saya berharap kamu akan datang.”
Saya benar-benar merasakan tekanan untuk menyenangkan dosen dan pergi ke pesta itu. Saya memikirkan bagaimana caranya dapat mengikuti pesta itu, tanpa diketahui oleh saudara-saudari seiman: saya hanya akan menunjukkan muka, menyapa semua orang di sana, dan segera pergi; atau sekedar membeli tiket tanpa harus pergi. Saya tergoyahkan dan menjawab akan mempertimbangkannya. Akhirnya, saya tidak pergi ke pesta Natal itu, tetapi saya merasa bersalah telah mengkompromikan iman saya dan mengecewakan Allah.
BAGAIMANA CARANYA MENGHADAPI GODAAN YANG SAMAR?
Iblis menampilkan godaan yang samar ini sebagai perilaku masyarakat dan pendidikan yang ‘normal’, namun dapat menyerongkan pikiran kita, dan menumpulkan kepekaan kita terhadap dosa. Karena itu, kita harus bersih terhadap segala yang jahat (Rm. 16:19).
Langkah pertamanya adalah mengenali dengan benar apa itu kejahatan. Karena Allah adalah baik, maka sangatlah tepat jika kita bertanya kepada-Nya untuk lebih jelasnya.
“Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.” (Ibr. 5:13-14)
Hanya dengan firman Allah, kita dapat mencapai kedewasaan rohani, mampu menggunakan pancaindera kita untuk membedakan yang baik dan yang jahat. Ini bisa kita dapatkan dengan membangun kebiasaan membaca Alkitab yang baik dan teratur.
Kita sering diingatkan bahwa membaca Alkitab sangatlah penting, karena tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk mengetahui apa yang jahat di mata Tuhan. Sama seperti membaca buku manual, kita mempelajari apa yang perlu kita lakukan, menemukan jawaban atas permasalahan, dan terpenting, mengetahui apa yang berbahaya (2Tim. 3:16). Kalau kita mengabaikan firman Allah, ini seperti mengesampingkan buku manual; kita menjadi rentan terhadap bahaya, kegagalan, dan permasalahan jangka panjang.
Untuk tetap berada dalam perlindungan Allah, kita harus mendekat pada firman-Nya, sehingga dapat mengungkapkan kejahatan yang menggoda kita. Kita harus menerapkan prinsip-prinsip Allah dalam kehidupan kita, dengan membangun kebiasaan yang baik, dan mengizinkan firman-Nya menuntun kita dalam mengambil keputusan. Maka kita dapat menghindari segala rupa kejahatan (1Tes. 5:22) dan tetap berada dalam pemeliharaan Allah.
BAGAIMANA CARA MORDEKHAI MENGHADAPI TEKANAN SEBAYA?
Seperti kita sekarang ini, Mordekai dikelilingi oleh orang-orang yang tidak memegang kebenaran, menekan dirinya untuk melawan firman Allah. Mordekhai memahami dan menunjukkan pentingnya kesetiaan terhadap prinsip-prinsip Allah, walaupun menghadapi tekanan sebaya dari para pegawai raja, karena tidak mau menunduk pada Haman (Est. 3:1-3)
Dalam Ester 3, Mordekhai melakukan tiga hal untuk dapat melawan tekanan dari rekan-rekannya. Dengan mempelajari tindakan Mordekhai, kita dapat belajar bagaimana tetap berada dalam perlindungan Allah dan mengalahkan godaan.
1. Tolak Dengan Tegas Sedari Awal
“Dan semua pegawai raja yang di pintu gerbang istana raja berlutut dan sujud kepada Haman, sebab demikianlah diperintahkan raja tentang dia, tetapi Mordekhai tidak berlutut dan tidak sujud.” (Est. 3:2)
Ketika kita menghadapi godaan, belajarlah untuk sesegera mungkin mengatakan tidak. Apabila kita menundanya, kita membuka ruang untuk pemikiran yang tidak perlu, sehingga mengompromikan iman kita. Karena keinginan daging berperang melawan keinginan roh, kita harus segera memilih untuk berjalan dalam Roh, yang akan menguatkan kita mengalahkan godaan yang samar ini (1Ptr. 2:11; Gal. 5:16).
2. Terus Bersikeras Menolaknya
“Maka para pegawai raja yang di pintu gerbang istana raja berkata kepada Mordekhai: “Mengapa engkau melanggar perintah raja?” Setelah mereka menegor dia berhari-hari dengan tidak didengarkannya juga, maka hal itu diberitahukan merekalah kepada Haman untuk melihat, apakah sikap Mordekhai itu dapat tetap.” (Est. 3:3-4a)
Kedua, kita harus terus bertahan dalam pendirian kita, dengan berpegang pada kebenaran. Iblis tidak akan menunggu dan akan terus menggoda kita setiap hari, ke mana pun kita pergi. Jadi kita harus terus menerus bersikeras dan menolak untuk tunduk pada tekanan teman sebaya, dan dengan seksama berusaha untuk menyenangkan Allah. Berimanlah pada janji Allah, yang akan membalas setiap orang yang bertahan dalam pencobaan, dengan mahkota kehidupan (Yak. 1:12).
3. Menjelaskan Alasannya
“Sebab ia telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia orang Yahudi.. tetapi ia (Haman) menganggap dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah memberitahukan kepadanya kebangsaan Mordekhai itu. Jadi Haman mencari ikhtiar memunahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh kerajaan Ahasyweros.” (Est. 3:4b, 6)
Ketiga, Mordekhai menjelaskan mengapa ia tidak mau tunduk kepada Haman. Ketika kita menjelaskan prinsip-prinsip Kristen kepada orang lain, kita memperkenalkan Allah dan prinsip-prinsip-Nya kepada manusia (Mzm. 40:9-10). Ketika rekan-rekan dapat menerima kita dan pilihan yang kita ambil, oleh anugerah Allah, kita dapat memberikan pengaruh positif bagi mereka, sehingga mereka juga dapat hidup benar di hadapan Allah.
Kita tahu bahwa Mordekhai diancam hukuman mati, dengan pemusnahan seluruh orang Yahudi. Begitu juga, ketika kita berpegang teguh pada iman, kita dapat menghadapi berbagai kesulitan, seperti penghinaan, dikucilkan, kehilangan kesempatan, atau bahkan mendapat tekanan yang lebih besar. Mungkin tampaknya berpegang pada firman Allah tidak setimpal dengan penderitaan yang harus kita tanggung.
Tetapi ingatlah, Allah melindungi Mordekhai, menyelamatkan orang Yahudi, dan mengalahkan musuh-musuh mereka. Marilah kita memandang lebih jauh, melampaui perasaan kita dan keadaan lahiriah kita yang sementara, dan pandanglah akan kemuliaan hidup kekal dan damai sejahtera, karena melakukan apa yang baik (Rm. 2:7, 10).
KESIMPULAN
Sebagai mahasiswa, kita perlu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Allah, karena rupa-rupa godaan yang samar dapat berdampak besar pada kehidupan rohani kita. Saat berada di puncak kehidupan sosial, kita akan terus diperhadapkan pada pilihan: apakah kita mau menyenangkan orang lain, menyenangkan hawa nafsu kita, atau menyenangkan Allah. Untuk memutuskannya, kita harus berpikir secara jernih dan mengenali apa yang jahat, dengan cara mendekatkan diri pada firman Allah.
Selain itu, ambillah langkah aktif seperti yang dilakukan Mordekhai. Walaupun tampaknya kita rugi ataupun menghadapi lebih banyak tantangan, berimanlah bahwa keputusan untuk menyenangkan Allah dan berpegang pada perintah-Nya akan membuahkan upah jangka panjang: keselamatan.