Tuhan Membimbing Langkah Kita
(Kumpulan Kesaksian Pemuda Gereja Yesus Sejati)
Kasih-Nya Mengangkatku
Lin Xin Chen – Singapura
Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, saya bersaksi. Saya adalah generasi kedua yang menjadi jemaat Gereja Yesus Sejati, jadi saya besar dalam gereja. Saya rajin mengikuti kebaktian di gereja dan juga kelas pendidikan agama sejak kecil. Namun iman saya belumlah bersifat pribadi, karena saya hanya mengikuti ibu saya ke gereja.
Penurunan
Iman saya berangsur-angsur menurun ketika saya berada di sekolah menengah. Saya terus melanjutkan rutinitas pergi ke gereja pada hari Sabat dan segera pulang setelah mengikuti kelas pendidikan agama. Ada kalanya saya bahkan tidak ingat judul khotbah yang disampaikan. Seiring bertambahnya usia, saya semakin menyadari diri saya di gereja—saya merasa kesepian dan takut untuk bergaul dengan teman-teman sebaya. Saya kuatir tentang apa yang orang akan pikirkan tentang diri saya. Saya tidak mengerti mengapa saya begitu sulit mendapatkan teman di gereja. Padahal, saya memiliki begitu banyak teman baik di luar gereja.
Akhirnya, saya tidak lagi mengikuti kelas pendidikan agama selama kira-kira tiga tahun dan juga tidak mengikuti acara bina iman ataupun kelas pemahaman Alkitab. Selama bertahun-tahun, banyak saudara di gereja mendorong saya kembali aktif di gereja, tetapi tidak ada hasilnya. Hati saya mengeras, dan saya merasa bahwa iman tidaklah begitu ada nilainya.
Selama masa-masa ini, saya terpengaruh beberapa kebiasaan buruk dari teman-teman di luar gereja. Mereka adalah orang-orang baik, tetapi perilaku mereka sangatlah duniawi — mereka tanpa berpikir dua kali melontarkan lelucon kotor, dan juga mendengarkan musik yang penuh dengan kata-kata vulgar. Terpengaruh hal ini, saya pun terbiasa menggunakan kata-kata dan gerakan tangan yang vulgar. Dengan saya semakin terikat dengan teman-teman, saya semakin menjauh dari Tuhan.
Di rumah, saya tidak lagi membaca Alkitab ataupun menyanyikan lagu pujian. Saya hanya berdoa sekali dalam sehari, dan doa itu pun hanya berlangsung kurang dari satu menit. Ketika terlalu lelah, saya hanya akan mengucapkan satu baris doa, seperti: “Ya Tuhan, tolong bantu saya untuk tidur nyenyak. Amin.” Saya tersesat dalam iman saya, seperti yang digambarkan dalam lagu KR 343 – Kasihnya Mengangkatku [1]:
Tenggelam dalam dosa,
Ku jauh dari damai,
Amat dalam terpuruk,
Tiada harapan.
Meskipun saya masih mengikuti kebaktian Sabat di gereja, saya tetap terikat dengan dunia. Secara fisik saya berada di gereja, tetapi hati saya tidak merespon terhadap firman Tuhan. Saya sadar bahwa tindakan saya kurang berkenan di mata Tuhan, tetapi saya berada di bawah belenggu dosa, dan tidak tahu bagaimana mengubahnya.
Tidak mengherankan, saya tidak mau menghadiri Kursus Pelatihan Teologi Siswa (STTC), sebuah kursus Alkitab yang diadakan setiap tahunnya selama tiga pekan bagi siswa berusia 14 hingga 16 tahun. Saya memberikan berbagai alasan untuk tidak mengikuti kursus itu saat berusia 14 dan 15 tahun. Pada tahun 2016, saudara-saudara di gereja lebih gigih dan persuasif mengajak saya, tetapi saya tetap bersikeras. Namun, setelah didorong oleh seorang diakenis, ibu saya mendaftarkan saya untuk kursus itu tanpa persetujuan saya. Saya tidak tahu bahwa kursus itu kemudian akan mengubah hidup saya sepenuhnya.
Titik Balik
Tahun pertama saya di STTC adalah titik balik iman saya. Saya terpaksa hadir, dan saya harus berada di sana selama 21 hari, suka atau tidak suka. Membuat saya mulai berpikir untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan mulai mengerjakan iman saya. Selama beberapa hari pertama, saya merasa tidak nyaman berada pada tempat yang tidak semestinya. Hal itu menyiksa, karena saya tidak punya teman dan tidak terbiasa dengan “kehidupan kudus” ini. Namun, ketika saya kembali ke titik awal dan mulai belajar tentang firman Tuhan lagi, rasanya seperti saya mulai mengenal Tuhan untuk pertama kalinya dalam 16 tahun hidup saya.
Perlahan tapi pasti, Tuhan bekerja dalam diri saya. Saya merenungkan perilaku saya dan mulai berdoa mohon pengampunan Tuhan. Saya memohon kepada-Nya untuk mengasihani saya, karena saya tidak tahu apa-apa dan hanya tahu sedikit tentang Dia. Saya merasa sangat malu karena saya begitu berdosa, dan saya tidak berani menghadap hadirat-Nya. Saya mulai memeriksa kembali iman saya, menyadari betapa buruknya keadaan saya selama ini. Saya tahu bahwa saya perlu berdoa memohon Roh Kudus, tetapi hal ini terasa asing bagi saya, karena saya tidak lagi melakukannya setidaknya selama tiga tahun.
Ketika berdoa, saya bertanya kepada Tuhan, yang telah diajarkan untuk saya sembah sejak kecil, tentang siapakah Dia. Melalui kelas Doktrin Alkitab Dasar, saya menyadari bahwa saya harus menjadi seperti Allah dan memiliki sifat-sifat-Nya, seperti kekudusan, kerendahan hati, dan kasih (1Ptr. 1:15-16; Yak. 4:10;
Hari-hari berlalu, dan semakin saya memikirkan dosa-dosa saya, membuat hati saya semakin menyesal. Saya menyesal telah menyebut nama Tuhan dengan sia-sia, juga mengambil kemuliaan bagi diri saya sendiri. Sebagai contoh, saya cukup baik dalam pendidikan saya dan merasa bersyukur kerja keras saya membuahkan hasil. Saya tidak mengerti mengapa saya harus memuliakan Tuhan. Saya membenarkan diri dengan menunjukkan bahwa sayalah yang belajar untuk ujian: jika saya tidak bekerja keras, bagaimana saya dapat mencapai prestasi yang baik?
Namun, apa yang dikatakan seorang pendeta di kelas benar-benar mengejutkan. Mengutip Mazmur 127:1-2, dia berkata, “Jika Tuhan tidak mengizinkan sesuatu terjadi, itu tidak akan terjadi.” Ini adalah konsep yang sederhana, tetapi keangkuhan telah membutakan saya. Saya menyadari bahwa segala sesuatunya mungkin tidak akan berjalan begitu lancar, jika bukan karena kehendak dan penyertaan Tuhan. Tuhan tidak berkenan apabila manusia membesarkan dirinya. Jadi saya memohon pengampunan Tuhan. Pada saat itu, saya merasakan betapa pentingnya untuk menerima Roh Kudus sesegera mungkin.
Saya terus-menerus berkata kepada Tuhan dalam doa, bahwa saya benar-benar ingin berubah menjadi lebih baik, dan meninggalkan diri saya yang lama. Namun, saya merasa tidak percaya diri, dan kuatir setelah STTC saya kembali ke cara hidup yang lama, dan bahkan lebih jauh lagi menjauh dari gereja. Oleh karena itu, saya benar-benar membutuhkan Roh Kudus berdiam dalam diri saya, untuk membantu saya berubah. Saya tahu bahwa saya hanyalah seorang manusia, dan memiliki banyak kelemahan yang tidak sanggup saya atasi. Saya berkata kepada Tuhan bahwa saya bersedia untuk menyerahkan keangkuhan dan kelemahan saya di hadapan-Nya. Saya berdoa dan berpuasa karena benar-benar rindu mendapatkan Roh Kudus.
Meskipun saya berdoa dengan sungguh-sungguh, saya tidak merasakan peningkatan. Saya mulai lelah. Saya mulai bertanya kepada Tuhan dan meragukan apakah Dia mendengarkan doa saya. Namun, sebagian dari diri saya tahu bahwa Tuhan sedang menguji iman saya, untuk melihat apakah saya cukup kuat untuk bertahan. Saya berpikir, jika saya tidak bertahan, bagaimana Tuhan akan memberi saya Roh Kudus? Setelah itu, dalam setiap doa, saya mengantisipasi bahwa Tuhan akan memberikan Roh Kudus-Nya. Saya mengingatkan diri saya untuk tidak pernah meragukan Tuhan, sebaliknya percaya bahwa Dia pasti akan memberikan saya Roh Kudus yang dijanjikan-Nya.
Penerimaan Tuhan
Puji Tuhan, saya adalah orang pertama di STTC saat itu yang menerima Roh Kudus. Setelah dikonfirmasi oleh para pendeta, saya merasakan sukacita yang luar biasa di hati saya. Tuhan telah mendengar tangisan permohonan saya dan menjawab doa-doa saya. Saya hampir tidak bisa tidur malam itu, merenungkan bahwa Tuhan tidak pernah menyerah pada saya, dan Dia bersedia menerima saya sekali lagi.
Setelah pengalaman ini, saya dapat lebih memahami pesan Paulus ketika dia menulis: “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.” (1Tim. 1:15b) Saya benar-benar merasakan sukacita dan karya Tuhan yang mengubah hidup saya.
Lima tahun kemudian, saya dengan aktif melayani di gereja. Ketika saya menceritakan kisah saya kepada orang lain, mereka tidak percaya bahwa saya adalah seorang pemberontak di sekolah menengah. Sekarang saya telah menjadi orang yang sama sekali berbeda. Kalau dipikir-pikir, jika saya tidak menghadiri STTC, mungkin saya tidak akan berada di rumah Tuhan pada hari ini. Terima kasih Tuhan untuk saudara-saudara yang berdiri di samping saya, dan mendorong saya berulang kali meskipun saya menolak mereka dari waktu ke waktu. Memang, ketika sepertinya tidak ada yang dapat membantu, kasih Tuhan-lah yang menjamah dan mengangkat saya.
Tuhan telah mengubah saya, seorang pendosa besar, kembali kepada-Nya. Jadi, selama kita tidak menyerah pada diri kita sendiri, Tuhan pun tidak akan menyerah atas kita. Apakah ada sesuatu di dalam diri kita yang menghalangi kita untuk menaati firman Tuhan, atau mencegah Dia masuk ke dalam hati kita? Bagi kita yang telah menerima Roh Kudus, apakah kita telah mengizinkan Dia untuk mengubah kita? Mari kita terus berpegang pada Tuhan dan janji-Nya.
Kiranya segala kemuliaan bagi nama Tuhan! Amin.
Berakar dan Bertumbuh: Memahami Rencana Tuhan
Jonathon Ho—Elgin, Inggris
Haleluya, dalam nama Tuhan Yesus Kristus, saya bersaksi. Kiranya segala kemuliaan bagi nama-Nya, dan kiranya Dia dimuliakan melalui kesaksian saya.
Sebagai pemuda di zaman modern, rasanya sulit untuk menjadi seorang yang taat. Di kalangan yang lebih luas, banyak orang tidak lagi menaati otoritas, melakukan protes, dan menyampaikan pendapatnya dengan lebih vokal. Di gereja, pengaruh luar seperti ini dapat mempengaruhi kita untuk mengikuti jalan perlawanan yang sama.
Akan tetapi, kita harus ingat bahwa ketaatan kepada Tuhan dan juga pemerintah akan membuat kita tetap kuat berakar dan bertumbuh seperti apa yang Tuhan inginkan. Ketaatan kepada orang tua juga merupakan hal yang penting, karena Tuhan memerintahkan kita untuk berbuat demikian (Kol. 3:20). Ketaatan kepada pemerintah memastikan agar kita tidak menyimpang dan merusak diri kita sendiri secara moral (Rm. 13:2).
Tuhan memberkati saya melewati berbagai tahapan dalam hidup saya, tetapi ada dua episode dalam perjalanan iman saya, yang saya rasakan paling berarti. Hal ini menjadi pengingat terbesar bagi saya untuk tetap taat dan berakar pada Tuhan, dan bertumbuh dalam iman.
EPISODE 1: PEKERJAAN PERTAMA SAYA
Setelah lulus dari universitas, saya berusaha keras mencari pekerjaan. Memperoleh pekerjaan adalah hal yang penting bagi saya dan juga orang tua saya. Bersyukur karena berkat Tuhan, tidak sampai satu tahun saya bisa mendapatkan pekerjaan yang letaknya dekat rumah saya dan juga sesuai dengan bidang studi saya. Saya bisa tetap tinggal di rumah dan membantu bisnis keluarga serta membantu pelayanan di gereja lokal.
Selama beberapa minggu pertama setelah saya masuk kerja, semua nampak baik-baik saja. Karena pekerjaan itu tidak sulit, juga tidak memakan banyak waktu. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di internet. Saya pikir hal ini tidak masalah, karena saya selalu mendahulukan untuk menyelesaikan tugas saya terlebih dahulu. Satu ketika, saya dipanggil ke kantor manajer, di mana dia mencetak setiap halaman dari riwayat internet saya. Saya terkejut menyadari diri saya masuk dalam proses disipliner, karena produktivitas saya yang rendah. Pertemuan kedua segera menyusul, ketika upaya saya untuk meningkatkan kinerja dianggap tidak memuaskan.
Keesokan harinya, saya masih belum pulih dari peristiwa ini, ketika manajer datang ke kantor, ia memerintahkan saya untuk mengambil barang-barang, dan menggiring saya keluar dari gedung. Perjalanan pulang sangat menyakitkan dan penuh air mata. Saya tidak pernah merasa begitu dipermalukan. Rasanya seperti sedang menonton adegan film secara langsung—saya hampir tidak percaya hal ini terjadi pada saya. Pikiran saya dipenuhi perasaan gagal dan juga pemikiran akan betapa kecewanya orang tua saya.
Memahami Kesalahan Saya
Setelah peristiwa ini, saya menjadi kesal kepada Tuhan. Dia telah memberkati saya dengan pekerjaan yang saya harapkan, tetapi kemudian tiba-tiba pekerjaan itu diambil, dan dengan cara yang paling memalukan. Begitu mudahnya bagi saya untuk menyalahkan Tuhan dan bertanya kepada-Nya, “Mengapa Engkau melakukan hal ini pada saya?” atau “Apa yang telah saya lakukan sehingga saya mendapatkan hal ini?”
Setelah merenungkan apa yang terjadi, saya mengerti di mana salahnya. Saya diberkati melampaui pemahaman saya, tetapi saya melupakan satu hal: Tuhan. Rasa puas akan pencapaian diri sendiri adalah hal yang berbahaya. Perasaan ini memberikan rasa aman yang menghanyutkan, membuat kita begitu mudahnya disesatkan. Kita mengabaikan berkat Tuhan dan lupa bersyukur atas penyertaan-Nya. Bahkan, kita dapat mengira bahwa semua yang kita peroleh adalah karena usaha kita sendiri. Saya bersyukur kepada Tuhan bahwa pemikiran ini hanya bertahan sebentar saja. Jika saja saya memiliki akar yang kuat, saya akan mengingat pemeliharaan Tuhan dan memberi kemuliaan dan pujian yang layak Dia terima setiap hari.
Saya akui, saya dipecat karena kesalahan saya. Saya menerima posisi ini dengan mudahnya dan juga mengharapkan perjalanan yang mudah. Sikap nyaman dan berpuas diri ini bukanlah yang Tuhan inginkan dari saya. Membuat manajer saya curiga terhadap saya, menciptakan lingkungan kerja yang beracun, di mana orang-orang membicarakan saya dan beranggapan bahwa saya mengambil keuntungan dari mereka. Yang memalukan, dengan kebaikan yang mereka berikan, saya menyalahgunakannya sehingga mereka tidak lagi percaya pada saya.
Meskipun pekerjaan ini adalah berkat dari Tuhan, bukan berarti saya boleh berbuat apa saja. Saya diingatkan bahwa Tuhan akan menindak atas perilaku saya yang buruk. Pelajaran terpenting bagi saya adalah menerima pukulan-Nya.
EPISODE 2: DIPERKENALKAN KEPADA SEORANG SAUDARI
Baru-baru ini, saya didekati seorang pendeta yang ingin memperkenalkan saya kepada seorang saudari untuk menikah. Saya tidak pernah secara aktif mencari pasangan dari saudari seiman, jadi saya bersyukur kepada Tuhan atas pemeliharaan dan berkat-Nya kepada saya melalui kesempatan ini.
Ketika saya menyampaikan berita itu kepada orang tua saya, mereka sangat gembira. Mereka bukan tipe orang yang secara blak-blakan menunjukkan kesenangan dan persetujuan mereka, tetapi saya tahu mereka senang dan gembira melalui kata-kata dan sikap mereka yang lembut. Mereka terus mendorong saya untuk mendoakan hal ini, dan juga menceritakan apa yang mereka harapkan dari calon pasangan saya —bahwa dia jemaat Gereja Yesus Sejati dari Inggris. Syarat ini terpenuhi.
Selama menjalin hubungan, saya selalu berpegang pada pemikiran bahwa Tuhan telah memberikan kesempatan ini, maka saya harus melakukan yang terbaik agar tidak menyia-nyiakannya. Namun, banyak hal tidak berjalan sesuai rencana, dan dalam waktu satu tahun, kami mengakhiri hubungan kami secara damai, tanpa perasaan dendam.
Mempertanyakan Tuhan
Saya tidak pernah menjadi orang yang mengalami depresi dan putus asa—saya selalu berusaha berpikir positif dan tidak membiarkan perasaan negatif muncul. Tetapi kali ini, saya bertanya kepada Tuhan dalam doa: “Mengapa Engkau membiarkan ini terjadi? Saya telah mengikuti jalan-Mu dan berusaha menghormati dan menghargai kesempatan yang telah Engkau berikan kepada saya. Saya juga telah berdoa agar semua ini berhasil, tetapi mengapa ini terjadi?” Saya bingung: jika Tuhan telah membimbing saya selama ini, mengapa Dia membiarkan hal ini terjadi?
Apa yang Ditanamkan Orang Tua dalam Diri Saya
Orang tua saya pendiam, dan saya bersyukur mereka selalu tenang. Mereka menunjukkan kedamaian dan kelembutan dalam perkataan mereka, tidak pernah menghukum atau mempermalukan saya atas apa yang telah saya lakukan. Mereka selalu memberi saya dorongan yang sama setiap kali saya menghadapi kemunduran: “Tuhan akan membimbingmu; teruslah berdoa kepada-Nya!” Kedengarannya klise, dan inilah yang terus mereka katakan. Tetapi, memang doalah yang dapat membantu kita.
Kita sering mengira bahwa kita tahu apa yang terbaik bagi diri kita, dan ketika rencana kita gagal, kita menjadi kesal dan marah kepada Tuhan. Hal ini menjadi lebih sulit diterima, karena kita sadar bahwa berkat-berkat ini adalah dari Allah. Kita tergoda untuk dengan mudahnya menyalahkan Tuhan.
Namun, orang tua saya telah menanamkan semangat ini dalam iman saya: ingatlah bahwa Tuhan memiliki rencana-Nya bagi kita—termasuk kesulitan dan kekecewaan. Mereka juga menunjukkan kepedulian pada iman saya melalui mezbah keluarga, dengan sering memberikan dorongan, dan doa. Mereka sering berdoa kepada Tuhan agar iman saya tetap teguh dan kokoh.
Mirip dengan pengalaman yang pertama, saya merasa puas diri setelah dijodohkan dengan seorang saudari. Saya dengan mudahnya mendapatkan hubungan ini, dan saya keliru berpikir bahwa semua hal di depan saya sudah beres. Untuk bisa berhasil, kita perlu doa dan ketaatan kepada Allah. Saya kurang rendah hati dan taat pada Tuhan, dan inilah yang mungkin menjadi faktor penentu berakhirnya hubungan saya.
Tantangan yang Dihadapi Paulus
Perjuangan saya mengingatkan pada duri dalam daging Paulus (2Kor. 12:7). Bahkan sebagai hamba Tuhan yang kuat, Paulus masih rentan terhadap kelemahan dan tantangan. Dan dia pun perlu memohon pertolongan Tuhan untuk hal ini. Tiga kali Paulus berdoa, tetapi apakah Tuhan mengangkat “utusan Iblis” ini? Tidak. Sebaliknya, Tuhan mengingatkan Paulus:
“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2Kor. 12:9a)
Paulus menyadari bahwa kekuatan dan imannya akan semakin disempurnakan melalui kelemahannya ini. Tuhan bisa saja mengabulkan permohonan Paulus untuk mencabut durinya dan membiarkannya melakukan pelayanan tanpa rasa sakit. Tetapi menanggung rasa sakit dan mengalahkan rintangan jauh lebih bermanfaat bagi iman Paulus. Paulus bisa saja menjadi kecewa dan marah kepada Tuhan; dia bisa saja meninggalkan pelayanan dan membenci Tuhan. Namun, Paulus tetap teguh pada imannya. Dia memahami maksud di balik penderitaannya.
Ketika mengikut Tuhan, kita mungkin merasa bahwa iman kita kuat. Kita juga mungkin merasa bahwa iman kita berakar kuat dan terus bertumbuh. Namun sesungguhnya, ketika kita menghadapi tantangan dan pergumulan hebat, saat itulah kita dapat benar-benar melihat seberapa teguhnya iman kita, dan di mana letak kelemahan kita.
Pola pikir Paulus berubah, dari kesalahpahaman menjadi pemahaman yang lengkap mengapa dia mengalami tantangan ini. Bukannya mengkritik Tuhan karena jawaban yang berbeda dengan apa yang ia harapkan, Paulus memahami bahwa inilah cara yang sempurna untuk selalu mengingatkan dirinya bahwa Tuhan akan menguatkan dirinya melewati masa-masa sulit itu. Hal ini akan semakin menguatkannya.
MENERAPKAN DALAM HIDUP
Bercermin pada dua pengalaman ini, saya memahami mengapa Tuhan menempatkan saya dalam situasi ini. Rasa puas diri telah meresap dalam hidup ini dan membuat saya seakan-akan merasa aman. Saya masih kurang dalam pelayanan dan sikap saya, saya menempatkan Tuhan di kursi belakang saat saya menjalani hidup, dan saya pun memandang ringan berkat-berkat-Nya. Tuhan memiliki cara khusus untuk mengingatkan iman kita agar terus mencari dan menyenangkan Dia. Dia menggunakan berbagai cara untuk mengingatkan jika kita menyimpang atau membuat-Nya marah, baik dengan cara yang lembut ataupun dengan morning-call yang keras dan tiba-tiba.
Mengalami masa-masa sulit, menyalahkan Tuhan adalah pilihan termudah. Kita dapat merasa marah, cemas, dan kecewa pada Tuhan karena apa yang telah kita alami. Kita akan mempertanyakan maksud dan rencana Tuhan, mencari jalan keluar atas penderitaan, tetapi melupakan penyebab mengapa kita mengalami pencobaan seperti itu: Tuhan ingin agar kita berpaling kepada-Nya dan meminta pertolongan-Nya. Inilah salah satu cara Tuhan memperingatkan kita agar tidak mengabaikan kasih karunia dan belas kasihan-Nya. Dia ingin agar kita taat kepada-Nya dan menemukan sukacita serta pemahaman yang lebih baik ketika kesulitan muncul. Dalam kelemahan, kita akan dikuatkan.
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yer. 29:11)
Ayat ini mengingatkan bahwa Tuhan tidak sedang bermain-main dengan kita ketika masalah muncul, atau ketika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan kita. Dia tidak akan bergembira atas kejatuhan kita; sebaliknya, Dia bersukacita ketika kita menyadari kesalahan kita dan berpaling kepada-Nya untuk mendapatkan kekuatan dan penyertaan-Nya.
Bagi saya sendiri, Tuhan mengingatkan saya ketika tersesat atau mengalami tantangan, bahwa inilah waktunya saya kembali kepada-Nya. Daripada menggerutu, kita mau seperti Paulus: menemukan kekuatan dalam kelemahan, taat kepada Tuhan, dan membangkitkan kembali semangat kita untuk dekat kepada-Nya. Dengan demikian, kita akan semakin berakar di dalam Tuhan dan semakin menghargai berkat-berkat-Nya. Kita akan memiliki keinginan untuk berbuat lebih banyak lagi bagi-Nya, dengan Dia senantiasa berada di sisi kita.
Kita mungkin tidak selalu mengerti mengapa sesuatu terjadi. Tetapi daripada mengeluh, marilah kita menerima rencana Tuhan. Saya benar-benar bersyukur kepada Tuhan karena Dia telah membuat saya berakar semakin kuat dengan memahami kehendak-Nya, mengapa Dia menempatkan saya melalui masa-masa yang sulit ini. Dia telah memberkati saya, melebihi apa yang saya harapkan.
Pemurnian Adalah Kunci Bagi Pemuda
Karena kita harus menjalani proses pemurnian ini (1Ptr. 1:6-7), kita pasti akan mengalami kesulitan di berbagai titik kehidupan kita. Meskipun kelihatan menakutkan, namun kita perlu memahami bahwa: Tuhan akan membimbing jika kita berpaling kepada-Nya (Mrk. 11:22-23). Ketika kita datang kepada-Nya untuk meminta pertolongan, kita akan menyadari betapa rapuhnya kita. Kita juga akan menyadari bahwa diri kita sangatlah lemah tanpa Dia.
Seorang pendeta pernah berkata: “Saat kau menderita, pandanglah kepada Tuhan.” Kita harus selalu ingat, Tuhan tidak berusaha mempersulit kehidupan kita. Diri kitalah yang membuat kesulitan itu dengan ketidaktaatan dan keinginan yang melawan Tuhan. Saya telah belajar dengan cara yang sulit, bahwa berakar kuat dalam Tuhan sangatlah penting bagi kita para pemuda. Berjuanglah untuk mengakarkan diri kita kuat-kuat di dalam kebenaran, dan Dia pasti akan membantu kita (1Ptr. 2:2). Dengan selalu taat pada-Nya, maka jerih payah kita di dalam Tuhan tidak akan pernah menjadi sia-sia.
Kiranya segala kemuliaan bagi nama-Nya. Amin!
Tempatkan Tuhan di Atas Tujuan Kita
Eve Chin—London, UK
Pada tahun 2014, saya datang dari Malaysia ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan. Saya merasakan tekanan yang besar untuk dapat menoreh prestasi dan membuat keluarga saya bangga. Seperti banyak orang tua Asia, ayah saya menginvestasikan banyak uang untuk membiayai pendidikan, sehingga saya bisa memperoleh kualifikasi yang baik. Karena itu, saya merasa harus melakukan yang terbaik. Tetapi, perkara untuk menyenangkan orang tua ini menyebabkan saya stress dan juga menghalangi hubungan saya dengan Tuhan. Seiring berjalannya waktu, saya belajar bahwa prestasi akademik dan pencapaian duniawi tidak boleh menjadi fokus utama saya. Bagaimanapun giatnya saya berusaha, Tuhanlah yang memberi keberhasilan (Mzm. 127:1). Dialah yang memiliki kuasa untuk memberi dan juga mengambil. Dan seperti yang Tuhan Yesus janjikan, ketika saya belajar untuk mencari terlebih dahulu Kerajaan Allah, Dia akan memenuhi semua kebutuhan lahiriah saya (Mat. 6:33).
MEMBANGUN IMAN DI NEGARA ASING
Saya memutuskan mengambil kuliah di Universitas Reading, yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan Gereja Yesus Sejati di London Pusat. Berhubung biaya kuliah di London sangat mahal, saya pun belajar dengan giat, dan berusaha sebaik-baiknya untuk memegang hari Sabat pada tahun pertama kuliah. Bagi saya, ini berarti menghadiri setidaknya satu kebaktian di gereja pada hari Sabtu. Meskipun saya dilahirkan dalam komunitas Gereja Yesus Sejati, ada kesenjangan yang cukup besar antara apa yang saya ketahui dari Alkitab dengan apa yang saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tidak dikatakan secara langsung, para pemuda gereja berusaha membantu saya memegang Sabat penuh, dengan terus-menerus mengundang saya menginap di gereja pada hari Jumat dan Sabtu malam. Dengan cerdas mereka memberikan hadiah selamat datang berupa foto berbingkai dengan ayat Alkitab:
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat. 6:33)
Yesus berkata bahwa kita tidak perlu kuatir tentang apa yang akan kita makan, atau apa yang akan kita pakai; kita juga tidak perlu kuatir tentang hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari (Mat. 6:31, 34). Kegelisahan hidup tidak akan ada habisnya. Kita dapat merencanakan, tetapi jika Tuhan tidak menghendaki, segala sesuatunya tidak akan berjalan seperti yang kita inginkan (Yak. 4:13-15). Jadi daripada terus-menerus menguatirkan masa depan, lebih baik kita mencari terlebih dahulu perkara yang di atas. Carilah firman Tuhan, kebenaran, dan kerajaan Tuhan; maka Dia akan memenuhi kebutuhan kita.
Oleh karena itu, selama tahun-tahun kuliah saya, saya belajar untuk melepaskan kekuatiran saya, mengutamakan Tuhan dalam hidup saya, dan berserah kepada-Nya.
PERGUMULAN ANTARA MENGEJAR PENDIDIKAN DAN TUHAN
Puji Tuhan, tahun persiapan dan tahun pertama untuk gelar sarjana saya berjalan lancar. Saya tetap giat belajar, tetapi secara bertahap saya mulai mengutamakan Tuhan dan memegang hari Sabat secara penuh. Namun tahun kedua lebih sulit. Jumlah mata kuliah dan ujian berlipat ganda, begitu pula tekanan yang saya alami. Bagaimana jika saya hanya lulus pas-pasan? Bagaimana saya dapat membiarkan Ayah saya yang telah menghabiskan begitu banyak uang, namun hasilnya mengecewakan? Bagaimana jika saya berakhir dengan pekerjaan bergaji rendah, dan tidak dapat menghasilkan cukup uang untuk membalas pengorbanan ayah saya? Belum lagi biaya tiket kereta api mingguan ke London menambah kekuatiran keuangan saya.
Kadangkala, saya menemukan kedamaian melalui doa; namun di lain waktu, saya tidak bisa menangani tekanan yang saya alami. Pada saat-saat itu, saya merasa seperti tercekik dan tidak bisa melepaskannya. Demi studi, saya menghabiskan lebih sedikit waktu di gereja. Ada beberapa waktu di mana saya tidak menghadiri kebaktian Sabat. Saya lebih memilih menggunakan waktu saya untuk belajar, atau mengerjakan tugas bersama teman-teman saya. Menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman universitas saya nampaknya sangat masuk akal, karena kami memiliki tujuan yang sama untuk mencapai prestasi yang baik secara akademis. Namun anehnya, nilai saya turun tahun itu. Jika saja pihak universitas tidak meninjau kembali dan menyesuaikan nilai minimum untuk bisa lulus, saya tidak akan lulus dalam salah satu mata kuliah saya.
Mengapa hasil yang saya peroleh tidak sesuai dengan usaha yang telah saya lakukan? Saya frustrasi, dan saya merasa dunia tidak adil. Apa lagi yang bisa saya lakukan? Saat itulah saya mulai merenungkan secara mendalam tentang kehidupan rohani saya.
“Lagipula, anakku, waspadalah! Membuat banyak buku tak akan ada akhirnya, dan banyak belajar melelahkan badan. Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang.” (Pkh. 12:12-13)
Pengkhotbah berkata bahwa mencari pengetahuan tidak akan ada habisnya dan belajar dapat melelahkan badan. Tuhan memberitahu kita bahwa, alih-alih mengejar pengetahuan tanpa akhir, kita harus fokus pada takut akan Dia dan mengikuti perintah-perintah-Nya.
Puji Tuhan saya mendapat kesempatan untuk magang di London pada musim panas tahun itu, walaupun nilai saya yang kurang baik. Selama dua bulan saya berada jauh dari universitas, teman-teman universitas saya, dan juga teman-teman lainnya. Saya dapat menghadiri persekutuan pemuda pada hari Rabu, dan tidak memiliki alasan untuk melewatkan kegiatan gereja pada hari Sabat atau Minggu. Hari demi hari, saya menghabiskan waktu saya dengan lebih bijaksana untuk Tuhan.
MENERIMA ROH KUDUS
Sebelum magang musim panas saya berakhir, saya mengikuti persekutuan dengan saudara-saudari yang baru saja kembali dari Kursus Pelatihan Teologi Pemuda. Seorang saudara menceritakan bagaimana dia telah menerima Roh Kudus dalam tiga minggu pelatihan tersebut. Awalnya, ketika pendeta menegaskan bahwa dia telah menerima Roh Kudus, saudara itu merasa belum menerimanya, karena dia tidak merasakan apapun dalam doanya dan tidak merasakan lidahnya bergetar. Berdasarkan kesaksian yang dia dengar, dia mengharapkan pengalaman yang luar biasa, seperti api atau cahaya terang yang bersinar dari surga. Pendeta itu kemudian mendekatinya untuk kedua kalinya, memastikan bahwa dia telah menerima Roh Kudus. Namun saudara itu masih tidak percaya. Pendeta menegurnya dan mendorong saudara itu berdoa bersamanya untuk memohon pengampunan Tuhan atas ketidakpercayaannya. Barulah dalam doa itu dia merasa lidahnya berputar dan akhirnya yakin bahwa dia telah menerima Roh Kudus.
Saya merasa malu ketika mendengar kesaksian ini. Saya telah berdoa begitu lama untuk mendapatkan Roh Kudus. Mungkin, jauh di lubuk hati, saya juga tidak percaya.
Sebelum para pemuda berpisah, kami berdoa di aula. Saya menyimpan kesaksian itu di dalam hati saya, dan berseru kepada Tuhan untuk mengampuni hati saya yang tidak percaya. Dengan tulus saya memohon ampun kepada Tuhan dan mengatakan kepada-Nya bahwa saya tidak tahu apa lagi yang harus saya lakukan selain berseru kepada-Nya. Saya meminta Dia untuk mengampuni saya, mengajari saya, dan membimbing saya. Tiba-tiba, saya merasa lidah saya berputar. Saya tahu bahwa Tuhan telah memberikan saya Roh Kudus-Nya. Saya tidak bisa berhenti menangis; Saya sangat bersukacita. Semuanya menjadi masuk akal bagi saya, dan saya mengerti bahwa Tuhan adalah Tuhan yang Maha Kuasa. Dia Maha Tahu dan juga Yang Kekal. Saat itulah saya menyadari, tanpa bimbingan Roh Kudus, tidak mungkin saya dapat memahami hal-hal tentang Allah (Yoh. 16:13;
KEMURAHAN DAN ANUGERAH TUHAN KETIKA MENCARI DIA TERLEBIH DAHULU
Pada tahun terakhir kuliah, saya berusaha untuk mengatur kembali kehidupan demi pertumbuhan iman saya. Kali ini, saya dibantu oleh Roh Kudus. Puji Tuhan, tekanan akademik menjadi jauh lebih mudah untuk saya tanggung. Saya juga lebih rela untuk melakukan perjalanan ke gereja London, menghabiskan waktu bersama Tuhan, mengikuti sesi doa di hari Minggu, kegiatan gereja, dan juga persekutuan pemuda. Melalui doa dan juga dorongan yang terus menerus dari saudara-saudara seiman, saya bisa lebih fokus pada perkara-perkara di atas, daripada tujuan duniawi saya.
“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.” (Ams. 13:20)
Jika kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan saudara-saudara seiman —baik itu dalam persekutuan, percakapan sambil minum teh, atau bahkan perjalanan belanja—kita memberikan lebih banyak kesempatan bagi Tuhan untuk bekerja di antara kita. Kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam percakapan yang kudus.
Di mata teman-teman universitas, saya mungkin tampak bodoh karena tidak lagi menghabiskan banyak waktu untuk belajar ataupun bersosialisasi. Meskipun pendidikan dan karir kita penting, namun saya menyadari bahwa hal-hal ini tidak boleh berada di atas iman kita.
“Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh.” (1Ptr. 2:2)
Ketimbang merindukan perkara-perkara duniawi, kita seharusnya merindukan firman Tuhan, seperti bayi yang baru lahir merindukan air susu yang murni, karena firman Tuhanlah yang memberi hidup dan yang menuntun pada keselamatan.
Puji Tuhan, dalam tiga tahun masa kuliah saya, saya mendapatkan nilai yang terbaik di tahun yang terakhir. Meskipun saya tidak lulus dengan predikat first-class distinction –seperti ambisi saya, saya benar-benar merasa damai.
“Lalukanlah mataku daripada melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan!” (Mzm. 119:37)
Seringkali, kita tidak sadar bahwa hal-hal yang tersimpan di dalam hati kita sebenarnya tidak berharga. Kita perlu membuka diri kepada Tuhan dan meminta Dia membimbing kita serta menunjukkan kepada kita apa yang tidak berkenan kepada-Nya. Ketika Dia melakukannya, kita mau tunduk kepada-Nya. Jika kita mencari terlebih dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, selangkah demi selangkah, Dia pasti akan menghidupkan kita kembali di jalan-Nya. Dia setia kepada mereka yang setia kepada-Nya (Ul. 7:9).
Kiranya segala kemuliaan bagi nama Tuhan. Amin.
Perjalanan Iman
Rachel Lin—Calgary, Canada
DIBESARKAN DALAM IMAN
Sebagai generasi keempat jemaat Gereja Yesus Sejati, saya dibaptis ketika masih bayi dan mewarisi iman dari orang tua. Mereka menunjukkan kepada saya betapa pentingnya Tuhan, melalui perkataan dan pelayanan mereka kepada Tuhan. Dari kesaksian bagaimana mereka berpaling kepada Tuhan, dan bagaimana Tuhan membimbing mereka dalam hidup, saya memperoleh keyakinan dalam iman saya. Demikianlah saya membangun hubungan pribadi dengan Tuhan.
Hubungan kita dengan Tuhan bukan hanya sekedar apakah kita percaya atau tidak. Ketika kita menghadapi berbagai tantangan dalam hidup, iman kita akan ikut bertumbuh bersama kita. Misalnya, Yakub dari kecil telah mendengar tentang pekerjaan Tuhan dan mewarisi iman dan janji yang sama seperti nenek moyangnya (Ibr. 11:9). Namun, hanya melalui pergumulan hidup, Yakub dapat membangun hubungan pribadinya dengan Tuhan. Tuhan menggunakan kesukaran hidupnya untuk menunjukkan kepadanya bahwa Dialah satu-satunya Allah yang benar. Pengalaman-pengalaman hidupnya inilah yang memperkuat iman Yakub dan mengubahnya, dari seorang pemuda yang berfokus pada dirinya sendiri menjadi seorang hamba yang rendah hati yang memahami posisinya di hadapan Tuhan. Demikian juga, hari ini, kesulitan yang kita hadapi dalam hidup dapat memperdalam iman kita.
Di sini, saya membagikan dua periode hidup saya, di mana saya merasakan Tuhan membimbing saya ke dalam pemahaman yang lebih sempurna tentang iman saya.
PERIODE 1: PINDAH UNTUK BELAJAR
Pada tahun 2012, saya pindah ke London selama tiga tahun untuk kuliah. Ini adalah pertama kalinya saya tinggal jauh dari rumah dan beribadah di dua gereja di London. Kehangatan yang saya terima dari saudara-saudara seiman di London membuat saya merasa sangat betah. Selama tahun pertama, saya tinggal di asrama siswa. Karena sifat saya yang pemalu dan pendiam, saya sulit membangun persahabatan yang bermakna dengan teman sekelas saya. Akibatnya, saya menghabiskan tahun itu hanya dengan sedikit interaksi dengan teman mereka. Jika bukan karena persekutuan pemuda tengah minggu, kebaktian Jumat malam, dan menginap saat Sabat mingguan di gereja, saya akan menjalani kehidupan yang sangat terisolasi dan tidak akan sebahagia seperti yang saya rasakan sekarang ini.
Hidup mandiri mengajarkan saya bahwa hubungan kita dengan Tuhan tergantung dari upaya yang kita investasikan di dalamnya. Ketika masih berada di rumah, kami telah cukup lama melakukan rutinitas ini, sehingga saya tidak perlu melakukan banyak hal untuk mempertahankan iman saya. Namun sekarang, saya harus bertanggung jawab atas iman saya sendiri di universitas. Mempertahankan iman menjadi masalah disiplin diri. Walaupun saya dapat dengan mudah memberikan alasan ketika tidak hadir di gereja, saya tidak akan membiarkan diri atas kemalasan, pengelolaan waktu yang buruk, dan kurangnya motivasi. Saya berusaha untuk menghadiri semua persekutuan dan kebaktian.
Namun, terlepas dari upaya yang saya lakukan, saya masih merasa jauh dari Tuhan. Kehidupan yang saya jalani tidak mencerminkan kehidupan anak Tuhan. Sikap saya terhadap Tuhan yang Maha Agung bukanlah rasa takut dan hormat. Saya menghabiskan hari-hari saya secara egois dan tidak bijaksana. Seringkali kita dapat waspada untuk tidak melakukan dosa seperti percabulan, pencurian, dan pembunuhan, namun kita cenderung mengabaikan dosa yang sepertinya sepele, bahkan kita menganggapnya sebagai hal yang normal. Misalnya, kecanduan media sosial dan video game dapat menjadi penyembahan berhala dalam konteks hari ini. Jika kita tidak menyadarinya, dosa-dosa ini dapat menyebabkan pengerasan hati kita, dan membuat rohani kita mati. Apa pun yang tidak sejalan dengan firman Tuhan, hal ini akan menjauhkan kita dari-Nya.
“Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup. Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan “hari ini”, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa.” (Ibr. 3:12-13)
Menjelang akhir tahun pertama, saya merenungkan keadaan iman saya dan menyadari bahwa saya harus meningkatkannya. Saya tidak ingin iman saya hanya berjalan seperti rutinitas belaka. Saya memahami bahwa untuk membangun hubungan yang lebih bermakna dengan Tuhan, saya harus lebih tulus dan bersemangat lagi dalam beribadah. Pada tahun-tahun universitas berikutnya, saya berusaha untuk menjalani kehidupan yang berpusat pada Tuhan. Ketika kita sungguh-sungguh mencari Tuhan, Dia akan menyatakan diri-Nya melalui firman-Nya dan Roh Kudus. Dalam periode ini, saya banyak belajar pengajaran rohani dan belajar untuk mengembangkan hubungan yang semakin dekat dengan Tuhan.
PERIODE 2: PULANG KE RUMAH
Selama tiga tahun di London, saya dapat beradaptasi dengan gaya hidup perkotaan yang serba cepat dan mulai aktif dalam melayani Tuhan. Setelah lulus, saya pulang ke rumah saya di tepian yang sepi dan tenang, kota Sunderland. Sekali lagi, saya harus bergumul untuk menyesuaikan diri saya kembali dengan perubahan lingkungan. Tiba-tiba saja saya merasa tidak memiliki jadwal atau arah dalam hidup. Meskipun saya mendapatkan penghiburan yang luar biasa dengan berkumpul kembali bersama keluarga, bersekutu dengan jemaat gereja, namun saya merasa kosong dan kebingungan.
Secara logis, langkah selanjutnya bagi saya adalah mencari pekerjaan, akan tetapi saya tidak tahu harus mulai dari mana. Memasuki dunia kerja adalah kesulitan tersendiri bagi saya. Saya harus bersaing di antara ribuan pelamar lainnya, untuk lowongan yang terbatas setelah resesi global pada akhir tahun 2000-an. Selama pencarian, saya ditawarkan sebuah posisi yang mengharuskan saya bekerja satu kali pada hari Sabat dalam sebulan. Dalam keadaan putus asa, saya mempertimbangkan untuk menerima tawaran itu. Saya menghabiskan waktu yang cukup lama untuk membenarkan keputusan itu. Namun, merenungkan perintah Tuhan atas hari Sabat, saya paham bahwa saya seharusnya tidak boleh mengkompromikan iman saya. Dan akhirnya, saya menolak pekerjaan itu. Sejak saat itu, saya dengan tegas akan menolak pekerjaan yang bertentangan atau membahayakan kesetiaan saya pada kehendak Tuhan, tidak peduli berapa pun menggodanya tawaran itu. Setelah satu setengah tahun tidak berhasil memperoleh pekerjaan, saya merasa sedih dan putus asa. Saya bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak memberikan saya peluang. Saya merasa seperti orang yang gagal, baik bagi Tuhan maupun orang-orang di sekitar saya.
Namun, berkat Tuhan tetaplah berlimpah bahkan ketika kita sedang berputus asa. Melihat kembali di masa ini, saya menyadari bahwa rehat dua tahun yang Tuhan berikan kepada saya antara kelulusan dan awal bekerja adalah waktu istirahat dan refleksi diri yang berharga. Saya mendapatkan berkat berupa ketenangan dan juga banyak kesempatan untuk melayani. Sekarang, setelah bekerja, saya merindukan kembali masa ketenangan seperti itu. Tanpa adanya komitmen dalam pekerjaan, saya dapat menghadiri banyak acara gereja, melayani di berbagai seminar gereja, dan bahkan menjadi sukarelawan dalam perjalanan penginjilan selama satu bulan ke Afrika. Kesempatan-kesempatan ini adalah karunia Tuhan kepada saya. Saya juga dapat menghabiskan banyak waktu teduh bersama dengan Tuhan, memuji Dia dalam perkataan dan kidung pujian. Ketika saya lebih mendekat kepada-Nya, saya menyadari bahwa meskipun tidak banyak yang dapat saya berikan, saya diselamatkan oleh kasih karunia-Nya melalui iman (Ef. 2:8-9). Apakah gunanya jika saya bisa mendapatkan banyak kekayaan, ketenaran, dan kemuliaan dunia tetapi tidak mengenal Tuhan?
“Beginilah firman TUHAN:
“Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya,
janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya,
janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya,
tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut:
bahwa ia memahami dan mengenal Aku,
bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi;
sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”” (Yer. 9:23-24)
Untuk menjalani kehidupan yang bermakna, kita harus hidup untuk Tuhan. Apa pun yang sedang kita kerjakan dalam dunia, tujuan dan keputusan kita dalam hidup seharusnya berpusat pada Tuhan.
Untuk bisa tetap berakar di dalam Kristus, kita perlu memprioritaskan Tuhan. Kita harus memahami apa yang kita yakini dan percaya pada janji-janji-Nya dengan sepenuh hati. Yakub mulai mengakui Tuhan sebagai Tuhan dan Tuannya, pada saat dia menghadapi berbagai permasalahan dalam hidupnya. Pada tingkat yang lebih rendah, saya juga menyaksikan kuasa Tuhan dan merasakan bimbingan tangan-Nya ketika saya menghadapi permasalahan. Melewati masa perkuliahan dan perjalanan mencari pekerjaan, Tuhan tidak pernah gagal dalam membimbing dan memberkati saya melalui berbagai kesempatan. Dalam setiap pengalaman baru, baik besar atau kecil, Tuhan Yesus dapat mengajarkan kita banyak hal tentang hubungan kita dengan-Nya, asalkan kita peka terhadap bimbingan-Nya. Pelajaran yang saya dapat adalah bahwa kita harus menjadi anak-anak yang takut akan Tuhan, selalu percaya dan mengikuti Dia sepanjang perjalanan hidup kita.
“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu,
dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.
Akuilah Dia dalam segala lakumu,
maka Ia akan meluruskan jalanmu.
Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak,
takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan.” (Ams. 3:5-7)