3. Jalan-Ku Lebih Tinggi Dari Jalanmu
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Philip Shee—Singapura
“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yes. 55:8-9)
Umumnya manusia sulit menerima orang lain yang lebih baik dibanding dirinya. Kita seringkali merasa tidak senang dengan orang yang menempatkan dirinya di atas diri kita, karena kita merasa kita lebih tahu. Namun pada ayat di atas, Allah memberitahukan kita dengan jelas bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada jalan kita. Dapatkah kita benar-benar menerima kebenaran ini?
Ada cara untuk menguji apakah kita benar-benar menerima kebenaran ini atau tidak. Kalau kita sungguh-sungguh menerima bahwa jalan Tuhan lebih tinggi dari kita, kita akan tunduk dan taat dalam menjalani kehidupan iman kita. Kita akan tetap tenang dalam segala keadaan, karena kita mempercayakan segalanya pada Allah.
Ada sebuah ilustrasi Tionghoa yang terkenal tentang seorang tua dan kudanya:
Dahulu kala, ada seorang kakek yang kehilangan kudanya. Di permukaan, kelihatannya ini adalah sebuah musibah karena ia telah kehilangan hartanya yang sangat berharga. Tetapi beberapa waktu kemudian, kuda itu kembali bersama kuda lain. Kakek itu sangat gembira karena kemalangannya ternyata adalah keberuntungan tersembunyi. Dengan kembalinya kuda itu, anak si kakek memutuskan untuk berkelana. Tetapi ia terjatuh dari kuda dan kakinya patah. Tampaknya, kuda itu membawa sial bagi keluarga. Tidak lama kemudian, negara mengalami perang dan pemerintah datang untuk menjalankan wajib militer bagi semua pemuda yang sehat dan tidak cacat di desa itu. Satu-satunya pemuda yang lolos adalah anak si kakek itu. Tidak ada pemuda yang kembali pulang dari perang. Hanya anak si kakek itu yang selamat dan hidup sampai masa tuanya – semua itu karena kakinya yang patah setelah terjatuh dari kuda yang dahulu melarikan diri.
Makna yang ingin disampaikan cerita ini adalah tidak ada orang yang tahu apakah suatu peristiwa akhirnya akan menjadi berkat atau kutuk. Ini dikarenakan sudut pandang manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu, selain karena keterbatasan intelektualnya. Sebaliknya, sudut pandang Allah multi-dimensi. Ia dapat melihat melampaui waktu, dan juga melihat tiap interaksi di antara setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta di segala waktu.
Kita seringkali sampai pada kesimpulan yang sangat sederhana karena pemikiran kita yang terbatas pada satu dimensi. Misalnya, kehilangan kuda berarti kerugian; kembalinya dua kuda berarti keuntungan; dan kaki patah berarti kerugian. Pada akhirnya, kita cenderung terpaku pada perkara-perkara kecil yang menjurus pada pemikiran negatif. Kalau hujan, kita mengeluh badan kita akan menjadi basah. Kalau tidak hujan, kita mengeluhkan panas. Kita pun membandingkan diri dengan orang lain dan bertanya-tanya kenapa kita tidak lebih baik, lebih kaya, lebih cerdas, lebih rupawan, dan seterusnya. Kita seringkali lupa bahwa kelemahan kita dapat menjadi keuntungan dalam keadaan yang berbeda. Misalnya, orang yang pendek mungkin tidak dapat menggapai rak yang tinggi. Tetapi ia akan duduk lebih nyaman daripada orang yang bertubuh tinggi di kursi ekonomi di pesawat.
Jadi kita harus belajar memahami bahwa Allah mengizinkan hal-hal yang tampaknya merugikan diri kita sebagai keuntungan. Kalau kita meyakini bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada jalan kita, maka kita akan dapat menerima setiap keadaan yang terjadi pada diri kita. Alkitab mencatat banyak contoh yang menunjukkan akan kebenaran ini.
“Allah memberitahukan kita dengan jelas bahwa jalan-Nya lebih tinggi daripada jalan kita. Dapatkah kita benar-benar menerima kebenaran ini?”
- YUSUF: ALLAH SELALU BERMAKSUD BAIK
Yusuf adalah anak teladan yang taat kepada ayahnya, dan ayahnya menyayangi dia. Ia memiliki masa kecil yang dikasihi dan bahagia. Sayangnya, saudara-saudaranya iri dan berencana membunuhnya. Tetapi Ruben, kakak tertua, berhasil membujuk saudara-saudara yang lain untuk melemparkan Yusuf ke dalam sumur tanpa dilukai. Kemudian Yehuda mengajak mereka untuk menjual Yusuf ke seorang pedagang budak yang sedang menuju Mesir ketimbang membunuhnya (Kej. 37:26-28). Pastilah Yusuf tidak mengerti dengan kebencian saudara-saudaranya. Ia tidak pernah melukai mereka. Mengapa mereka berkomplot melawannya?
Peristiwa itu menjadi sangat traumatis bagi Yusuf. Dalam sekejap, masa kecilnya yang beruntung dicabut. Kalau kita mengalami keadaan yang sama, bagaimanakah reaksi kita? Apakah iman kita tergoncang? Apakah kita akan mempertanyakan Allah dan menuntut jawaban, mengapa Ia membiarkan musibah-musibah dan ketidakadilan terjadi pada diri kita? Banyak orang akan mulai meragukan Allah kalau mereka menghadapi keadaan yang tak terbayangkan ini, atau ketika mereka diperlakukan tidak adil.
Di Mesir, Yusuf menjadi seorang budak di rumah Potifar. Yang menarik, Allah memberkati Yusuf sehingga apa yang ia kerjakan berjalan dengan baik. Yusuf berhasil di rumah Potifar. Pada akhirnya, Potifar mengangkat Yusuf menjadi kepala rumahnya, dan kekuasaannya hanya lebih rendah daripada Potifar sendiri. Kelihatannya nasib Yusuf telah berubah. Tetapi kemudian, istri tuannya mulai tertarik dengan tuan muda yang tampan ini.
Selang beberapa waktu isteri tuannya memandang Yusuf dengan berahi, lalu katanya: “Marilah tidur dengan aku.” (Kej. 39:7)
Apa yang dilakukan Yusuf sudah benar – ia menolak melakukan dosa terhadap Allah ataupun mengkhianati tuannya (Kej. 39:8-9) Tetapi karena marah akan penolakan Yusuf, istri tuannya lalu memfitnahnya. Ia menuduh Yusuf berusaha memperkosanya.
Kalau kita mendengar atau membaca tentang peristiwa-peristiwa dalam hidup Yusuf, kita mungkin menganggapnya seperti drama di dalam film. Atau kita mungkin menganggap bahwa akhir cerita yang bahagia yang dinikmati Yusuf pastilah membuatnya mampu menanggung penderitaannya itu. Tetapi kita harus ingat bahwa ketika Yusuf sedang menghadapi keadaan-keadaan itu, ia tidak tahu apakah yang akan terjadi besok, apalagi masa depannya akan seperti apa. Dijual menjadi budak oleh saudara-saudaranya sendiri saja sudah tragis. Ketika nasibnya mulai membaik, ia difitnah dan dipenjarakan karena melakukan hal yang benar dan terhormat!
Hari ini, ada saja orang-orang yang ingin membalas dendam karena merasa telah diperlakukan dengan tidak adil. Mereka merasa berhak menyakiti orang lain karena mereka sendiri telah disakiti. Sebaliknya, tidak pernah sekali pun Yusuf mengeluhkan nasibnya kepada Allah. Maka Allah senantiasa menyertai Yusuf ke mana pun ia pergi. Bahkan di penjara sekalipun, Yusuf berhasil. Ia disenangi oleh kepala penjara. Ia mengartikan mimpi sesama tahanan, kepala juru roti dan kepala juru minum. Ketika kepala juru roti dipulihkan ke jabatannya, Yusuf pastilah mengira sebentar lagi ia pun akan dibebaskan. Tetapi ternyata Yusuf masih harus menunggu dua tahun lagi sebelum kepala juru roti teringat kepadanya.
Ketika Firaun mendapatkan mimpi dan tidak ada seorang pun yang bisa menafsirkannya, kepala juru roti tiba-tiba saja teringat pada kemampuan Yusuf. Maka Yusuf dibawa ke hadapan Firaun, dan berhasil mengartikan mimpinya. Wahyu Allah melalui mimpi Firaun memungkinkan Mesir mempersiapkan diri menghadapi tujuh tahun bencana kelaparan. Karena kelaparan juga menimpa tanah Kanaan, Yakub mengutus anak-anaknya pergi ke Mesir untuk membeli gandum. Peristiwa ini mempersiapkan panggung bagi pertemuan kembali Yusuf dengan seluruh keluarganya. Setelah berdamai, seluruh keluarga Yusuf hidup di Mesir.
Setelah Yakub meninggal dunia, saudara-saudara Yusuf sangat kuatir apabila Yusuf membalas dendam. Tetapi Yusuf jauh lebih bijak. Walaupun awalnya ia tidak mengerti mengapa penderitaan selalu menderanya, akhirnya ia menyadari bahwa Allah-lah yang memegang kendali. Jadi Yusuf memberitahukan saudara-saudaranya, “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah?” (Kej. 50:19)
Yusuf mengerti bahwa ada Allah yang jauh lebih tinggi, yang jalan dan pikirannya jauh lebih tinggi. Allah mempunyai maksud yang lebih tinggi, dan kita tidak selalu dapat melihatnya.
“Tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kej. 50:20b)
Kalau Yusuf tidak berada di Mesir pada waktu yang tepat, banyak orang akan mati, termasuk Yakub dan keluarganya. Keluarga Yakub memegang peranan penting dalam rencana keselamatan Allah. Yakub menjadi Israel, dan anak-anaknya, nenek moyang bangsa Israel, akan menjadi umat pilihan Allah.
Setiap peristiwa terjadi untuk suatu tujuan di waktu yang tepat. Mengapa Yusuf dijual? Supaya ia dapat pergi ke Mesir. Mengapa ia harus pergi ke Mesir? Supaya ia dimasukkan dalam penjara. Mengapa Yusuf harus dipenjarakan? Supaya ia bertemu dengan kepala juru roti. Mengapa kepala juru roti melupakannya? Supaya Yusuf dapat dipanggil di waktu yang tepat untuk mengartikan mimpi Firaun.
“Saudara-saudara Yusuf sangat kuatir apabila Yusuf membalas dendam. Tetapi Yusuf jauh lebih bijak. Walaupun awalnya ia tidak mengerti mengapa penderitaan selalu menderanya, akhirnya ia menyadari bahwa Allah-lah yang memegang kendali.” [/su quote]Dari sudut pandang Yusuf, rangkaian kemalangan ini tampaknya tidak masuk akal pada waktu mengalaminya. Difitnah dan dipenjarakan karena tuduhan palsu bukanlah beban yang mudah dipikul. Tetapi Yusuf tetap bertahan, dan ketika ia melihat kembali ke belakang, semuanya ini menjadi masuk akal. Segala kemalangannya adalah untuk menggenapi maksud yang jauh lebih tinggi. Kita tidak seharusnya percaya buta pada sudut pandang kita, karena kita hanya dapat melihat dari satu dimensi. Tetapi Allah melihat seluruh gambarannya. Segala maksud Allah adalah kebaikan. Kalau kita melihat hanya dari satu sisi, kita tidak dapat melihatnya sepenuhnya. Jadi kita perlu memahami bahwa jalan Allah lebih tinggi daripada jalan kita, dan rancangan-Nya lebih tinggi dari rancangan kita.
Inilah iman. Kalau kita memiliki iman seperti ini, pada akhirnya kita akan berkata, “Amin, sekarang aku tahu kenapa.”
- ABRAHAM: WAKTU ALLAH SEMPURNA
Allah menyuruh Abram meninggalkan tanah kelahirannya, Ur di Kasdim, dan Allah akan memimpinnya ke tanah perjanjian. Tetapi Abram tidak akan memiliki tanah ini, dan setelah angkatan demi angkatan berlalu, barulah keturunannya yang akan memilikinya. Allah juga berjanji bahwa Abram akan menjadi bangsa yang besar, tetapi Abram tidak dapat melihatnya di masa hidupnya. Lebih lanjut, Allah menyatakan kepada Abram, bahwa keturunannya akan menjadi orang asing di suatu tanah asing; dan akan diperbudak oleh tuan-tuan asing dan mengalami penderitaan selama 400 tahun. Apa yang Allah nyatakan kepada Abram ini digenapi jauh setelah Yakub dan keluarganya pindah ke Mesir (Kej. 15:12-16).
Kemampuan Abraham mengimani segala janji Allah merupakan teladan yang luar biasa. Kita perlu banyak belajar dari teladan Abraham ini. Terkadang kita mengharapkan Allah memberkati kita, karena kita merasa sudah menjadi orang Kristen yang baik dan telah melakukan segala perintah dalam Alkitab. Kita juga ingin Allah memberkati kita di masa hidup kita, bahkan sesegera mungkin. Pastinya kita tidak mau menunggu sampai empat generasi. Kita berpikir Allah sedang berlambat-lambat atau bersikap pelit dengan berkat-Nya, karena kita hanya mempertimbangkan satu sisi – yaitu sudut pandang pribadi kita sendiri. Tetapi Allah mempertimbangkan banyak faktor dan melihatnya secara keseluruhan. Dalam konteks bangsa Israel, angkatan keempat yang diam di Mesir akan kembali untuk memperoleh tanah yang Allah janjikan kepada mereka. Karena saat itulah kedurjanaan orang Amori menjadi genap (Kej. 15:16). Allah akan membawa umat-Nya kembali untuk menyatakan penghakiman-Nya. Bangsa Israel dipersiapkan untuk mengusir orang Amori dari tanah Kanaan, karena di mata Allah, mereka tidak lagi layak diam di tanah itu. Selama ini Allah telah memberikan tanah itu kepada orang Amori. Tetapi mereka menanggapi pemeliharaan Allah ini dengan menyembah allah-allah palsu dan mempersembahkan anak-anak mereka dalam upacara-upacara penyembahan berhala, selain dari cara ibadah mereka yang amoral. Akibatnya, ketika dosa-dosa mereka telah mencapai puncak kegenapannya, barulah Allah membiarkan bangsa Israel memperoleh tanah perjanjian.
Singkatnya, iman adalah tentang menerima waktu Allah, karena jalan-Nya lebih tinggi daripada jalan kita. Rencana Allah adalah yang terbaik.
- MUSA: ALLAH MENGETAHUI PELATIHAN YANG KITA BUTUHKAN
Ada alasan lain mengapa bangsa Israel harus tinggal di Mesir. Pada masa itu, Mesir adalah negara dengan peradaban paling maju di wilayah itu. Berbanding terbalik, Israel baru lahir sebagai bangsa. Selama 400 tahun mereka harus bekerja keras dan diperbudak oleh tuan-tuan asing di tanah Mesir. Mereka ditindas. Tetapi Allah berkata bahwa Ia akan menghakimi Mesir, dan bangsa Israel akan keluar dengan harta berlimpah (Kej. 15:14). Maka ketika bangsa Israel keluar dari Mesir, mereka membawa ternak, perak, emas, bahkan segala yang mereka minta (Kel. 12:35-36).
Musa dipilih untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Karena dibesarkan sebagai pangeran Mesir, Musa berpendidikan dalam segala pengetahuan dan hikmat orang Mesir, dan ia juga cakap baik dalam perkataan maupun perbuatan (Kis. 7:22). Hidupnya dalam istana tidak membutakannya dari penderitaan orang Israel, bangsanya. Jadi saat berumur 40 tahun, Musa ingin membawa mereka keluar dari Mesir. Tetapi saat itu, bukannya menggenapi janji-Nya pada Abraham (Kej. 15:13-14), sebaliknya, Allah mengutus Musa ke Midian. Di sana, Musa harus menghabiskan 40 tahun menggembalakan ternak.
"Kita juga ingin Allah memberkati kita di masa hidup kita, bahkan sesegera mungkin. Pastinya kita tidak mau menunggu sampai empat generasi. Kita berpikir Allah sedang berlambat-lambat atau bersikap pelit dengan berkat-Nya, karena kita hanya mempertimbangkan satu sisi – yaitu sudut pandang pribadi kita sendiri. Tetapi Allah mempertimbangkan banyak faktor dan melihatnya secara keseluruhan."
Dari sudut pandang Yusuf, rangkaian kemalangan ini tampaknya tidak masuk akal pada waktu mengalaminya. Difitnah dan dipenjarakan karena tuduhan palsu bukanlah beban yang mudah dipikul. Tetapi Yusuf tetap bertahan, dan ketika ia melihat kembali ke belakang, semuanya ini menjadi masuk akal. Segala kemalangannya adalah untuk menggenapi maksud yang jauh lebih tinggi. Kita tidak seharusnya percaya buta pada sudut pandang kita, karena kita hanya dapat melihat dari satu dimensi. Tetapi Allah melihat seluruh gambarannya. Segala maksud Allah adalah kebaikan. Kalau kita melihat hanya dari satu sisi, kita tidak dapat melihatnya sepenuhnya. Jadi kita perlu memahami bahwa jalan Allah lebih tinggi daripada jalan kita, dan rancangan-Nya lebih tinggi dari rancangan kita.
Inilah iman. Kalau kita memiliki iman seperti ini, pada akhirnya kita akan berkata, “Amin, sekarang aku tahu kenapa.”
- ABRAHAM: WAKTU ALLAH SEMPURNA
Allah menyuruh Abram meninggalkan tanah kelahirannya, Ur di Kasdim, dan Allah akan memimpinnya ke tanah perjanjian. Tetapi Abram tidak akan memiliki tanah ini, dan setelah angkatan demi angkatan berlalu, barulah keturunannya yang akan memilikinya. Allah juga berjanji bahwa Abram akan menjadi bangsa yang besar, tetapi Abram tidak dapat melihatnya di masa hidupnya. Lebih lanjut, Allah menyatakan kepada Abram, bahwa keturunannya akan menjadi orang asing di suatu tanah asing; dan akan diperbudak oleh tuan-tuan asing dan mengalami penderitaan selama 400 tahun. Apa yang Allah nyatakan kepada Abram ini digenapi jauh setelah Yakub dan keluarganya pindah ke Mesir (Kej. 15:12-16).
Kemampuan Abraham mengimani segala janji Allah merupakan teladan yang luar biasa. Kita perlu banyak belajar dari teladan Abraham ini. Terkadang kita mengharapkan Allah memberkati kita, karena kita merasa sudah menjadi orang Kristen yang baik dan telah melakukan segala perintah dalam Alkitab. Kita juga ingin Allah memberkati kita di masa hidup kita, bahkan sesegera mungkin. Pastinya kita tidak mau menunggu sampai empat generasi. Kita berpikir Allah sedang berlambat-lambat atau bersikap pelit dengan berkat-Nya, karena kita hanya mempertimbangkan satu sisi – yaitu sudut pandang pribadi kita sendiri. Tetapi Allah mempertimbangkan banyak faktor dan melihatnya secara keseluruhan. Dalam konteks bangsa Israel, angkatan keempat yang diam di Mesir akan kembali untuk memperoleh tanah yang Allah janjikan kepada mereka. Karena saat itulah kedurjanaan orang Amori menjadi genap (Kej. 15:16). Allah akan membawa umat-Nya kembali untuk menyatakan penghakiman-Nya. Bangsa Israel dipersiapkan untuk mengusir orang Amori dari tanah Kanaan, karena di mata Allah, mereka tidak lagi layak diam di tanah itu. Selama ini Allah telah memberikan tanah itu kepada orang Amori. Tetapi mereka menanggapi pemeliharaan Allah ini dengan menyembah allah-allah palsu dan mempersembahkan anak-anak mereka dalam upacara-upacara penyembahan berhala, selain dari cara ibadah mereka yang amoral. Akibatnya, ketika dosa-dosa mereka telah mencapai puncak kegenapannya, barulah Allah membiarkan bangsa Israel memperoleh tanah perjanjian.
Singkatnya, iman adalah tentang menerima waktu Allah, karena jalan-Nya lebih tinggi daripada jalan kita. Rencana Allah adalah yang terbaik.
- MUSA: ALLAH MENGETAHUI PELATIHAN YANG KITA BUTUHKAN
Ada alasan lain mengapa bangsa Israel harus tinggal di Mesir. Pada masa itu, Mesir adalah negara dengan peradaban paling maju di wilayah itu. Berbanding terbalik, Israel baru lahir sebagai bangsa. Selama 400 tahun mereka harus bekerja keras dan diperbudak oleh tuan-tuan asing di tanah Mesir. Mereka ditindas. Tetapi Allah berkata bahwa Ia akan menghakimi Mesir, dan bangsa Israel akan keluar dengan harta berlimpah (Kej. 15:14). Maka ketika bangsa Israel keluar dari Mesir, mereka membawa ternak, perak, emas, bahkan segala yang mereka minta (Kel. 12:35-36).
Musa dipilih untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Karena dibesarkan sebagai pangeran Mesir, Musa berpendidikan dalam segala pengetahuan dan hikmat orang Mesir, dan ia juga cakap baik dalam perkataan maupun perbuatan (Kis. 7:22). Hidupnya dalam istana tidak membutakannya dari penderitaan orang Israel, bangsanya. Jadi saat berumur 40 tahun, Musa ingin membawa mereka keluar dari Mesir. Tetapi saat itu, bukannya menggenapi janji-Nya pada Abraham (Kej. 15:13-14), sebaliknya, Allah mengutus Musa ke Midian. Di sana, Musa harus menghabiskan 40 tahun menggembalakan ternak.
"Kita juga ingin Allah memberkati kita di masa hidup kita, bahkan sesegera mungkin. Pastinya kita tidak mau menunggu sampai empat generasi. Kita berpikir Allah sedang berlambat-lambat atau bersikap pelit dengan berkat-Nya, karena kita hanya mempertimbangkan satu sisi – yaitu sudut pandang pribadi kita sendiri. Tetapi Allah mempertimbangkan banyak faktor dan melihatnya secara keseluruhan."
Sekilas, keputusan ini tampaknya tidak masuk akal. Pangeran berumur 40 tahun yang cekatan dan penuh semangat, tentulah jauh lebih berkemampuan daripada gembala 80 tahun yang enggan dan ragu-ragu. Tetapi apabila kita merenungkannya lebih dalam, jalan Allah menjadi masuk akal. Dalam 40 tahun pertama, Musa mempelajari pengetahuan. Dan pada 40 tahun keduanya, ia membangun karakter. Musa di usia 40 tahun sangatlah agresif, perkasa dalam perkataan dan perbuatan. Tentunya dengan kemampuan ini Musa dapat memimpin bangsa Israel, tetapi dapatkah ia mengatur mereka? Di padang belantara Midian, Musa menghabiskan 40 tahun mengurus domba belajar untuk bersabar. Setelah masa itulah, Allah yang memiliki hikmat tak terhingga, menganggap Musa siap untuk menggenapi tujuan Allah dalam 40 tahun terakhir hidupnya. Tanpa hati seorang gembala, Musa tidak memiliki kesabaran menghadapi bangsa Israel di padang gurun. Musa, gembala yang berpengalaman, sudah merasakan betapa seekor domba dapat menjadi begitu keras kepala. Mereka tidak selalu mau mendengarkan gembala, dan seringkali menjerumuskan diri dalam bahaya dengan berkelana, bahkan ke tempat-tempat berbahaya yang sudah diperingatkan gembala. Jadi, pendidikan Mesir melatih Musa untuk memimpin, dan masa hidupnya di Midian memperlengkapinya dengan kemampuan untuk memimpin bangsa Israel dalam segala keadaan, terkhususnya, di padang gurun selama 40 tahun.
Pada akhirnya, jalan Allah selalu lebih baik. Jalan-Nya yang lebih tinggi daripada jalan kita adalah jalan yang sempurna.
- PAULUS: ALLAH TAHU DI MANA DAN BAGAIMANA SUMBANGSIH TERBAIK KITA
Paulus adalah penginjil yang sangat cakap, sebagai pekerja kunci dalam pelayanan. Roh Kudus menyatakan bahwa ia harus pergi ke Yerusalem, walaupun rantai menantinya di sana. Paulus tahu bahwa ia akan ditangkap dan dipenjarakan (Kis. 20:22-23). Orang waras mana pun pastilah akan mendesaknya untuk tidak pergi ke sana. Lagi pula, ada banyak tempat lain untuk diinjili; di luar sana ada banyak orang yang haus akan Injil. Tetapi Paulus tetap pergi, dan seperti yang telah dinyatakan, ia ditangkap. Akhirnya ia dibawa ke Roma dan menjadi tahanan rumah selama dua tahun.
Kalau kita menjadi Paulus, kita dapat berpikir bahwa kemerdekaan untuk bisa pergi ke mana saja dan memberitakan Injil adalah cara terbaik dalam melayani Allah. Namun Allah memiliki rencana lain. Ia menghendaki agar Paulus tetap terbelenggu dan menulis dengan tuntunan Roh-Nya. Dalam kemahakuasaan-Nya, Allah dapat membawa ikan kepada sang nelayan; Ia pun membawa orang-orang kepada penginjil.
Dan benar, dalam dua tahun masa tahanannya itu, Paulus diperbolehkan menerima orang-orang yang datang kepadanya. Ia dapat memberitakan Injil dengan leluasa. Tetapi lebih penting lagi, pada masa tahanan itulah, ia dapat menuliskan surat-surat, yang kemudian menjadi bagian penting dalam Perjanjian Baru. Tulisan-tulisan Paulus dicetak dan diteruskan ke segala angkatan. Jutaan orang dari seluruh dunia membaca surat-suratnya. Jadi dalam masa dua tahun tahanan rumah itu, Paulus berhasil menginjili lebih banyak orang, daripada apabila ia bebas sepanjang hidupnya.
KESIMPULAN
Begitulah cara kerja Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Kita harus meyakini kebenaran ini. Dan jika kita mengimani firman ini, kita harus menjalankannya dalam kehidupan iman kita, sesuai dengan kebenaran ini: dalam kemalangan dan penderitaan, janganlah mengeluh. Selama kita tetap setia kepada Allah, selama kita tetap melakukan apa yang benar, apapun yang terjadi saat ini, ingatlah bahwa kita hanya dapat melihat dari satu sudut pandang. Jalan Allah jauh lebih tinggi. Ia melihat dari berbagai sudut pandang. Percaya dan berimanlah! Berdiam dirilah, jadilah tenang, dan saksikanlah kehendak Allah yang indah dinyatakan kepada kita.