Gunung-gunung Yang Musa Daki
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Philip Shee—Singapura
Gunung-gunung Yang Musa Daki
Kehidupan Musa memiliki banyak pelajaran berharga bagi umat Kristen di masa modern saat ini. Di antara begitu banyaknya peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, gunung-gunung yang didaki Musa mewakili titik-titik balik yang penting baginya. Peristiwa-peristiwa ini dapat memberikan pencerahan bagi kita untuk bisa mengarungi perjalanan iman dan pelayanan. Waktu demi waktu, kehidupan kita bisa saja menjadi tidak ada bedanya dengan kehidupan orang dunia pada umumnya, dan iman kita menjadi tidak bernyawa dan hampa. Jikalau ini terjadi, kita perlu membebaskan diri dari hiruk-pikuk kehidupan dan mendaki gunung-gunung seperti yang dilakukan Musa. Di dataran yang lebih tinggi, kita bisa menenangkan diri untuk merenung, mengatur ulang, memulihkan, dan membangun kembali hubungan kita dengan Tuhan.
GUNUNG HOREB
Perjumpaan Kembali Dengan Tuhan
Gunung Horeb menandai perjumpaan kembali Musa dengan Allah setelah empat puluh tahun di padang gurun. Sebagai orang muda di Mesir, Musa dulunya penuh dengan semangat dan idealisme. Dia memiliki rasa tanggung jawab yang kuat, dan atas inisiatifnya sendiri dia mengunjungi bangsanya, bangsa Israel. Dia dengan berani berusaha memimpin mereka, turut campur ketika dia menyaksikan dua orang dari bangsanya berkelahi. Dia bahkan membunuh seorang Mesir yang menindas salah seorang dari mereka. Namun walaupun niatnya baik, bangsa Israel menolak dia. Di tengah kekesalan dan kebingungan, Musa melarikan diri ke Midian, di mana dia menetap dan hidup dengan damai dan bahagia. Lalu dia mendapatkan seorang istri, menjadi seorang ayah, dan bekerja sebagai gembala domba Yitro, ayah mertuanya (Kis. 7:22-29).
Titik balik ini terjadi empat puluh tahun kemudian, ketika Musa membawa domba-dombanya ke padang gurun dan sampai di Horeb, gunung Tuhan. Di sana, Malaikat Tuhan menampakkan diri kepadanya dalam rupa api, di tengah semak duri. Semak duri yang menyala itu tidak habis terbakar api, sehingga Musa datang untuk melihat lebih dekat. Saat itulah Allah memanggilnya dari antara semak duri. Dalam percakapan yang terjadi, Allah meluruskan kesalahpahaman Musa yang mengira Dia menelantarkan umat-Nya di Mesir. Sesungguhnya, Allah telah melihat penindasan yang terjadi pada umat-Nya, dan telah mendengar seruan mereka. Anugerah-Nya masih menyertai dalam pengujian mereka di Mesir. Itulah sebabnya mereka tidak binasa, sama seperti semak duri itu tidak terbakar. Sebaliknya, bangsa Israel terus bertambah kuat dan semakin banyak jumlahnya. Lalu Allah mengungkapkan bahwa Ia akan mengutus Musa ke Mesir untuk menyelamatkan mereka dan memimpin mereka ke tanah perjanjian, tanah yang berlimpah susu dan madu (Kel. 3:1-10).
Allah Menentukan Jalan Hidup Musa
Pada saat itu, Musa bukan lagi anak muda yang penuh dengan tenaga, semangat, dan idealisme. Ia sudah berkeluarga, dan merasa puas dengan hidup yang tenang dan nyaman. Ia tentunya tidak lagi mencari-cari sensasi, kesenangan, ataupun hal yang dapat merusak hidupnya saat itu. Lagi pula, ia sudah berumur delapan puluh tahun. Dan ia beralih untuk mengurus dirinya selama empat puluh tahun Allah berdiam.
Tidak mengherankan, Musa merasa ragu dan mengajukan berbagai pertanyaan, tetapi Allah sudah mempersiapkan jawaban bagi setiap pertanyaannya. Pertemuan Musa dengan Allah di Horeb menjadi peristiwa yang menentukan hidupnya – karena di saat itulah ia dihubungkan kembali dengan Allah. Sekarang Musa memahami anugerah Allah, dan menyadari bahwa Allah senantiasa menyertai bangsa Israel di tengah penderitaan mereka di Mesir. Lebih penting lagi, Musa menyadari bahwa empat puluh tahun pertama hidupnya di Mesir adalah untuk mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan dan hikmat terbaik dari peradaban paling maju saat itu. Ini menyediakan pelatihan yang diperlukan untuk bisa memimpin sebuah bangsa.
Empat puluh tahun kedua dihabiskan Musa di Midian, dan masa ini juga sama pentingnya. Masa ini adalah untuk membangun sifatnya. Di masa ini, Musa sendirian di tengah padang belantara. Yang menyertainya hanyalah ternak dombanya. Ia belajar untuk menjadi lemah lembut dan rendah hati. Ia belajar untuk bersabar, bersikap tenang, dan hidup dalam kesunyian. Keadaan alam yang keras di sekitarnya memperlengkapi Musa dengan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk menjalani perjalanan padang gurun, di mana dia harus menghadapi kritikan dan kesendirian. Dengan sikap sebelumnya yang impulsif, Musa tidak akan dapat bertahan menghadapi pemberontakan-pemberontakan bangsa Israel.
Setelah delapan puluh tahun belajar dan membangun diri, Musa sekarang telah siap menjalani sepertiga terakhir hidupnya. Masa ini menjadi penggenapan tujuan hidupnya, alasan utama Allah menempatkannya di dunia. Musa meninggalkan Mesir dengan pola pikir seorang laki-laki yang memandang dirinya sebagai pemimpin yang tak terbantahkan, yang “pada sangkanya saudara-saudaranya akan mengerti, bahwa Allah memakai dia untuk menyelamatkan mereka” (Kis. 7:25). Ia begitu percaya diri dengan kepalan tangannya, bahkan siap berkelahi dan membunuh. Namun empat puluh tahun kemudian ketika ia kembali ke Mesir, pola pikirnya menjadi “Siapakah aku?” (Kel. 3:11). Musa merasa tidak bisa apa-apa, bahkan untuk berbicara sekali pun, apalagi untuk berkelahi (Kel. 4:10). Akhirnya ia memahami bahwa ini adalah misi Allah, bukan misinya sendiri. Allah-lah yang akan menyelamatkan umat-Nya melalui kuasa-Nya, bukan oleh kemampuan Musa. Dengan pengertian ini, Musa kembali ke Mesir tanpa apa-apa selain “tongkat Allah itu dipegangnya di tangannya.” (Kel. 4:20)
Menemukan Kembali Tujuan Hidup Kita
Pertemuan Musa dengan Allah di gunung Horeb memberikan beberapa pengajaran penting yang dapat kita renungkan. Hidup kita dapat menjadi sebuah rutinitas, yang menyebabkan kita menjalani hidup secara auto-pilot. Kita bangun, pergi bekerja atau belajar, kembali ke rumah, dan melakukan hal-hal yang sama sebelum tidur. Setiap akhir pekan, kita pun memiliki rutinitas: membaca surat kabar, pergi berbelanja, melakukan pekerjaan rumah tangga, ataupun tidur siang. Hidup menjadi monoton dan tawar. Walau demikian, kita tidak menginginkan lebih ataupun kurang dari itu, karena kita menganggap status quo itu sebagai berkat.
Seperti Musa, masa muda kita penuh dengan semangat. Kita punya tujuan hidup dan misi yang kuat. Namun saat kita mendekati paruh baya, rasa kecewa karena kegagalan mencapai suatu idealisme, kenyamanan hidup, dan komitmen pekerjaan serta keluarga membuat kita lelah. Kita pun pasrah dengan hidup kita yang tidak tergenapi, dan merasa puas untuk bersantai di zona nyaman kelemahan kita. Pada titik itu, sama seperti Musa, kita harus mendaki gunung Horeb. Kita perlu menemukan kembali tujuan hidup kita. Sudahkah kita lupa apakah yang harus kita genapi selagi kita masih hidup? Atau apakah kita merasa sudah tidak mampu mencapainya? Musa berumur delapan puluh tahun saat ia menemukan kembali tujuan hidupnya. Ia pun kembali kepada misinya yang semula, tetapi dengan pendekatan yang diperbarui – bukan dengan kemampuan dan keperkasaannya, atau dengan tinjunya, tetapi dengan tongkat Allah di tangannya. Sungguh, kita juga perlu tongkat Allah dalam hidup dan iman kita.
Kalau kita mendapati diri kita sama seperti Musa di Midian, hanya menghitung domba setiap hari, kita benar-benar perlu mendaki gunung Horeb. Kita harus melepaskan percikan api terakhir dari dalam diri kita. Malah, nilai hidup Musa dinyatakan pada sepertiga terakhir dalam hidupnya. Delapan puluh tahun pertama hidupnya hanyalah untuk mempersiapkan dirinya menghadapi empat puluh tahun pekerjaan Allah. Hari ini, pekerjaan apa yang masih belum kita selesaikan di dunia ini? Sebelum kita berpulang dan kembali kepada Allah, bukankah kita harus menempuh perjalanan ke Horeb? Bukankah kita harus keluar dari zona nyaman kita dan meninggalkan Midian?
GUNUNG DI RAFIDIM
Kemudian, setelah Musa membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, bangsa Amalek menyerang mereka di Rafidim. Sebagai tanggapan, Musa menyuruh Yosua untuk memimpin orang-orang pilihan dan maju berperang, sementara ia sendiri pergi ke atas gunung di Rafidim untuk berdoa. Ia tidak pergi sendirian; Musa membawa Harun dan Hur bersamanya.
Kemenangan Melalui Kerja Sama dan Kesatuan
Peristiwa di Rafidim ini memberikan beberapa pengajaran berharga dalam pelayanan kita kepada Tuhan. Ketika Musa memimpin bangsa Israel mengarungi padang gurun, ia bisa mengetahui kapan ia memimpin dari depan, dan kapan mendukung dari belakang. Ia memahami di mana ia dapat memberikan sumbangsih dan menambahkan nilai pada apa yang diperlukan bangsa Israel pada waktu-waktu tertentu. Musa tidak menempatkan dirinya di garis depan pertempuran dengan bangsa Amalek. Tetapi ia menyediakan sumbangsih yang penting di balik layar. Seperti yang kemudian kita baca, setiap kali Musa mengangkat kedua tangannya, bangsa Israel menjadi kuat; setiap kali tangannya letih dan ia menurunkan tangannya, bangsa Amalek yang menjadi kuat. Musa menyadari kelemahannya, sehingga ia membawa serta Harun dan Hur ke atas gunung agar mereka dapat menopang kedua tangannya (Kel. 17:8-13).
Saat kita melayani Tuhan, kita harus memahami mengapa Musa pergi ke atas gunung di Rafidim. Dalam pelayanan kita kepada Tuhan, tidak ada ruang untuk ego pribadi atau memuliakan diri sendiri. Kemenangan bukanlah buah keberhasilan satu orang, tetapi karena kerja sama, dengan setiap orang memiliki perannya masing-masing. Musa di atas gunung mungkin tidak terlihat oleh pasukan Israel yang sedang berperang di lereng gunung, tetapi kehadiran Musa sangatlah penting dalam peperangan itu. Harun dan Hur lebih tidak kelihatan lagi, tetapi peran dan dukungan mereka juga sama pentingnya. Ada bidang-bidang tertentu di mana kita bersinar, sehingga kita masing-masing perlu menemukan peran kita masing-masing dalam peperangan Allah dan memberikan sumbangsih yang terbaik. Lagipula, kita semua berperang untuk sebuah tujuan yang sama.
GUNUNG SINAI
Di Keluaran 19:20, Alkitab mencatatkan peristiwa mengenai Musa naik ke atas gunung Sinai sesuai perintah Allah. Pasal-pasal berikutnya mencatatkan persekutuan yang dinikmati Musa bersama Allah, saat ia menerima langsung Sepuluh Perintah dan banyak perintah-perintah lainnya. Hukum-hukum ini menjadi dasar pengertiannya akan kebenaran, dan dasar pengajaran-pengajarannya kepada umat Israel. Ketika Musa turun dari gunung, setelah bersekutu dengan Allah, wajahnya bersinar terang (Kel. 34:35). Musa benar-benar terangkat secara rohani.
Bersekutu dengan Allah
Dalam perjalanan iman, kita perlu menyediakan waktu untuk bisa bersekutu dengan Allah. Dunia modern tampaknya sangat sibuk, dan seringkali kita mengeluhkan tidak ada waktu setiap harinya. Namun anehnya, kita masih bisa meluangkan waktu untuk berbagai hal, seperti membaca berita, menggunakan media sosial, atau memeriksa email dan menggunakan internet dengan ponsel kita.
Sebagai orang Kristen, apakah kita telah mengkhususkan waktu setiap harinya untuk saat teduh bersama Allah dalam doa dan pembacaan Alkitab? Dan terkhususnya pada hari Sabat, apakah kita benar-benar bersekutu dekat dengan Allah? Sesungguhnya, kalau kita memiliki hati yang ingin mendekat kepada Allah, menyediakan waktu bukanlah hal yang sulit. Kita mungkin tidak dapat meluangkan waktu empat puluh hari non-stop bersekutu dengan Allah, seperti yang dilakukan Musa. Tetapi kalau kita bisa mengkhususkan saat-saat tertentu setiap harinya untuk berlutut, menenangkan diri, dan merenungkan firman Allah serta kehidupan kita, pastilah rohani kita terangkat. Hal ini akan benar-benar menjadi pembeda dalam hidup kita.
GUNUNG NEBO
Gunung Nebo adalah gunung terakhir yang didaki Musa. Dari titik ini, Allah menunjukkan kepadanya seluruh wilayah tanah perjanjian, yang telah Ia janjikan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Ini adalah penghiburan khusus dari Allah kepada Musa, yang tidak diizinkan Allah untuk memasuki tanah perjanjian, karena ia tidak taat kepada Allah. Musa bukannya memerintahkan air keluar dari batu sesuai perintah Allah, malah memukul batu itu dua kali dan menegur umat Israel dalam amarah. Akibatnya, Allah menghukum Musa dengan melarangnya menyeberangi sungai ke tanah perjanjian (Bil. 20:1-12). Walau Musa memohon kepada Allah, tetapi permohonannya ditolak. Sebagai gantinya, Allah menyuruhnya naik ke atas puncak Pisga (Ul. 3:23-26).
Hukuman Allah tampaknya sangat berat. Musa melakukan satu kesalahan, dan ia tidak diperkenankan mencapai impian hidupnya memasuki tanah perjanjian. Tetapi Allah memegang otoritas-Nya. Dalam kebenaran-Nya, Allah mensyaratkan harga yang harus dibayar atas dosa dan ketidaktaatan. Namun walau Musa tidak diizinkan untuk menyeberangi sungai, Allah menyediakan anugerah dan kasih khusus baginya.
Masa Akhir Musa Bersama Allah
Seperti yang kita baca dalam catatan akhir hidup Musa (Ul. 34:1-7), kita merasakan sentuhan yang mendalam pada salam perpisahan Allah bagi hamba-Nya yang sangat setia. Di sana, selain Musa bersama Allah, tidak ada orang lain. Di gunung itu, Allah menunjukkan kepada Musa pemandangan panorama seluruh tanah perjanjian. Penghiburan khusus yang diberikan Allah kepada Musa merupakan pengalaman yang jauh lebih besar dibandingkan menyeberangi sungai. Di penyeberangan sungai, Musa hanya akan dapat melihat wilayah yang terbatas. Ia masih harus berjalan dan berperang selama bertahun-tahun sebelum ia dapat melihat seluruh tanah perjanjian. Tetapi dari titik pandang gunung Nebo, matanya dapat bersuka melihat seluruh tanah itu. Anugerah Allah benar-benar memelihara Musa, sehingga pada umurnya yang ke-120 tahun, matanya belum pudar dan tubuhnya masih penuh kekuatan. Ia tidak mati oleh karena sakit ataupun penyakit. Dan ia telah menyelesaikan tugasnya serta menggenapi tujuan hidupnya di dunia. Maka tibalah waktu Allah untuk membawanya kembali. Yang lebih hebat lagi, hanya Allah yang mengetahui tempat Musa dikuburkan, karena Allah sendiri yang menguburkannya. Inilah adalah momen terakhir Musa bersama dengan Allah. Siapa lagi manusia di dunia yang memperoleh penghargaan seperti ini?
Kita semua akan mencapai akhir hidup kita. Ketika waktu itu tiba, apakah kita akan naik ke gunung Nebo, sama seperti Musa? Apakah Tuhan ada di sana bersama kita? Apakah kita memperoleh anugerah untuk merenungkan hidup kita bersama-sama Allah, setelah kita menyelesaikan tugas dan menggenapi tujuan hidup kita? Apakah kita dapat melihat tanah perjanjian? Kita mungkin memiliki sederet perkara yang ingin kita lakukan sebelum kita mati – tempat yang ingin kita kunjungi, hal yang ingin kita lihat, ataupun pengalaman yang ingin kita alami. Tetapi saat kita tiba pada waktu terakhir, apakah semua perkara ini ada artinya? Kita mau belajar dari Musa di gunung Nebo. Pada masa terakhir hidup kita, tidak ada lagi yang berarti selain bersama-sama dengan Allah di sisi kita. Sungguh merupakan sebuah berkat yang tak ternilai, apabila Allah mengakui bahwa kita telah menyelesaikan tujuan hidup kita di dunia, dan kemudian menyambut kita masuk ke dalam peristirahatan kekal-Nya.