Daud Mengalahkan Orang Amalek: Pelajaran Tentang Hidup dan Pelayanan
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Michael Hsu — Edinburgh, Inggris
Catatan editor: Pelatihan Pelayanan Afrika (AMTC) yang ke-16 diselenggarakan di London, Inggris, pada bulan Januari 2019. Pelatihan tahunan AMTC diselenggarakan Departemen Penginjilan Dunia Belahan Barat dari Majelis Internasional, dengan bantuan Majelis Pusat Inggris dan Komite Penginjilan Afrika. Meskipun Injil telah masuk ke berbagai negara di Afrika, namun masih banyak bantuan yang diperlukan untuk melatih para pekerja kudus setempat, memperbaiki sistem pendidikan agama, dan membangun gereja. Tujuan dari AMTC adalah untuk menyediakan kesempatan bagi jemaat yang terpanggil dalam penginjilan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan penginjilan ini. Artikel ini didasarkan pada ceramah yang disampaikan dalam acara ini.
Dalam
Reaksi Daud atas kejadian yang mengejutkan ini memberikan banyak pengajaran berharga untuk iman dan pelayanan kita.
Prinsip 1: Tidak Menyalahkan Orang Lain ataupun Memegahkan Diri
“Dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan hendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan, Allahnya.” (1Sam. 30:6)
Ada kecenderungan alami manusia untuk mencari kambing hitam ketika keadaan tidak berjalan dengan baik. Kitab Kejadian menggambarkan, setelah ketidaktaatan dan dosa mereka tersingkap, Adam menyalahkan Hawa, dan Hawa menyalahkan ular. Akhirnya ketiganya dihukum atas tindakan mereka (Kej. 3:12-24). Beberapa generasi setelahnya, ketika nabi Samuel menyoroti kesalahan Saul karena menyisakan musuh dan ternaknya, Saul tidak bersedia menerima kenyataan. Sebaliknya, dia membela tindakannya dengan menyalahkan rakyat, mengatakan bahwa merekalah yang sebenarnya ingin menyimpan barang rampasan tersebut (1Sam. 15:1-21). Tuhan tidak berkenan dengan ketidaktaatan dan sikap tidak bertanggung jawab seperti ini, dan menolak raja pertama Israel (1Sam. 15:23).
Daud – raja kedua Israel – adalah tokoh yang berbeda dengan pendahulunya. Dia kembali ke sebuah kota yang sudah hancur dan dipersalahkan atas keadaan tersebut. Dia tidak berusaha membenarkan diri dengan menyalahkan orang lain ataupun keadaan. Sebaliknya, dia “menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan, Allahnya” (1Sam. 30:6b).
Ketika menjalani kehidupan, kita akan menemui banyak permasalahan dan kesulitan di sepanjang jalan. Dunia pelayanan pun memiliki kesusahan dan kesukarannya tersendiri. Kita dapat dengan mudah tergoda dan menyalahkan orang lain atau sesuatu atas kemalangan kita. Namun Daud menunjukkan kepada kita sebuah prinsip yang penting. Jangan menyalahkan ketika keadaan tidak berjalan dengan baik. Mulailah dengan menyelidiki diri sendiri, apakah kita telah melakukan yang terbaik. Ujilah dengan tulus apakah kita telah bersalah dalam suatu hal. Dan yang terpenting, berpalinglah kepada Tuhan.
Sebaliknya, ketika keadaan berjalan dengan baik, kita cenderung menuntut pujian. Ini adalah sebuah batu sandungan yang harus dihindari dalam pelayanan kita kepada Tuhan. Jangan berpikir bahwa pelayanan kita berhasil karena diri kita yang sangat bertalenta; atau mengira bahwa Tuhan menggunakan kita karena kita teladan yang baik. Dalam Hagai 2:5, Tuhan menguatkan hati orang-orang untuk bekerja, karena Dia ada bersama dengan mereka. Kalimat ini sangat penting. Ketika kita melakukan pekerjaan Tuhan, kekuatan dan kemampuan kita berasal dari pada-Nya. Apapun yang kita capai adalah semata-mata hanya karena Tuhan (Ref.
Prinsip 2: Bertanya kepada Tuhan, Percaya dan Taat
Lalu Daud memberi perintah kepada imam Abyatar bin Ahimelekh: “Bawalah efod itu kepadaku.” Maka Abyatar membawa efod itu kepada Daud. Kemudian bertanyalah Daud kepada Tuhan, katanya: “Haruskah aku mengejar gerombolan itu? Akan dapatkah mereka kususul?” Dan Ia berfirman kepadanya: “Kejarlah, sebab sesungguhnya, engkau akan dapat menyusul mereka dan melepaskan para tawanan.” (1Sam. 30:7-8)
Reaksi lain yang umum terjadi dalam kondisi krisis atau bencana adalah terburu-buru dalam mengambil tindakan. Awal guncangan dapat menyebabkan kita lumpuh. Namun setelah kita kembali sadar, kita akan memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu demi meredakan kegelisahan dan kesedihan kita. Dalam kondisi seperti yang dialami Daud, kita tidak ingin kehilangan waktu untuk menyelamatkan orang-orang tertawan yang kita kasihi, serta mendapatkan kembali kepercayaan dari para pengikut kita.
Daud tidak mengalah pada reaksi yang spontan. Dia menunggu sejenak. Dan yang lebih penting, dia bertanya kepada Tuhan (1Sam. 30:7-8). Pertanyaan Daud yang rendah hati membuatnya dapat mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan setelahnya. Permohonannya juga memungkinkan Daud untuk mendapatkan kekuatan dari Tuhan. Bukan hanya kekuatan untuk mengalahkan musuh-musuhnya, tetapi yang lebih penting, kekuatan untuk percaya pada petunjuk Tuhan.
Dalam peristiwa di Ziklag, Tuhan mengizinkan Daud untuk mengejar orang-orang Amalek. Namun, jika kita berada di posisi Daud, dan Tuhan menyuruh kita untuk duduk, menunggu, dan tidak melakukan apa pun, apakah kita akan taat? Atau kita akan bersikeras pada Tuhan bahwa kita harus bertindak supaya musuh tidak melarikan diri?
Ketika kita menghadapi tantangan dalam pelayanan, baik itu permasalahan pribadi, permasalahan yang berkaitan dengan hubungan kita, atau permasalahan yang lebih luas lagi dalam gereja, kita harus siap berperang. Berperang memerlukan kekuatan dan hikmat dari Tuhan. Untuk memperolehnya, kita harus terlebih dahulu dan terus menerus bertanya kepada Tuhan. Setelah bertanya kepada Tuhan, yang tidak kalah pentingnya bagi kita adalah sepenuhnya taat dan percaya.
Prinsip 3: Biarkan Tuhan Memimpin
“Lalu pergilah Daud beserta keenam ratus orang yang bersama-sama dengan dia, dan sampailah mereka ke sungai Besor. Sementara orang-orang yang mau tinggal di belakang berhenti di sana, maka Daud melanjutkan pengejaran itu beserta empat ratus orang. Dua ratus orang yang terlalu lelah untuk menyeberangi sungai Besor itu, berhenti di sana. Kemudian mereka menemui seorang Mesir di padang lalu membawanya kepada Daud. Mereka memberi dia roti, lalu makanlah ia, kemudian mereka memberi dia minum air.” (1Sam. 30:9-11)
Menanggapi pertanyaan Daud, Tuhan meyakinkannya dengan kemenangan atas orang Amalek. Namun selama pengejaran, ada dua kejadian yang tampaknya memberikan kesan sebaliknya. Pertama, sepertiga dari pasukan Daud berhenti karena kelelahan. Kedua, pengejaran mereka tertunda oleh seorang Mesir yang kelaparan dan sakit, yang dulunya budak dari orang Amalek (1Sam. 30:13). Jika kita berada dalam situasi demikian, sebagian dari kita mungkin akan menjadi ragu terhadap janji Tuhan.
Kesediaan Daud untuk percaya sepenuhnya pada pimpinan Tuhan adalah sebuah pengingat penting untuk tidak bersandar pada pemahaman dan pengalaman sendiri ketika kita mengambil keputusan. Dalam dunia, intuisi dan pengalaman adalah hal penting untuk mendapatkan keberhasilan dalam pekerjaan dan bisnis. Secara alami kita cenderung untuk mengandalkan hal-hal ini juga ketika melayani Tuhan. Kita menganggap bahwa jika kita melakukan dengan cara yang sama akan memberikan hasil yang sama pula. Namun pengalaman Daud menunjukkan bahwa dalam situasi yang serupa, Tuhan dapat memberikan strategi yang berbeda! Oleh karena itu, bahkan ketika kita menghadapi masalah yang serupa dengan apa yang kita hadapi sebelumnya, kita harus tetap mempercayakan Tuhan untuk memimpin. Jika tidak, kita mungkin tidak akan berhasil dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Peperangan di kota Ai adalah sebuah pembelajaran tentang kekeliruan pemahaman manusia. Setelah kemenangan yang luar biasa atas kota Yerikho, orang Israel berpikir bahwa mereka dapat dengan mudah mengalahkan kota Ai yang kecil (Yos. 7:2-5). Namun mereka keliru. Beberapa dasawarsa setelahnya, Nabi Samuel juga melakukan kekeliruan yang sama. Dia mengandalkan penilaiannya melihat dari penampilan luar untuk menentukan anak Isai yang mana yang akan menjadi raja (1Sam. 16:6). Dia keliru.
Meskipun penting untuk membuat sebuah rencana, namun kita perlu mengingat bahwa Tuhanlah yang mengarahkan langkah kita (Ams. 16:9). Untuk dapat melayani Tuhan dengan efektif, kita harus mempersembahkan banyak waktu untuk berdoa, baik di pagi maupun malam hari. Menantikan Tuhan setiap hari adalah bagian penting dalam melayani-Nya. Kita mau percaya kepada-Nya dan membiarkan Dia bekerja. Ketika kita terburu-buru mengerjakan sesuatu hal, seringkali akhirnya akan menyakiti diri kita sendiri. Dalam segala keadaan, biarlah kita dapat membiarkan Tuhan yang memimpin kita, karena inilah jalan menuju keberhasilan.
Prinsip 4 : Tuhan Menggunakan Yang Biasa Untuk Maksud Yang Luar Biasa
“Kemudian bertanyalah Daud kepadanya: “Budak siapakah engkau dan dari manakah engkau?” Jawabnya: “Aku ini seorang pemuda Mesir, budak kepunyaan seorang Amalek. Tuanku meninggalkan aku, karena tiga hari yang lalu aku jatuh sakit. Kami telah menyerbu Tanah Negeb orang Kreti dan daerah Yehuda dan Tanah Negeb Kaleb, dan Ziklag telah kami bakar habis.” Daud bertanya kepadanya: “Dapatkah engkau menunjuk jalan kepadaku ke gerombolan itu?” Katanya: “Bersumpahlah kepadaku demi Allah, bahwa engkau tidak akan membunuh aku, dan tidak akan menyerahkan aku ke dalam tangan tuanku itu, maka aku akan menunjuk jalan kepadamu ke gerombolan itu.”” (1Sam. 30:13-15)
Daud dan pengikut-pengikutnya tidak tahu di mana orang Amalek berada, walaupun mereka sangat ingin memburu mereka. Ketika mereka menjumpai seorang pria yang hampir mati, Daud dapat dengan mudah mengabaikannya karena akan membuang waktunya yang berharga. Namun karena belas kasihan, Daud menyediakan makanan dan minuman kepada orang Mesir muda ini. Orang yang berterima kasih ini menjadi informan penting tentang keberadaan kemah orang Amalek. Dengan demikian Daud dan orang-orangnya dapat menyerang dan berhasil mengalahkan orang Amalek.
Dalam kehidupan, kita sering diperhadapkan pada hal-hal yang tampaknya tidak relevan dan remeh, sehingga kita tergoda untuk mengacuhkannya; karena kita merasa sudah terlalu sibuk, dan akan ada orang lain yang mengurus hal-hal remeh ini. Namun Alkitab berulang kali menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan menggunakan tokoh biasa dan kejadian remeh untuk menyempurnakan kehendak-Nya. Elia dirawat oleh seorang janda dari Sarfat (1Raj. 17:9). Naaman dapat mengenal Allah Israel yang sejati melalui seorang budak perempuan kecil yang dimiliki istrinya (2Raj. 5). Yesus menggunakan bekal dari seorang anak, yaitu roti jelai dan ikan untuk memberi makan lima ribu orang (Yoh. 6:9). Oleh karena itu, kita jangan menolak “hal kecil” – Tuhan dapat menggunakan hal-hal seperti ini untuk mengubahkan kita. Demikian juga dalam kehidupan pelayanan kita, menetapkan prioritas adalah hal yang penting. Namun agar tidak keliru dan mengabaikan hal-hal kecil yang Tuhan anggap penting, kita harus berusaha untuk mengerti kehendak Tuhan, dan memastikan bahwa prioritas kita sama dengan prioritas-Nya.
Pemikiran inilah yang harus tertanam dalam benak kita – walaupun kita merasa tidak memiliki apapun dan kurang bertalenta, namun Tuhan melampaui logika manusia dan dapat memakai kita untuk menyelesaikan perkara-perkara yang besar. Ketika kita mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya, Ia dapat melakukan mujizat-Nya. Marilah kita selalu bersiap akan panggilan-Nya (Yes. 6:8) dan dengan kerendahan hati, kita dapat menjadi alat mulia yang siap dipakai-Nya.
Prinsip 5: Kesetiaan, Kualitas yang Sangat Berharga
Daud dan orang-orangnya berhasil mendapatkan kembali semua yang sebelumnya hilang. Mereka hendak membagikan barang rampasan di antara mereka sendiri dan tidak akan memberikan apapun kepada orang-orang yang tidak ikut serta ke medan perang. Namun Daud berkata kepada orang-orangnya, “Janganlah kamu, saudara-saudaraku, berbuat demikian, dengan apa yang diberikan TUHAN kepada kita.” (1Sam. 30:23) Daud sadar bahwa baik mereka yang ada di medan perang maupun mereka yang tinggal untuk melindungi persediaan, layak mendapatkan upah.
Pekerjaan di garis depan mungkin tampak lebih mempesona dan sepertinya layak mendapatkan penghargaan. Namun semua orang yang dengan setia melayani Tuhan juga layak mendapatkan upah, tanpa mempedulikan pekerjaan apa yang mereka lakukan. Hari ini, beberapa orang mendedikasikan dirinya menjadi pendeta, sementara yang lain membaktikan diri sebagai pekerja paruh waktu, sambil mencari uang untuk mengurus keluarga mereka. Namun semuanya sama-sama berharga di mata Allah. Yang Tuhan tuntut dari kita adalah agar kita tetap melakukan pekerjaan kita dengan setia. Alkitab memberitahukan bahwa kesetiaan adalah kualitas yang sangat penting dalam rumah Tuhan (Luk. 16:10).
Kisah Para Rasul 8:4 mencatat tentang penganiayaan gereja dan bagaimana “jemaat” yang tersebar menjelajah seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil. Kita mungkin berpikir bahwa sudah merupakan tugas para pendeta untuk menguatkan iman dan mengabarkan Injil. Namun ayat ini memberitahukan kita bahwa jemaat-jemaat biasa, mereka yang tidak pernah disebutkan namanya, namun disebut atas tanggung jawab mereka. Mereka memiliki sebuah misi dalam benak mereka. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka, namun mereka tetap setia pada firman Tuhan dan mengabarkannya.
Hari ini, setiap orang percaya dipanggil untuk memberitakan Injil (Mat. 28:19-20; Mrk. 16:15). Kita harus setia dalam melaksanakan amanat agung ini. Karena itulah, kita perlu mempersembahkan waktu kita mempelajari doktrin-doktrin, memperlengkapi diri kita dengan firman Tuhan dan mempertahankan kebenaran-Nya. Pada saat yang bersamaan, sikap kita harus menunjukkan bahwa kita adalah murid-murid Yesus. Tekunlah berdoa memohon kekuatan dari atas, agar kita dapat melayani dengan setia dalam Kerajaan Allah, ke mana pun kita diutus.
Kesimpulan
Jalan di depan kita adalah jalan yang sulit, terutama bagi kita yang hidup di akhir zaman. Karena itulah kita harus percaya kepada Tuhan dan mengikuti tuntunan-Nya. Selama kita setia, Tuhan akan menerima persembahan kita; dan pada akhirnya, walaupun kita adalah hamba yang tidak memiliki apa-apa, kita akan menjadi kaya oleh upah-Nya ketika Dia datang kembali.
Biarlah kita tetap setia bekerja untuk-Nya. Amin.