Membangun Mezbah Di Masa Pandemi
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Jemaat gereja London – London, Inggris
PENDAHULUAN
Dengan membangun mezbah di rumah, kita mempersembahkan korban pujian, ucapan syukur, dan bakti kita kepada Tuhan setiap harinya. Ini lebih dari sekadar perbuatan lahiriah berdoa dan membaca Alkitab, tetapi dengan sungguh-sungguh berusaha menyelaraskan hati kita dengan hati Tuhan dan mengenal-Nya dengan lebih baik lagi. Kita dapat belajar dari teladan Daud, seorang yang berkenan di hati Allah dan yang melakukan kehendak-Nya (Kis. 13:22;
Bersyukur kepada Tuhan, walaupun kita tidak dapat berkumpul secara jasmani selama pembatasan sosial, gereja di London telah mengadakan berbagai kegiatan daring untuk mendirikan mezbah. Kegiatan-kegiatan daring ini antara lain kebaktian tengah pekan, persekutuan pemuda, pemahaman Alkitab, dan paduan suara. Dalam artikel ini, saudara-saudari gereja London membagikan pengalaman mereka.
MEZBAH PERSEKUTUAN
Aveline Shek
“Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat. 18:20)
Puji Tuhan atas kesempatan untuk menceritakan tentang kasih karunia-Nya ini.
Tuhan benar-benar telah memimpin saya dalam tahun pertama kuliah dan memelihara rohani saya di tengah penutupan gereja fisik yang berkepanjangan selama pandemi. Diterima bersekolah di London, saya sangat menanti-nantikan untuk berkebaktian dan mengikuti persekutuan dengan pemuda gereja di sini. Saya bahkan memilih akomodasi yang seperjalanan kaki dari gereja.
Namun, jalan Tuhan lebih tinggi daripada jalan saya, dan rancangan-Nya daripada rancangan saya (Yes. 55:9). Saya tidak menyangka persekutuan-persekutuan ini akan dibawa langsung ke jari-jari saya. Pembatasan sosial pertama di London dimulai pada bulan Maret 2020, sebelum saya memulai kuliah. Sekitar akhir April, salah satu saudari dari gereja saya di Edinburgh yang juga sedang belajar di London, mengajak saya untuk mengikuti persekutuan pemuda secara daring pada hari Sabtu yang diadakan dua kali sebulan. Persekutuan ini saya ikuti dengan baik. Sekitar 20-an muda-mudi mengikuti kegiatan ini untuk mendengarkan para pendeta dan saudara-saudari membagikan beragam topik, antara lain dasar-dasar kepercayaan, kesadaran akan pelayanan, dan doa puasa untuk pembangunan rohani di rumah. Melalui kegiatan-kegiatan ini, Allah menyediakan kesempatan bagi saya untuk mendirikan mezbah persekutuan dengan muda-mudi di gereja London, bahkan sebelum saya pindah ke sana.
Lewat pesan Whatsapp dan Zoom, saya benar-benar merasakan kasih, dukungan rohani, dan sambutan yang hangat dari saudara-saudari di London. Saat merenungkan masa-masa sejak saya mengikuti persekutuan-persekutuan ini, jelaslah bahwa bergiat dalam acara-acara daring ini, bagaimana pun keadaan yang ditimbulkan oleh pandemi, dapat mendirikan mezbah pribadi sangatlah tidak ternilai. Ketika Allah berbicara kepada saya melalui saudara-saudari seiman dalam pembelajaran Alkitab, persekutuan, dan kebaktian, saya belajar bahwa mengesampingkan pekerjaan kuliah, hiburan, dan interaksi sosial, patutlah dilakukan untuk dapat menetapkan pandangan saya pada perkara surgawi di tengah masa transisi dan ketidakpastian saat ini. Kiranya segala kemuliaan hanya bagi Allah! Amin.
MEZBAH IMAN PRIBADI
Caleb Chan
Pandemi ini merupakan masa yang sulit dan tidak pasti bagi banyak di antara kita. Karena terbiasa mengikuti kebaktian Sabat di gereja dan bertemu langsung dalam persekutuan setiap minggunya, pada awalnya mengikuti kebaktian Sabat di rumah adalah hal yang sulit bagi saya. Saya merindukan kehangatan yang sudah biasa saya rasakan dalam pertemuan-pertemuan di gereja.
Saya segera menyadari bahwa perasaan aneh yang menggelisahkan ini dikarenakan iman saya yang masih mengandalkan orang lain. Mezbah iman saya ditujukan untuk menyenangkan orang lain ketimbang Allah. Kalau iman saya seperti ini, bagaimanakah mungkin iman saya dapat berdiri teguh menghadapi kesukaran? Bagaimanakah iman saya dapat tetap berdiri tegak saat orang-orang di sekitar saya mulai terjatuh dalam iman mereka?
Pada waktu KKR Siswa Nasional musim panas terakhir, kami belajar tentang perumpamaan-perumpamaan Yesus. Dari perumpamaan Sepuluh Gadis, kami belajar bagaimana gadis-gadis bodoh tidak mempersiapkan cukup minyak. Akibatnya, keselamatan mereka terancam, dan ini menekankan betapa pentingnya kita memikirkan iman kita secara serius. Kita tidak dapat mengandalkan iman orang lain saat Tuhan datang kembali. Pengajaran untuk memandang iman kita secara serius ini terus bergaung dalam pikiran saya sepanjang pandemi.
Saya bersyukur kepada Tuhan, di masa pandemi ini gereja masih dapat mengadakan berbagai persekutuan, pelajaran Alkitab, kelas pendidikan agama, dan KKR secara daring. Kegiatan-kegiatan ini membantu saya memahami pentingnya memusatkan ibadah saya kepada Tuhan ketimbang menunjukkan kesalehan di mata manusia.
“Tetapi jawab Samuel: ‘Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.’” (1Sam. 15:22)
Apakah mezbah kita dibangun di atas dasar ketaatan dan iman kita kepada Allah? Atau kita hanya beribadah kepada Tuhan untuk dilihat orang lain? Kiranya kita senantiasa membangun mezbah kita bagi Allah dan bukan demi diri sendiri ataupun orang lain.
MEZBAH IBADAH YANG TULUS
Charmian Chong
Pengumuman tentang pembatasan sosial (lockdown) secara nasional pada bulan Maret 2020 menyebabkan latihan paduan suara mingguan kami di gereja dihentikan, dan kami harus berpindah ke kegiatan paduan suara secara daring. Memimpin anggota-anggota paduan suara lewat Zoom sangatlah berbeda dengan mendengarkan seluruh paduan suara memuji Tuhan bersama-sama di gereja. Proses ini sangat menantang dan perlu pembelajaran secara cepat, yang seringkali menguji kesabaran kami dengan teknologi. Rata-rata ada 12-15 anggota paduan suara yang mengikuti latihan secara daring setiap pekan. Latihan biasanya terdiri dari mengajarkan cara bernyanyi dan menyatakan lirik-lirik kidung, tetapi hanya mikrofon pemimpin paduan suara yang dinyalakan untuk menghindari masalah-masalah teknis. Menyanyi bersama-sama tanpa dapat mendengar suara teman-teman lainnya sangatlah menyulitkan. Namun demikian, berkat, pengajaran, dan sukacita yang kami dapatkan dari saling berbagi tentang perenungan pada lagu-lagu kidung ini jauh lebih besar daripada kesulitan-kesulitan ini.
“Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, bawalah persembahan dan masuklah menghadap Dia! Sujudlah menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan.” (1Taw. 16:29)
Saat mempelajari lagu berjudul Worship the Lord in the Beauty of Holiness, yang disusun oleh seorang saudari di Amerika Serikat, kami merenungkan ayat di atas. Kami bertanya pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar mempersembahkan kesalehan dan penyembahan yang sama kepada Tuhan di rumah, walaupun tidak berada secara fisik di gereja? Saya sadar bahwa diri saya mudah menjadi santai saat mendengarkan khotbah di tengah lingkungan yang santai di ruang tamu. Namun Allah menyelidiki hati kita, dan Ia layak memperoleh yang terbaik. Kidung ini juga mengingatkan apakah kita mengikuti kebaktian Sabat secara daring di rumah atau berada dalam gedung gereja, Allah sepatutnya memperoleh persembahan hati kita seutuhnya di hadapan-Nya dalam ibadah yang sejati.
PEMBELAJARAN ALKITAB SETIAP HARI: ALLAH MENGISI KEHAMPAAN SAYA
Chris Yau
Haleluya, di dalam nama Tuhan Yesus Kristus saya bersaksi.
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” (Ef. 1:3)
Pembatasan sosial pertama di tahun 2020 memungkinkan saya sungguh-sungguh merenungkan iman saya dan bagaimana Allah senantiasa memimpin dengan cara-caranya yang ajaib. Salah satu contoh pimpinan-Nya adalah lewat pembelajaran Alkitab.
Tidak lama setelah pembatasan sosial dimulai, muda-mudi di gereja London memutuskan untuk mengadakan pembelajaran Alkitab informal setiap harinya. Sejak dimulai, kami telah bersama-sama mempelajari sebagian besar Perjanjian Baru dan sebagian kecil Perjanjian Lama. Kami saling menasihati untuk terus mempelajari firman Allah dan bersekutu, bagaimana pun keadaannya. Bagi saya secara pribadi, perkara kecil yang rutin ini telah memberikan pengaruh yang jauh lebih besar dibanding pembelajarannya.
Ketika saya merenungkannya, keadaan saya berbeda dengan para muda-mudi lainnya; saya tidak tinggal di London, dan saya sudah kembali ke rumah di Limerick, Republik Irlandia. Di sini, saya tidak punya banyak teman, kerabat dekat, ataupun pemuda gereja setempat. Jadi saya menghabiskan banyak waktu secara independen, yang dapat memberikan pengaruh negatif bagi iman saya apabila berlangsung lama. Tetapi Allah melihat kebutuhan saya. Melalui kegiatan pembelajaran Alkitab ini, Gereja London mulai melibatkan saya kembali dalam berbagai persekutuan dan pelayanan. Antara lain, memimpin persekutuan, membantu KKR Siswa Nasional, dan membantu audio-visual dalam kegiatan dan kebaktian daring, yang dilangsungkan lewat Zoom dan StreamYard. Allah benar-benar bekerja dengan cara-cara yang ajaib; dengan mengizinkan saya untuk melayani. Ia menyelamatkan saya dari kesendirian dan isolasi batin. Kita dapat menganggap hal ini sebagai berkat ganda!
Saya diingatkan bahwa perkumpulan rohani yang kecil dan santai ini tidak dapat diremehkan. Tuhan Yesus berkata, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat. 18:20) Dan beranjak dari sini, Tuhan Yesus akan memberkati kita lebih banyak lagi. Saya juga bersyukur pada teman-teman yang masih menganggap saya bagian dari mereka dalam segala bentuk kegiatan. Tanpa mereka sadari, mereka telah menolong saya, dan saya berdoa agar Allah senantiasa memberkati kita semua.
Kiranya segala kemuliaan bagi Bapa kita di surga! Amin.
TEAM FLY
Gaius Zhou
“Sesudah itu Ishak mendirikan mezbah di situ dan memanggil nama TUHAN. Ia memasang kemahnya di situ, lalu hamba-hambanya menggali sumur di situ.” (Kej. 26:25)
Saat saya berpikir tentang mendirikan mezbah, saya teringat pada tokoh-tokoh di Kitab Kejadian. Mereka menunjukkan kita bahwa di manapun mereka pergi, mendirikan mezbah adalah bagian penting dalam hidup mereka. Mereka perlu mezbah untuk beribadah dan untuk menghadapi berbagai persoalan; mereka diberkati dalam perbuatan-perbuatan mereka karena ingat bahwa mereka memiliki Allah yang Maha Besar.
Begitu juga, selama studi saya, persekutuan tengah pekan bagi muda-mudi London (FLY – Fellowship for London Youths) adalah mezbah bagi saya. Kegiatan-kegiatan ini diikuti oleh pemuda mahasiswa dan pemuda masyarakat yang berkumpul untuk bersekutu, mempelajari Alkitab, dan berdoa. Kadang-kadang saya merasa enggan untuk mengikutinya; saya hanya punya sedikit waktu dan merasa lebih ingin menghabiskan waktu saya untuk belajar. Tetapi saya menyadari, bahwa pada akhirnya, Allah-lah yang memegang kendali. Dia-lah yang memberikan saya hikmat, kekuatan, dan kesempatan untuk belajar, jadi saya selayaknya tidak boleh melalaikan mezbah ini. Melalui persekutuan memungkinan saya untuk mendoakan masalah-masalah yang saya hadapi, memohon pimpinan Allah dalam pendidikan saya, dan memperoleh nasihat dari cara-cara para tokoh Alkitab mengandalkan Allah untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, saya percaya bahwa Allah akan menolong setiap orang yang menghadapi tekanan dan kesulitan serupa, seperti yang saya hadapi.
Walaupun pandemi ini menyebabkan para muda-mudi tidak dapat berkumpul dan bersekutu di gereja, namun lewat pandemi ini menunjukkan pentingnya kita meneruskan membangun mezbah. Di tengah ditutupnya kebaktian dan persekutuan tatap muka, kita dapat dengan mudah mengabaikan pembangunan rohani dan lebih mementingkan pendidikan, pekerjaan, atau bersantai. Sebagai koordinator persekutuan pemuda, saya menyadari bahwa menjaga jadwal FLY tetap aktif sangatlah penting, agar para muda-mudi dapat memperoleh kesempatan di tengah pekan untuk mendapatkan berkat dan pertolongan Allah di masa yang tidak pasti ini.
Walaupun perpindahan ke wadah online secara teknis menantang, seperti kesulitan dalam memilih platform dan hari yang tepat untuk mengadakan FLY sembari mengatasi masalah-masalah audio dan konektivitas, tetapi oleh karena kasih karunia Allah, persekutuan dapat berjalan lancar di Zoom sejak pembatasan sosial dimulai. Selain itu, keberadaan FLY juga dapat mengakomodasi muda-mudi yang sebelumnya tidak dapat menghadiri kebaktian di gereja, karena mereka tinggal begitu jauh. Kami bersyukur kepada Allah yang memimpin para muda-mudi. Kiranya kita semua saling mendorong untuk membangun mezbah kita.
Biarlah segala kemuliaan dan puji-pujian bagi Tuhan! Amin.
KETENTERAMAN MELALUI PUJIAN
Ivone Bailes
“Bow the knee,
Lift your eyes toward heaven and believe
the One who holds eternity.
And when you don’t understand the
purpose of His plan,
In the presence of the King,
Bow the knee.”
Haleluya, di dalam nama Tuhan Yesus Kristus saya bersaksi.
Saya adalah asisten perawat senior dan sudah memegang jabatan ini selama enam tahun. Saya bekerja di salah satu rumah sakit tersibuk di London, dan sejak gelombang pertama pandemi, pekerjaan saya menjadi sangat sibuk dan penuh tekanan. Seringkali saya merasa sangat lelah, sehingga setelah pulang, saya langsung mandi dan tidur. Setiap hari saya berisiko terpapar virus korona, dan saya merasa kuatir dengan keselamatan saya dan juga keluarga saya. Jadi setiap pagi dan malam, saya berdoa kepada Tuhan memohon perlindungan dan penjagaan-Nya. Pada bulan Oktober 2020, saya menerima kabar dari ibu saya bahwa keponakan saya dirawat inap karena asma. Saya tidak banyak memikirkannya karena ia masih berusia di awal 40-an dan sehat. Namun beberapa hari kemudian, ibu saya mengabarkan bahwa ia telah meninggal dunia karena COVID-19. Saya merasa terkejut dan sedih mendengar kabar ini. Tidak ada di antara kami yang tahu ia terjangkit virus ini. Keluarga kami sangat berduka atas kepergiannya. Hal ini di luar kemampuan kami.
Beberapa pekan kemudian, hati saya hancur mendengar kabar bahwa ibu saya yang tinggal di Brazil, juga terkena penyakit ini. Ibu saya berumur 76 tahun dan memiliki berbagai masalah kesehatan, seperti diabetes dan tekanan darah tinggi, sehingga ia tergolong dalam kategori risiko tinggi. Saat ia dirawat di rumah sakit, saya dan keluarga merasa bahwa ibu akan mati. Kami menguatirkan yang terburuk akan terjadi. Dalam kebingungan, saya teringat pernah bertanya kepada Tuhan, “Kenapa? Kenapa ibu saya? Kenapa ini terjadi?” Saya merasa begitu putus asa dan tidak berdaya; saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Rasanya seperti mau gila.
Namun, saat saya berusaha menerima keadaan ini, saya merasakan Roh Allah meliputi diri saya. Perasaan damai dan tenang menghampiri saya. Saya mendengar Dia berbicara kepada saya melalui lagu pujian di atas, yang kami nyanyikan dalam paduan suara: “Saat jalan semakin gelap, dan pertanyaan tak terjawab, berpalinglah kepada-Nya.”
Saya juga merenungkan Mazmur 23:4:
“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”
Rasanya seperti Tuhan berbicara langsung dan menghibur saya melalui pujian ini dan firman-Nya. Saya perlu berdoa, dan saya tahu bahwa saya tidak berdoa sendirian – saya punya saudara-saudari seiman dalam Kristus yang berdoa bersama-sama. Saya mengirim pesan ke grup Whatsapp paduan suara, meminta tolong mereka untuk mendoakan ibu saya. Saya juga memberitahukan keluarga bahwa anggota-anggota gereja mendoakan mereka dan ibu saya. Allah sungguh ajaib; Ia mendengar doa kami, dan ibu saya selamat. Dari pengalaman ini, saya merasa sangat terhibur oleh kasih saudara-saudari seiman dalam Kristus.
Ibu saya bisa pulang dari rumah sakit, dan ia telah pulih sepenuhnya. Saya kemudian menceritakan kepadanya tentang gereja dan bagaimana saudara-saudari seiman mendoakan keluarga kami. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan Yesus atas anugerah dan berkat-berkat-Nya. Di waktu-waktu saya sangat sibuk dengan pekerjaan, saya tidak banyak meluangkan waktu untuk berdoa. Pada masa-masa keputus-asaan itulah saya teringat bahwa saya harus berdoa kepada Tuhan. Saat saya mencurahkan hati kepada saudara-saudari seiman secara online, memohon bantu doa, berdoa bersama, menyanyikan puji-pujian, saya menerima banyak penghiburan dari keseharian pekerjaan yang sangat sibuk. Meluangkan waktu bersama Tuhan dan saudara-saudari seiman memungkinkan saya tetap menjalani hidup. Saya bersyukur kepada Allah dapat berdoa di rumah bersama-sama saudara-saudari seiman. Ini adalah mezbah saya. Saya berharap di masa yang sulit ini, orang-orang dapat memperoleh ketenteraman dan pengharapan dari kesaksian ini.
Segala kemuliaan bagi Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.
CARILAH TUHAN DI MASA SUKA MAUPUN DUKA
Joanne Jones
“Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!” (Mzm. 103:1-2)
Pembatasan sosial menjadi berkat bagi saya karena tidak perlu keluar rumah. Saya bisa tetap berada di rumah dan tidak mendapat masalah karena saya memiliki kondisi kulit yang disebut eczema. Saat berlibur di tahun 2019, saya mengalami gejala yang parah berupa ruam hebat di dada, dipicu ketika saya mendengar kabar tentang kematian ibu dan juga ayah angkat saya yang mengalami serangan jantung. Saya bersama saudari saya tiba di Trinidad dengan kegiatan menyedihkan untuk mengatur pemakaman ibu dan mengunjungi ayah angkat saya di rumah sakit. Ia pun meninggal dunia tak lama kemudian, delapan hari setelah ibu saya. Ruam di dada saya menjadi sangat gatal dan terasa perih, tetapi saya berusaha menahannya sampai saya kembali ke Inggris.
Saat saya berusaha menerima keadaan ini dan kembali dalam rutinitas sehari-hari, keadaan kulit saya semakin memburuk, dan ruam semakin menyebar. Bergerak terasa menyakitkan, dan rasa gatal semakin menggila saat malam tiba, membuat tidur saya terputus-putus. Saat pandemi memaksa negara mengadakan pembatasan sosial, saya tidak lagi harus bangun dari tempat tidur, berpakaian, dan naik MRT ke tempat kerja. Saya dapat tinggal di rumah dan mengenakan pakaian yang tidak menyiksa kulit.
Ruam yang saya alami tidak lagi terbatas di daerah dada, tetapi sudah meliputi sekujur tubuh, dari kulit kepala sampai kaki. Hanya wajah saya yang tidak terkena. Saya menggaruk dan mengorek kulit. Saya merasa perlu merekam apa yang terjadi pada diri saya. Saya memotret paha, kaki, dada, dan lengan, di mana pun eczema menyerang kulit saya. Saya benar-benar membenci penampilannya dan rasa yang diakibatkan oleh ruam ini. Penyakit ini membuat saya tersiksa. Tetapi ada Tuhan. Walaupun penyiksaan jasmani mendera tubuh, saya dapat merasakan hadirat Tuhan yang mendorong saya untuk berdoa. Saya berdoa, namun tidak bisa terlalu lama – sulit rasanya konsentrasi karena kulit saya yang gatal, bahkan saat berdoa.
Walaupun saya lega tidak perlu datang ke gereja dan menghadapi jemaat dengan keadaan kulit saya, saya merindukan kesempatan untuk berdoa bersama mereka, dan karena itu saya merasa kesepian di waktu-waktu tertentu. Saya ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi saya sulit berdoa dan berpuasa. Saya masih merasakan dukacita atas kematian ibu dan ayah angkat saya.
Namun saya bersyukur pada Tuhan atas kesempatan dapat mengikuti pembelajaran Alkitab yang diadakan muda-mudi gereja London pada malam hari, yang menolong saya menjaga hubungan dengan jemaat dan diingatkan pada kesetiaan Allah kepada anak-anak-Nya. Saya dapat mencamkan pengajaran-pengajaran yang didapat dari tokoh-tokoh Alkitab yang kami pelajari dan bagaimana orang-orang percaya memperoleh damai sejahtera dan berkat walaupun harus menghadapi pengujian. Saya membandingkan sikap saya dengan sikap mereka. Apakah saya hanya mencari Tuhan di saat duka? Atau saya mencari Dia juga di masa-masa suka? Saat keadaan kulit saya membaik, saya merenungkan kembali pentingnya doa dan mendirikan mezbah di rumah. Saya berusaha semakin mengenal hati Allah dari firman-Nya dan belajar untuk bersyukur atas segala hal.
Segala kemuliaan bagi Tuhan! Amin.
MEZBAH HATI
Nicholas Tam
“Sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.” (Ef. 3:17)
Puji Tuhan atas kesempatan untuk bersaksi bagi-Nya.
Di tahun 2019, saat mulai semakin terlibat dalam pelayanan di gereja London, dan belajar bertumbuh di tengah saudara-saudari seiman, saya membangun mezbah ibadah dan pelayanan saya di gereja. Hal ini menanamkan keyakinan dalam diri saya, bahwa secara perlahan namun pasti, saya sedang membangun iman yang murni dalam Tuhan.
Kemudian virus korona tiba di Inggris, dan tidak lama kemudian saya terkurung di tempat kost di tengah kota London, dan harus mengikuti kebaktian dan segala pelayanan gereja secara online. Ketiadaan kontak dan interaksi tatap muka menyergap saya. Sebelumnya, saya menganggap biasa-biasa saja dapat berdoa, menyanyikan pujian, dan saling menasihati secara tatap muka. Barulah saya menyadari, bahwa walaupun mezbah saya memang dibangun, tetapi sebagian besar dibangun di atas dasar orang lain.
Puji syukur kepada Tuhan, pembatasan sosial ini membuat saya memiliki lebih banyak waktu untuk merenung. Lebih penting lagi, keadaan ini memungkinkan saya untuk memindahkan mezbah yang saya bangun di gereja ke dalam rumah saya sendiri, dengan mempelajari bagaimana melakukan segalanya di rumah, seperti yang saya lakukan di gereja. Di antaranya, mengikuti kebaktian Sabat secara penuh di rumah seperti saat di gereja, dan juga menunjukkan ketaatan dan kesalehan kepada Tuhan saat mengikuti berbagai ibadah dan persekutuan.
Saya juga belajar untuk mengubah mezbah yang jasmani menjadi mezbah yang rohani, yang berdiri di atas hati saya. Pembatasan sosial ini mengingatkan saya bahwa berapa pun banyaknya yang kita persembahkan di atas mezbah yang jasmani, yang Tuhan inginkan sesungguhnya adalah hati yang tulus dan kerelaan untuk mencari Dia. Sekarang saya belajar untuk memelihara mezbah ini secara mandiri, dan semakin menguatkannya dengan firman Allah dan saling berbagi (secara virtual tentunya), melalui pemupukan rohani dan perenungan pribadi yang konsisten.
Kiranya segala kemuliaan bagi nama-Nya! Amin.
PENUTUP
Mendirikan mezbah bagi Tuhan adalah sebuah keistimewaan; mezbah ini bukan untuk kebaikan Tuhan, tetapi kebaikan kita sendiri. Allah telah mengundang kita untuk mendirikan takhta-Nya dalam hati. Saat berdoa, membaca Alkitab, dan mencari wajah-Nya, kita menambah pengetahuan tentang Dia dan menguatkan hubungan kita dengan-Nya. Membangun mezbah adalah sebuah tindakan rasa syukur, mengakui bahwa dalam segala keadaan, seperti pandemi global, perang, penyakit, ketakutan, rasa ragu, atau kegagalan, kita dapat menaruh pengharapan kepada-Nya. Pandemi ini telah menunjukkan kepada kita bahwa membangun mezbah tidak terbatas pada waktu kita berada secara jasmani di dalam bangunan gereja, tetapi perlu juga kita lakukan di dalam rumah kita sendiri.
Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa firman-Nya menyatakan kepada kita bagaimana kita seharusnya mengarahkan hati kepada-Nya sepenuhnya. Pandemi ini sungguh adalah berkat yang terselubung dari Tuhan – kita tidak boleh mundur dan membiarkan mezbah kita menjadi rapuh dan runtuh. Kita harus terus melanjutkan membangun mezbah di rumah, dan yang terpenting dalam hati kita, saat gereja kembali dibuka.
Secara umum, tema yang diangkat dari kesaksian-kesaksian jemaat di London adalah rasa ketidakpastian. Kita mungkin tidak tahu apa yang sedang terjadi ataupun memahami keadaan kita di saat tertentu, tetapi kita dapat menemukan bahwa Allah menyatakan dan terus menyatakan tujuan-Nya bagi kita masing-masing. Keadaan kita dapat berubah, tetapi Allah tidak pernah berubah. Pengalaman-pengalaman ini mengajarkan kita lebih dalam lagi tentang Allah, tetapi tentunya masih ada banyak yang dapat kita pelajari. Mendirikan mezbah adalah sebuah proses yang berkesinambungan. Allah adalah setia, namun pilihan ada di tangan kita untuk berusaha mengenal-Nya lebih dalam lagi.
Kiranya kita semua dapat melanjutkan pembangunan mezbah, dengan hati yang benar dan terus mencari untuk mengenal Allah dalam segala kekudusan dan kemuliaan-Nya. Amin.