Mezbah Keluarga Sebuah Pengalaman Pribadi
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Joyce Ho – Hong Kong
Mezbah Keluarga – Sebuah Pengalaman Pribadi
Mezbah keluarga mengacu pada waktu yang dikhususkan bagi seluruh anggota keluarga untuk membaca Alkitab, menyanyikan kidung pujian, saling berbagi firman Tuhan, dan berdoa bersama. Sebagai generasi ketiga jemaat Gereja Yesus Sejati, mezbah keluarga membawa beberapa kenangan masa kecil yang sangat berkesan di dalam hati saya.
KENANGAN ATAS MEZBAH KELUARGA
Ketika nenek saya tinggal bersama kami, dia akan ikut mezbah keluarga bersama-sama dengan kami setiap malam. Walaupun buta huruf, nenek dapat menyanyikan beberapa kidung pujian dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh saat kami membacakan ayat Alkitab. Suatu saat, ketika sedang mendiskusikan ayat Alkitab kesukaan kami, saya bertanya, “Nenek, apa ayat Alkitab yang Nenek sukai?”
Ia berdiam sejenak, lalu tersenyum dan berkata:
“Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.” (Ams. 30:8b-9)
Saya tidak pernah mendengar ayat ini sebelumnya, jadi saya bertanya mengapa dia menyukai ayat ini. Dia menjawab bahwa ayat ini mengingatkan kita semua bahwa hal yang terpenting adalah membawa kemuliaan bagi nama Tuhan, bagaimanapun keadaan kita. Saya sangat tersentuh. Nenek saya adalah seorang janda sejak masa mudanya dan telah mengalami banyak kemiskinan untuk membesarkan keenam anaknya seorang diri. Saya teringat cerita tentang kehidupan masa lalunya yang sulit, ketika dia benar-benar mengalami saat yang sangat menyedihkan sehingga harus meminjam beras dari tetangga untuk memberi makan keluarganya. Dan setelah itu, walaupun mengalami berbagai kesukaran, dia merasa cukup. Perkataan yang dia sampaikan menggemakan apa yang diajarkan oleh Rasul Paulus, bahwa kita harus selalu merasa cukup dalam keadaan apa pun dan percaya kepada Tuhan (Flp. 4:11-12). Saat itu, dia mengajarkan pesan ini kepada kami dalam kehidupan nyata. Hari ini, setiap kali saya teringat akan waktu itu, kata-kata nenek masih tetap membuat saya tersentuh.
Dalam Perjanjian Lama, Musa berbicara kepada bangsa Israel dan menjelaskan Sepuluh Perintah Allah sebelum mereka menyeberangi Sungai Yordan. Mereka harus mendengarkan, memelihara, dan tidak melupakan ataupun menyimpang dari ketetapan-ketetapan Allah. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan ketetapan-ketetapan ini kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka.
“Beritahukanlah kepada anak-anakmu dan kepada cucu cicitmu semuanya itu, yakni hari itu ketika engkau berdiri di hadapan TUHAN, Allahmu, di Horeb, waktu TUHAN berfirman kepadaku: Suruhlah bangsa itu berkumpul kepada-Ku, maka Aku akan memberi mereka mendengar segala perkataan-Ku, sehingga mereka takut kepada-Ku selama mereka hidup di muka bumi dan mengajarkan demikian kepada anak-anak mereka.” (Ul. 4:9b-10)
Kita tidak boleh menganggap remeh hal penting ini. Berpegang pada firman Tuhan dan mengajarkannya kepada generasi selanjutnya adalah perintah Tuhan.
“Inilah perintah, yakni ketetapan dan peraturan, yang aku ajarkan kepadamu atas perintah Tuhan, Allahmu, …., supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu.” (Ul. 6:1-2)
Membangun Mezbah
Pada pertengahan tahun 1980-an, seorang pendeta mengunjungi kampung halaman saya di Elgin, Skotlandia, dan berbicara mengenai pentingnya membangun mezbah keluarga. Terdorong oleh nasihat ini, ayah saya memutuskan untuk memulainya dan menetapkan waktu mezbah keluarga sebelum tidur. Kami membaca satu pasal dari Alkitab, berdiskusi secara singkat mengenai pasal itu, lalu berdoa bersama. Ketika kami menyanyikan pujian, saya dan adik saya bergantian mengiringi dengan piano. Jika teman-teman atau sanak saudara datang berkunjung, mereka juga ikut serta dalam mezbah keluarga kami. Ketika kami semakin dewasa, dan kedua orang tua kami harus bekerja hingga larut malam menjalankan bisnis katering, saya dan saudara-saudara saya secara bergiliran memimpin mezbah keluarga.
Sesi kesukaan kami adalah ketika Ibu yang memimpin mezbah keluarga, karena kami suka mendengarkan kesaksian-kesaksian yang dia bagikan. Saya ingat ketika bertengkar dengan saudara-saudara saya memperebutkan tempat dalam rangkulannya saat dia membacakan kesaksian dari majalah bulanan Holy Spirit atau kesaksian mengenai pengalaman dan kenangan pribadinya. Kami mendengarkan, memperhatikan, dan dipenuhi dengan kekaguman serta rasa syukur, ketika dia bersaksi tentang kemuliaan Tuhan. Salah satu kesaksiannya menceritakan tentang para pengerja awal di Taiwan. Dalam sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani, seorang perempuan bungkuk maju ke depan untuk berdoa. Pendeta merasa aneh melihat perempuan itu berlutut hingga dahinya menyentuh lantai. Dia meminta ia menegakkan punggungnya, tanpa menyadari bahwa perempuan itu memang bungkuk dan tidak dapat melakukannya. Secara ajaib, pada waktu berdoa, punggung perempuan bungkuk itu menjadi tegak kembali! Tiga puluh tahun kemudian, saya mendengarkan dengan kekaguman yang sama ketika pendeta tersebut, yang sekarang telah menjadi penatua, mengunjungi gereja kami dan menceritakan kesaksian yang sama persis dengan yang ibu saya ceritakan kepada kami.
Walau mezbah keluarga di masa kecil saya begitu sederhana – membaca Alkitab, berbagi firman Tuhan, kesaksian, dan berdoa bersama sebagai satu keluarga, mezbah ini menaburkan dan menumbuhkan benih-benih iman di dalam diri kami semua. Setelah dewasa, ketika kami mengalami kecemasan dari masa-masa remaja, ketidakpastian dari ujian perguruan tinggi, dan keputusan-keputusan menantang dalam karir, mezbah keluarga menjadi jangkar rohani yang senantiasa mengingatkan kami akan firman dan janji Tuhan. Apapun tahapan kehidupan yang sedang dilewati, kita selalu dapat menemukan kekuatan dan dorongan semangat melalui saling berbagi firman dan perbuatan Tuhan yang ajaib serta berdoa bersama. Bahkan hingga sekarang, puluhan tahun kemudian, kenangan-kenangan indah atas mezbah keluarga menjadi kekuatan saya ketika berbagai badai kehidupan terus menerjang.
MEZBAH BAGI GENERASI SELANJUTNYA
Bertahun-tahun kemudian, setelah saya menikah dan menjadi ibu dari dua orang anak, saya berada di sisi lain mezbah keluarga. Karena memahami bahwa anak-anak adalah milik pusaka dari TUHAN (Mzm. 127:3), ada sebuah perasaan yang membayangi hingga sekarang akan tanggung jawab dan kewajiban untuk membangun iman yang baik di dalam diri mereka. Tentu saja, saat terbaik untuk memulainya adalah ketika mereka masih kecil.
“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Ams. 22:6)
Ketika anak-anak masih kecil, dapat dikatakan lebih mudah menyediakan waktu untuk mezbah keluarga. Mezbah keluarga menjadi bagian dari rutinitas malam, dan seperti kebanyakan keluarga lainnya, waktu menjelang tidur sebelum lampu dipadamkan umumnya waktu untuk membacakan cerita. Saya dan suami secara bergantian menyisipkan cerita-cerita Alkitab ke dalam rutinitas ini yang diakhiri dengan doa singkat, dan anak-anak mengulangi kata-kata yang kami ucapkan. Kemudian ketika mereka sudah dapat membaca sendiri, kami melanjutkan dengan membacakan ayat-ayat Alkitab serta berdoa dengan kata “Haleluya”. Dan ketika anak-anak menjadi semakin dewasa, setiap anggota keluarga dapat secara bergantian memimpin mezbah keluarga.
Bentuk mezbah keluarga kami umumnya sama dengan mezbah keluarga ketika saya masih anak-anak. Variasi yang kami lakukan hanyalah pada satu malam di setiap pekan, kami mengkhususkan untuk menyanyikan pujian, sebagaimana disarankan oleh seorang pendeta yang berkunjung, untuk menggunakan cara-cara yang berbeda dalam menceritakan firman Tuhan kepada anak-anak kami. Pada Pujian Hari Minggu (sebagaimana kami menyebutnya), kami masing-masing akan memilih sebuah pujian, lalu menyanyikannya bersama-sama. Kegiatan ini membuat kami dapat menerima firman Tuhan sambil mempelajari pujian yang jarang dinyanyikan. Sesekali kami mencoba hal baru dalam menyanyikan pujian yang sudah lebih sering dinyanyikan yaitu dengan menyanyikan dalam empat suara, dan hal ini sangat menarik!
Mezbah keluarga kami juga menyertakan perenungan. Kami membahas hal-hal yang kami hadapi, menghitung berkat-berkat yang kami terima, dan bersyukur kepada Tuhan atas penyediaan dan pimpinan-Nya selama satu pekan ini. Terkadang kami juga berbagi tentang hal-hal yang kami kuatirkan, membahas masalah-masalah, dan juga menyebutkan orang-orang yang membutuhkan bantuan doa. Kegiatan berbagi seperti ini membuat orangtua dapat mengetahui keadaan anak-anak kita yang masih remaja, secara rohani maupun emosional. Dalam kehidupan sehari-hari yang sibuk, mungkin secara tidak sengaja kita mengabaikan hal-hal yang mereka anggap penting. Kesibukan yang tiada akhir adalah salah satu sifat menyedihkan dari gaya hidup modern; kita terus-menerus ditarik ke berbagai arah yang berbeda, entah itu pekerjaan, pendidikan, gereja, ataupun hal-hal yang menyangkut keluarga. Karena itu, mezbah keluarga adalah salah satu masa penting untuk beristirahat dari segala kegilaan itu – waktu untuk menjadi tenang dan mengisi kembali baterai rohani kita.
Sesungguhnya, saya merasa selalu masih ada yang dapat ditingkatkan dalam mezbah keluarga kami. Saat anak-anak sedang belajar dan menghadapi tekanan ujian, serta jadwal pekerjaan dan juga deadline pekerjaan kami yang tak ada habisnya, mencari dan menyediakan waktu bagi mezbah keluarga dapat menjadi perkara yang sulit. Pada saat-saat seperti ini, saya mempertanyakan apakah mezbah keluarga kami efektif, karena saya tidak dapat mengukur seberapa banyak anak-anak dapat menyerap firman Tuhan. Mungkin ini adalah ketidaksabaran saya. Namun saya bersyukur kepada Tuhan, pada saat-saat seperti ini, perkataan Paulus mendorong saya untuk melanjutkan, serta untuk beriman dan percaya kepada Tuhan.
“Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.” (1 Kor 3:6)
Proses pertumbuhan tanaman dari sebuah benih tidak dapat diburu-buru. Banyak kesabaran dan usaha yang dibutuhkan – pertama, menyiapkan tanah, dan kedua, berjuang dan memastikan keadaan yang optimal sehingga benih dapat tumbuh. Pada akhirnya, Tuhan-lah yang akan memberi pertumbuhan. Demikian dalam mezbah keluarga, kita harus berusaha menanamkan firman Tuhan di dalam diri anak-anak kita; dan lakukanlah dengan iman bahwa Tuhan akan memberi pertumbuhan. Ketika firman Tuhan telah bertunas di dalam hati anak-anak kita, ajaran-Nya akan masuk ke dalam pikiran dan membimbing mereka saat mereka membutuhkannya.
Ada berbagai tantangan dalam mengasuh anak, dan dalam setiap tahap pertumbuhan, ada begitu banyak kebahagiaan dan keputusasaan. Seringkali saya meragukan kemampuan saya mengasuh dan menguatirkan kondisi kerohanian mereka. Namun, kasih karunia Tuhan memang cukup. Saya ingin berbagi tentang dua peristiwa saat firman Tuhan berbicara kepada anak-anak saya. Hal ini meyakinkan saya saat mengalami masa-masa keraguan.
Insiden Pertama
Suatu ketika, anak laki-laki saya yang berusia empat belas tahun bercerita bahwa ada seorang anak laki-laki di kelasnya (yang dikenal sebagai bully) mengejek mata pelajaran pilihan yang ia ambil, dengan berkata bahwa mata pelajaran tersebut tidak akan dapat membuat dirinya mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang layak. Anak saya menjadi sedih atas perkataan anak laki-laki tersebut, sehingga beberapa dari teman-teman sekelasnya menyarankan agar anak saya “membalas” anak itu dengan menjegalnya pada pelajaran olahraga selanjutnya. Namun, anak saya berkata kepada saya bahwa dia telah memikirkan hal ini dan mengambil keputusan, “Saya tidak boleh melakukannya karena saya orang Kristen. Alkitab mengajarkan bahwa kita tidak boleh berpikir untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, walaupun mereka telah memperlakukan kita dengan tidak baik.” Lebih dari itu, dia memutuskan untuk mendoakannya dan memohon pertolongan Tuhan agar teman sekelasnya itu dapat mengubah perilakunya.
Insiden Kedua
Beberapa waktu lalu, di sekolah anak perempuan saya, diadakan sebuah pertemuan khusus untuk menghormati dan mengenang masa bakti seorang kepala sekolah yang telah menyelesaikan masa baktinya. Kegiatan meliputi pertunjukan dari orkestra sekolah, dan para siswa harus mengikuti aturan ketat dalam berpakaian. Sebagai seorang guru di sekolah yang sama, saya mengikuti gladi bersih pada pagi harinya, dan dapat melihat bahwa putri saya – yang adalah seorang pemain biola utama pada orkestra – tidak memakai dasi! Lalu kemudian saya mengetahui bahwa ternyata ada anak yang mencuri dasi dari lokernya. Untungnya, ada seorang teman sekelas yang baik hati bersedia meminjamkan dasinya untuk pertunjukan itu.
Hal tersebut kemudian terungkap bahwa seorang anak laki-laki telah mencuri dasi dari lokernya. Dan ini bukanlah pertama kalinya dia melakukan hal ini. Ketika dia tertangkap basah oleh pelajar lainnya, dia memohon, “Jangan beritahu orang lain! Saya akan mendapat masalah.” Anak perempuan saya sangat geram. Bahkan setelah dia pulang sekolah, saya mengetahui dari pesan-pesan yang dia kirimkan bahwa dia masih sangat marah. Hal yang dapat saya lakukan hanyalah berdoa di dalam hati agar dia tidak akan melakukan hal yang dapat membuat dirinya menyesal di kemudian hari. Setelah beberapa waktu, dia kembali mengirimkan pesan kepada saya: “Saya telah memikirkan hal ini. Saya akan membelikan dia sebuah dasi.” Dia menjelaskan rencananya bahwa dia akan membayar dasi itu dengan uangnya sendiri dan meninggalkannya di lokernya, dengan sebuah pesan tanpa nama: “Saya telah membelikan kamu sebuah dasi. Kamu tidak perlu mengambil dasi orang lain lagi.”
Pada saat itu, saya terkejut sekaligus juga terharu. Saya benar-benar merasa bahwa firman Tuhan telah berbicara kepadanya. Lalu, dia bercerita kepada saya bahwa, walaupun masih marah terhadap anak laki-laki itu, namun di dalam lubuk hatinya, dia hanya ingin agar anak-anak laki itu berhenti mengambil dasi-dasi murid lain dan menyebabkan masalah. Saat sedang berpikir apa yang akan dilakukan, dia mengingat sebuah ayat Alkitab tentang menimbun bara api di atas kepala musuh (Ams. 25:21-22; Rm. 12:20). Ketika ditanya apa maksudnya, dia menjawab, “Ini tentang bagaimana kita harus tetap berbuat baik, bahkan ketika orang lain tidak berbuat baik kepada kita; ini seperti meletakkan bara api di atas kepala mereka.” Sampai hari ini, anak laki-laki itu tidak pernah mencuri dasi orang lain lagi.
KESIMPULAN
Sebagai orang tua, kita memiliki mimpi-mimpi dan berbagai aspirasi bagi anak-anak kita. Secara alami, kita ingin membuatkan jalan yang mulus bagi mereka dan membantu mereka terhindar dari kesulitan-kesulitan dan hal-hal yang menyakitkan. Namun ini bukanlah hal yang sehat ataupun mendukung bagi pertumbuhan rohani dan emosional mereka. Untuk jangka panjang, kita tidak mungkin terus-menerus melindungi anak-anak kita dari kenyataan hidup yang keras. Pergumulan yang kita hadapi menjadi bagian penting dalam pertumbuhan iman dan membangun hubungan pribadi dengan Tuhan.
Karena itu, pendekatan proaktif yang bisa kita lakukan untuk membantu anak-anak kita adalah dengan menaburkan dan membekali mereka akan firman Tuhan. Kita dapat melakukannya melalui mezbah keluarga, di mana kita dapat membaca Alkitab, saling menasihati, dan berdoa bersama. Kita harus bertekun dan beriman bahwa Tuhan akan memberikan pertumbuhan pada waktu-Nya – baik bagi anak-anak kita dan diri kita sendiri – untuk membantu kita menghadapi badai-badai yang tidak terelakkan di dalam kehidupan kita.