Gereja Di Rumah
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Philip Shee – Singapura
PENDAHULUAN
Di masa lampau, rumah adalah tempat beristirahat dan bersantai, sebuah tempat yang aman dari segala tekanan dunia. Lagipula, rumah adalah istananya masing-masing; setelah bekerja keras dan berjam-jam berada dalam medan pengharapan masyarakat yang penuh ranjau, kita akhirnya dapat menutup pintu dan benar-benar menjadi diri kita yang sebenarnya. Rumah menggambarkan gelembung udara pribadi, melindungi diri dari lingkungan di sekitar kita. Pendeknya, rumah adalah sentral bagi identitas pribadi kita.
Rumah juga merupakan tempat untuk bisa bersama-sama dengan keluarga. Bagi banyak orang, rumah dilukiskan dengan seorang ayah (atau ibu) di meja makan, dengan seluruh anggota keluarganya berkumpul bersama-sama. Bagi orang lain, rumah digambarkan dengan keluarga berkumpul bersama-sama untuk menonton televisi di malam hari, merayakan ulang tahun, ataupun liburan hari raya.
Di masa sekarang, gambaran rumah tidak lagi sesederhana itu. Internet telah membawa seluruh dunia ke dalam rumah kita, menghapuskan batasan-batasan antara pekerjaan, keluarga, dan bermain. Pandemi yang terjadi saat ini semakin mendorong tren ini – pemerintah mendorong masyarakat lebih banyak berada di rumah untuk memperlambat laju penyebaran COVID-19, dan sebagian orang bahkan hanya boleh meninggalkan rumah dengan syarat-syarat yang sangat terbatas.
Pandemi ini menempatkan rumah dalam konteks yang baru, membuat kita berpikir kembali apakah arti rumah bagi kita. Sebagian besar orang bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan juga bersosialisasi dari rumah. Mereka yang hidup sendirian, atau yang karena alasan-alasan kesehatan harus menjaga jarak, dapat merasa terisolasi dan kehausan interaksi manusia. Bukannya menjadi tempat perlindungan, rumah terasa seperti penjara, kurungan, atau sekedar tempat untuk bertahan hidup.
Bagaimanakah dengan keluarga Kristen? Banyak gereja harus mengurangi bahkan meniadakan jadwal ibadah dan persekutuan tatap muka karena pandemi ini. Hal ini memicu perlunya membangun mezbah keluarga yang kuat di rumah kita masing-masing. Tetapi bagaimanakah kita membangun mezbah ini? Dan bagaimanakah mezbah ini menjadi pusat di mana kita membangun rumah kita?
MEZBAH DI KELUARGA ABRAHAM
Ketika Allah memanggil Abraham untuk meninggalkan kampung halamannya pergi ke negeri yang akan ditunjukkan Allah kepadanya, Abraham taat oleh iman, tanpa mengetahui ke manakah ia akan pergi (Kej 12:1-4; Ibr 11:8). Saat itu menjadi titik balik hidup Abraham, saat ia menetapkan pusat baru bagi keluarganya. Meninggalkan kenyamanan hidupnya yang lalu, Abraham meletakkan dasar baru bagi rumah tangganya.
Ketika ia berpindah ke Sikhem, Tuhan menampakkan diri kepadanya dan berkata kepadanya bahwa keturunannya akan mewariskan tanah ini. Dan di sana, Abraham membangun mezbah bagi Tuhan. Ketika ia pindah ke pegunungan di timur Betel, ia mendirikan kemahnya dan kembali membangun mezbah, serta memanggil nama Tuhan (Kej. 12:7-8). Setelah kembali dari Mesir karena bencana kelaparan, Abraham datang “ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN.” (Kej. 13:4) Belakangan, Abraham memindahkan kemahnya dan berdiam di pohon-pohon tarbantin di Mamre, Hebron. Dan di situ pun ia membangun mezbah bagi Tuhan (Kej. 13:18).
Perbuatan-perbuatan ini menunjukkan tekad Abraham untuk meletakkan dasar ibadah bagi rumah tangganya. Mezbah bagi Allah menjadi pusat hidup keluarga Abraham, dan hal ini tampak nyata dalam hidup anaknya, Ishak. Ketika Allah menguji Abraham dan menyuruhnya untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban, keduanya berjalan bersama-sama menuju ke tempat persembahan. Ketika Abraham meletakkan kayu untuk korban bakaran, Ishak dapat melihat apa yang masih kurang: “Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?” (Kej. 22:6-7) Pengetahuan akan bagaimana seharusnya mereka mempersembahkan korban pastilah dikarenakan pelatihan oleh ayahnya dan karena ia terbiasa mengikuti ayahnya mempersembahkan korban dalam mezbah keluarga.
Di kemudian hari, ketika Ishak membangun rumah tangganya dan berdiam di Bersyeba, Allah menampakkan diri kepadanya dan menegaskan kembali berkat yang Ia janjikan kepada Abraham. Ishak meneruskan kebiasaan ayahnya dan membangun mezbah di sana untuk memanggil nama Tuhan (Kej. 26:23-25).
Di dalam suratnya yang pertama, Petrus menuliskan:
“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” (1Ptr. 2:9)
Menyadari bahwa diri kita adalah umat pilihan Allah, seharusnyalah kita meneladani kebiasaan Abraham yang baik saat kita membangun keluarga Kristiani. Kita dapat membangun mezbah keluarga ini dengan menempatkan ibadah keluarga sebagai pusat rumah kita.
Mezbah keluarga dapat mengambil beberapa macam bentuk. Alkitab menjelaskan doa sebagai persembahan ukupan bagi Allah (Mzm. 141:2; Why. 5:8). Alkitab juga mengatakan agar kita “senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya.” (Ibr. 13:15) Jadi, mezbah keluarga dapat mengambil bentuk doa dan pujian keluarga. Sembari saling memotivasi untuk berdoa secara pribadi kepada Allah, kita juga harus meluangkan waktu secara rutin untuk berkumpul dan berdoa bersama-sama sebagai satu keluarga. Entah 20 menit sehari atau setengah jam seminggu. Kita dapat menetapkan daftar doa bersama, yang akan menyatukan keluarga dalam doa. Doakan satu sama lain. Berdoalah bersama-sama untuk anggota keluarga yang belum percaya atau yang sedang lemah iman. Doakan perkara gereja. Ini dapat menjadi kesempatan bagi setiap anggota keluarga untuk menceritakan tantangan yang sedang mereka hadapi dan untuk dibantu dalam doa. Dan masih banyak hal lagi. Namun kuncinya adalah bagaimana setiap keluarga dapat memiliki titik pusat, di mana mereka dapat bertumbuh bersama-sama di dalam Tuhan. Seiring berjalannya waktu, keluarga juga akan menjadi semakin dekat satu sama lain. Seperti keluarga Abraham, kita dapat melanjutkan warisan ini kepada angkatan selanjutnya, di mana anak-anak mengamati dan mengikuti ibadah bersama orang tua mereka.
Bahkan, mezbah keluarga yang diwariskan Abraham kepada Ishak, diwariskan juga oleh Ishak kepada Yakub. Ketika Yakub meninggalkan rumah, ia telah membangun mezbahnya sendiri – walau ia masih melihat Allah sebagai Allah ayahnya dan Allah kakeknya, bukan sebagai Allah-nya sendiri (Kej. 28:13, 31:5, 29, 32:9). Namun kemudian, setelah ia mengalami banyak kesukaran dan bergumul dengan Allah, akhirnya ia menyerahkan hidupnya kepada Allah. Allah pun memberkatinya dengan nama yang baru, Israel. Ketika ia membangun mezbah, ia menyebutnya El Elohe Israel – “Allah Israel ialah Allah” (Kej. 33:18-20). Akhirnya, Yakub mengakui iman para pendahulunya sebagai imannya sendiri.
Para pemuda perlu membangun mezbah pribadi dan hubungan pribadi dengan Allah saat masih tinggal bersama orangtuanya. Maka saat mereka terbang meninggalkan sarang untuk mengenyam pendidikan, pekerjaan, atau langkah kehidupan berikutnya, di mana mereka merasakan hidup mandiri, ia akan dapat melanjutkan mezbah pribadinya dengan Tuhan. Luangkanlah waktu untuk membaca Alkitab dan berdoa setiap harinya, bukan sebagai selingan sesaat sebelum tertidur. Karena kita yang memegang kendali atas waktu, kita harus menggunakannya dengan bijak dan mencari cara-cara yang positif untuk menguatkan ibadah kita kepada Allah di rumah. Aturlah sedemikian rupa untuk memasukkan ibadah dan persekutuan online ke dalam jadwal kita, atau rencanakan kelompok PA kecil bersama teman-teman kita. Kalau kita berada jauh dari gereja secara fisik, hal ini menjadi semakin penting lagi agar tetap terhubung dengan gereja dan sesama jemaat.
BELAJAR DARI KELUARGA YAHUDI
Pada waktu bangsa Israel memasuki tanah Kanaan, setelah empat puluh tahun mengembara di padang gurun, mereka menjadi sebuah bangsa di mana penduduknya beribadah bersama-sama. Mereka akan berkumpul bersama pada ibadah Sabat dan juga pada hari-hari raya. Allah juga menetapkan adanya mezbah di dalam kemah pertemuan untuk mereka dapat memberikan persembahan dan korban, yang kemudian didirikan di Silo (Ul. 12:5-6, 13-14; Yos. 18:1). Selain ibadah formal ini, Allah juga menekankan pentingnya menerapkan firman Allah dalam setiap segi kehidupan keluarga mereka. Seperti yang diperintahkan oleh-Nya:
“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” (Ul. 6:6-9)
Hal inilah yang perlu dilakukan juga oleh setiap keluarga Kristen. Ibadah rutin di gereja dan pendidikan agama, yang kita dan anak-anak kita ikuti, tidak dapat menggantikan pengajaran firman Allah di rumah kita masing-masing. Betapa penting “apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” sehingga kita dapat menanamkan firman Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.
Mengikuti teladan keluarga Yahudi, orang Kristen berusia dewasa harus dapat menggunakan setiap kesempatan memikirkan firman Allah dalam rutinitas dan aktivitas hidupnya. Ketika kita mengamati hujan ataupun sinar matahari, kita dapat merenungkan penciptaan Allah dan pemeliharaan-Nya. Kalau kita melihat pelangi, kita dapat membicarakan tentang kisah Nuh. Saat anak-anak kita bertengkar atau berkelahi, kita dapat mengingatkan mereka tentang pengajaran Yesus mengenai pengampunan. Kita dapat menggunakan setiap hal yang kita hadapi, untuk menyulamkan firman Allah secara anggun dan positif dalam hidup keluarga kita.
Menuliskan firman Allah “pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” menunjukkan bahwa keluarga Kristen harus mengingat untuk selalu menerapkan firman Allah saat mereka beraktivitas meninggalkan rumah, dan saat mereka kembali ke rumah. Orang tua Kristen dapat mengingatkan anak-anak mereka untuk menjadi terang dunia, garam dunia, dan melakukan sifat-sifat Kristen kapan pun mereka melangkah keluar dari rumah. Begitu juga saat mereka kembali, orang tua dapat menunjukkan kepedulian dengan berbincang tentang tantangan yang mereka hadapi. Dengan demikian, mengajarkan firman Allah melalui perbincangan akan menjadi kebiasaan yang alami untuk saling menasihati, menghibur, dan mengajar.
Pada saat mezbah keluarga diadakan secara formal, baik itu harian atau mingguan, anak-anak dapat didorong untuk berbicara tentang pengajaran yang mereka pelajari di gereja, atau perenungan mereka tentang firman Allah dalam hidup sehari-hari mereka. Orang tua dapat melakukan hal yang sama sebagai teladan bagi mereka. Kuncinya adalah bagaimana firman Allah menjadi jangkar dalam tindakan dan prinsip hidup keluarga.
Bagi mereka yang hidup sendiri, rumah tetap harus menjadi tempat di mana firman Allah berdiam. Telusurilah setiap hari sumber-sumber online yang dibuat oleh gereja untuk pemupukan rohani. Ini dapat berupa rekaman pujian atau paduan suara, khotbah atau seminar, pemahaman Alkitab, blog, dan konten media sosial lainnya. Gunakanlah media-media ini setiap harinya agar firman Allah dapat berlaku sebagai terang pada kaki kita setiap harinya juga. Rutinitas harian kita dapat diisi dengan membaca renungan Sauh Bagi Jiwa ketika kita sarapan, mendengarkan seminar pembahasan Alkitab saat istirahat makan siang, dan memutar lagu pujian sambil melakukan pekerjaan rumah tangga. Ini bukanlah untuk menggantikan doa dan membaca Alkitab, tetapi untuk menambah dan menguatkan mezbah pribadi kita.
GEREJA DI RUMAH KITA
“Akwila, Priskila dan Jemaat di rumah mereka menyampaikan berlimpah-limpah salam kepadamu.” (1Kor. 16:19b)
“Sampaikan salam kami kepada saudara-saudara di Laodikia; juga kepada Nimfa dan jemaat yang ada di rumahnya.” (Kol. 4:15)
Beberapa jemaat gereja mula-mula menawarkan rumah mereka dipakai sebagai tempat ibadah. Bahkan setelah gereja bertumbuh dan berkembang menjadi banyak keluarga, konsep kekristenan tentang gereja tetaplah dikatakan sebagai “keluarga Allah” (1Tim. 3:15; Ef. 2:19). Kalau Timotius dapat mengenal Alkitab sejak kecil (2Tim. 3:15), hal ini bisa kita simpulkan bahwa ia diajarkan di rumah oleh neneknya, Lois, dan ibunya, Eunike (2Tim. 1:5). Jadi sementara gereja adalah keluarga Allah, hal sebaliknya juga berlaku: keluarga kita pun haruslah menjadi rumah Allah.
Ketika Yosua menyampaikan kata-kata terakhirnya kepada bangsa Israel, ia meminta mereka untuk meninggalkan allah-allah lain yang disembah oleh nenek moyang mereka dan membuat pilihan mereka. Mereka dapat memilih allah-allah lain dari seberang sungai ataupun allah orang Amori yang saat itu mereka diami; tetapi Yosua dan seisi rumahnya – seluruh keluarganya, telah memutuskan bahwa mezbah keluarga mereka akan dipersembahkan kepada Tuhan (Yos. 24:15).
Bagaimana dengan kita hari ini? Sudahkah kita membangun ibadah keluarga dan mengingatkan akan firman Allah setiap harinya di rumah kita? Akankah kita mengkhususkan waktu setiap hari untuk berdoa dan mempelajari firman Allah, baik seorang diri maupun bersama-sama sebagai satu keluarga? Sudahkah kita membangun mezbah bagi Tuhan, di mana pun kita mendirikan kemah? Kalau kita dapat membangun rumah kita dengan berpusat pada mezbah ini, maka rumah kita sungguhlah dapat menjadi gereja Allah.