Terinspirasi oleh Yesus: Pernikahan Penginjilan Saya
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Mellisa Ho—Sunter, Indonesia
PIKIRAN SAYA, BUKAN PIKIRAN ALLAH
Sebagian besar dari kita berangan-angan bahwa suatu hari nanti kita akan menemukan seseorang yang kita cintai, pasangan hidup yang akan kita nikahi dan hidup bersama-sama sepanjang hidup kita. Rasa penantian itu berujung pada hari pernikahan, yaitu dimulainya hidup bersama-sama dan saling berbagi. Tidak mengherankan hari pernikahan begitu dijunjung tinggi, dirayakan secara besar-besaran, dan direncanakan sesempurna mungkin. Kita bahkan memperhatikan sampai rincian-rincian terkecil, sampai-sampai tidak memperhatikan berapa banyak waktu dan uang yang akan dikeluarkan.
Tidak berbeda dengan saya. Gaun pengantin yang indah, tempat resepsi pernikahan yang dihias dengan bunga-bunga mewah dan lampu kristal yang gemerlap, kue pengantin yang bertingkat-tingkat dengan rupa seperti miniatur istana berwarna putih, ratusan menu makanan perjamuan pernikahan yang mewah, dengan lantunan lagu-lagu yang romantis sebagai latar belakangnya. Itulah pesta pernikahan impian saya. Pesta seperti ini tidak mudah dicapai, sehingga saya dan tunangan saya menabung demi membuat impian kami menjadi kenyataan.
Saya berpikir seperti itulah pernikahan harus dilangsungkan, dan ini adalah pandangan orang pada umumnya. Tetapi pemikiran saya kemudian menghadapi tantangan.
Beberapa bulan sebelum hari pernikahan kami, ketika saya dan tunangan saya sedang berbincang-bincang dengan saudara-saudari seiman lainnya tentang pengalaman pernikahan mereka, kami terkejut mengetahui bahwa beberapa di antara mereka hanya mengadakan upacara pernikahan di gereja yang sederhana, tanpa disertai dengan resepsi pernikahan. Seorang pendeta bahkan menganjurkan, “Sepertinya tidak perlu ada resepsi pernikahan.”
Tidak ada pesta? Tidak ada resepsi perjamuan? Saya selalu mengira bahwa resepsi perjamuan pernikahan adalah bagian tak terpisahkan dari pernikahan mana pun. Aneh rasanya mengadakan pernikahan tanpa resepsi. Saya berpikir, pernikahan saya adalah pengalaman sekali seumur hidup, jadi haruslah sempurna!
Apa yang harus saya lakukan? Apakah yang sesungguhnya Allah ingin saya lakukan? Pikiran saya menjadi tidak karuan, tercabik antara mewujudkan pernikahan impian dengan pernikahan sederhana yang merangkul orang-orang di sekitar saya. Saya pikir saya tidak cukup kuat untuk melepaskan pernikahan impian saya. Namun ketika merenungkan kembali, saya menyadari kebenaran dari ayat Alkitab ini:
“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yes. 55:8-9)
PENGERTIAN DARI TUHAN
Pikiran-pikiran ini berkecamuk dalam benak saya ketika menghadiri beberapa resepsi pernikahan sanak famili dan sahabat. Lalu hal yang aneh terjadi: perasaan saya mulai berubah. Ketika menghadiri resepsi-resepsi itu, saya merasakan kesan hampa yang mendalam dan tanpa makna. Semakin banyak resepsi yang saya hadiri, semakin kuat perasaan itu tumbuh.
Dalam kebingungan dan kegelisahan, saya bertanya pada diri sendiri, mengapa saya tidak lagi merasakan sukacita dan keinginan yang sama akan pernikahan impian saya? Saya berdoa kepada Tuhan dan bertanya kepada-Nya apakah arti perasaan-perasaan ini.
“Aku berkata dalam hati: ‘Mari, aku hendak menguji kegirangan! Nikmatilah kesenangan! Tetapi lihat, juga itupun sia-sia.’” (Pkh. 2:1)
“Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” (Kol. 3:1-2)
Allah sungguh ajaib. Di tengah kebimbangan pada perubahan hati yang saya alami, Ia memberikan pengertian yang lebih jernih. Saya mulai mempertanyakan diri sendiri: Mengapa saya menginginkan pesta resepsi pernikahan? Apakah karena saya ingin menjadi “ratu di hari pernikahan”, yang tercantik dan terindah di antara semua orang? Semua mata tertuju pada saya, sebagai pusat perhatian, dipuja dan dikagumi. Tetapi kalau demikian, di manakah saya menempatkan Tuhan Yesus?
Saya mulai menyadari bahwa setelah dibaptis menjadi anak Tuhan, “aku” bukan lagi yang terutama. Kita harus selalu menempatkan Tuhan sebagai yang pertama dalam keadaan apa pun, bahkan dalam hari pernikahan kami. Kita harus berjalan dalam hidup yang berpusat pada Kristus, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor. 6:20) Dengan begitu, hidup kita tidak lagi hampa dan sia-sia.
PERNIKAHAN SAYA, SALURAN BAGI TUHAN
Setelah pergumulan hebat, Tuhan akhirnya mengubah hati saya, dan saya tidak lagi menginginkan “pernikahan impian”. Sebaliknya, saya ingin melakukan sesuatu yang berarti bagi Tuhan.
Ketika saya berpikir tentang bagaimana mengadakan pernikahan yang berarti, sebuah pikiran tiba-tiba terbersit dalam benak saya. Saya teringat seorang saudari dan suaminya pernah menceritakan bahwa pernikahan impian mereka adalah “kebaktian pernikahan penginjilan.” Ini dikarenakan selama upacara pemberkatan pernikahan, banyak sanak keluarga dan sahabat dengan sukarela datang ke gereja, seperti “ikan dengan girang berenang pergi ke dalam jala.” Itu akan menjadi kesempatan emas untuk memberitakan Injil kepada mereka. Pada saat itu saya merasa bahwa inilah pernikahan yang Tuhan Yesus inginkan bagi saya.
Lagi pula, kalau kami tidak mengadakan resepsi pernikahan yang terpisah di tempat lain setelah pemberkatan pernikahan, seluruh tamu kami harus datang ke gereja. Mereka dapat mengetahui dan mengalami ibadah di Gereja Yesus Sejati. Seperti yang dinyatakan dalam Alkitab:
“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2Tim. 4:2)
Tunangan saya mendukung gagasan ini, dan kami merencanakan ulang pernikahan kami agar kami dapat mengadakan pemberkatan pernikahan penginjilan. Sepanjang proses ini, kami merasakan Tuhan memimpin kami selangkah demi selangkah dalam perjalanannya.
MENJALANKAN RENCANA KAMI
Sebagai permulaan, kami menjelaskan konsep ibadah pernikahan penginjilan kepada pendeta yang akan memberkati pernikahan kami dan jemaat yang akan terlibat dalam pemberkatan pernikahan kami. Pertama, kami meminta agar pesan khotbah yang disampaikan pada waktu pemberkatan diubah untuk menekankan bahwa manusia membutuhkan Yesus dan kebenaran. Kedua, kami memohon agar penampilan paduan suara dan kidung yang dinyanyikan bertemakan tentang kasih Tuhan, dan kebutuhan manusia akan Tuhan. Ketiga, kami mengundang seorang saudara dan saudari untuk bersaksi, di balik samaran “sepatah kata dari teman-teman mempelai pria dan wanita”. Tunangan saya bahkan mempersiapkan kesaksian tentang kasih Tuhan yang memimpin kami hingga hari pernikahan kami. Keempat, kami mempersiapkan pamflet-pamflet penginjilan, brosur Sepuluh Dasar Kepercayaan, dan juga pena sebagai souvenir pernikahan kami. Dan terakhir, kami mengajak saudara-saudari seiman sebagai pemerhati untuk menemani dan memberitakan Injil pada teman-teman dan sanak keluarga kami yang belum percaya pada waktu makan siang setelah pemberkatan di gereja. Kami bahkan mempersiapkan sampai kepada susunan kursi tamu dan informasi yang diperlukan mengenai tamu-tamu yang kami sasar.
Pada awalnya, kami kuatir karena konsep pernikahan penginjilan ini sangat berbeda dan belum pernah dilakukan di gereja setempat kami sebelumnya. Saya merasa takut meminta tolong kepada gereja untuk membantu rencana kami, tetapi Allah memberikan keberanian untuk menjalankannya. Oleh karena kasih karunia Allah, tim penginjilan sangat mendukung dan bersedia membantu rencana pernikahan kami. Saya bersyukur kepada Tuhan yang memberikan kekuatan untuk melaksanakan kehendak-Nya bagi saya.
Saya bersama tunangan saya melanjutkan rencana kami, dan puji Tuhan, pernikahan kami berjalan dengan lancar! Setelah itu, salah satu tamu kami yang belum percaya menceritakan kepada salah satu pemerhati bahwa ia tersentuh oleh kebaktian pemberkatan itu dan bersedia untuk kembali mengikuti kebaktian di gereja.
“Pernikahan penginjilan” ini juga membangun jemaat, dan banyak juga dari mereka yang mulai mendorong pasangan-pasangan muda untuk ikut melakukannya. Ketimbang menghabiskan uang untuk memuliakan diri sendiri, bukankah jauh lebih baik kalau kita menggunakannya untuk memuliakan Tuhan Yesus Kristus?
Ingatlah, kita semua telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar, sehingga hidup kita bukan lagi milik kita sendiri (1Kor. 6:19-20). Dalam segala yang kita lakukan, kita harus memuliakan Tuhan (1Kor. 10:31). Kiranya segala kemuliaan, hormat, dan pujian bagi Tuhan saja. Amin.