Mewariskan Iman
Warta Sejati Edisi 110: Menemukan Gereja Sejati – Daftar Isi
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Derren Liang—Irvine, California, AS
PERLU SATU DESA UNTUK MEMBESARKAN SEORANG ANAK
Ada pepatah “dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak” yang menggambarkan sulitnya orangtua untuk membesarkan seorang anak tanpa adanya bantuan orang lain. Namun, selain itu pepatah ini juga mengatakan bahwa segenap masyarakat juga menanggung tanggung jawab terhadap anak tersebut.
Seorang anak yang dibesarkan menurut nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, akan tumbuh dewasa dan menjadi bagian dari komunitas tersebut, yang akan meneruskan komunitas tersebut dan juga identitasnya. Namun jika seorang anak tidak dibesarkan sebagai bagian dari komunitas tersebut, dia mungkin akan menyimpang, dan yang lebih parah, menjadi masalah bagi komunitas itu.
Keluarga merupakan fondasi gereja. Jadi, kekuatan sebuah gereja tergantung dari kekuatan ikatan setiap keluarganya. Oleh karena itu, untuk membangun gereja dimulai dari membangun setiap keluarganya. Ini bukan hanya mengenai membina keluarga yang bahagia, tetapi lebih dari pada itu, menjadi keluarga Kristen yang diberkati.
Di dalam masyarakat, setiap keluarga akan mengikuti kebudayaan di tempat ia berada. Di dalam gereja, kita mengikuti pengajaran Alkitab. Akan tetapi, kadangkala kita mencampuradukkan kebudayaan masyarakat dan gereja. Contohnya di Amerika Serikat, pemerintah membiayai pendidikan anak, yang sumbernya berasal dari pajak. Warga negara dijamin bahwa dengan membayar pajak, akan mendapat hak pendidikan bagi anak-anak mereka. Sayangnya, beberapa jemaat menerapkan konsep ini ke dalam gereja, menganggap bahwa satu-satunya tanggung jawab mereka adalah memberikan perpuluhan, dan adalah tanggung jawab gereja untuk menyediakan pendidikan agama dan mengasuh iman anak-anak mereka. Sudut pandang ini, yang didasarkan pada norma dalam masyarakat, berlawanan dengan apa yang kita pelajari dari Alkitab.
Seperti pepatah di atas, dibutuhkan banyak sumber daya untuk membesarkan seorang anak. Suami-istri menghabiskan banyak sekali waktu dan tenaga sebagai orangtua, sehingga hidup mereka berputar di sekitar anak-anak mereka. Dalam hal menanamkan iman kepada anak-anak, gereja juga mengeluarkan banyak usaha. Akan tetapi, jika pendidikan agama tidak diawali dari rumah, maka gereja akan kesulitan untuk melaksanakan tugas ini.
Sesungguhnya, orangtua tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawabnya ini. Mereka memainkan peranan penting dalam pertumbuhan iman seorang anak. Apabila orangtua menjalankan kewajiban mereka, barulah gereja dapat menjadi jembatan bagi kedua belah pihak. Gereja tidak dapat menggantikan peran keluarga dalam melaksanakan pendidikan agama. Keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak di dalam iman.
TUHANLAH YANG MEMBANGUN RUMAH
“Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” (Mzm. 127:1)
Pemazmur menekankan pada “membangun” dan “mengawal”, yang bisa diterapkan juga dalam pembangunan iman seseorang. Dalam konteks keluarga Kristen, “membangun rumah” berarti membangun iman generasi selanjutnya, dan “mengawal kota” berarti mengawasi iman mereka.
Pemazmur juga berbicara mengenai dua macam kekuatan: kekuatan pembangun dan pengawal, dan kekuatan Tuhan. Kekuatan Tuhan diperlukan, walau manusia melakukan tanggung jawabnya. Ketika manusia melakukan apa yang terbaik dari mampu dilakukannya, Tuhan akan mengisi celahnya, menyelesaikan apa yang tidak mampu dikerjakan oleh manusia dengan kekuatannya.
Ketika kita bersandar Tuhan, kita mau berdoa agar Dia menumbuhkan iman generasi selanjutnya. Kita mau mendoakan mereka, seperti Ayub yang terus menerus mempersembahkan korban bakaran demi anak-anaknya, jangan-jangan mereka “berbuat dosa dan mengutuki Allah di dalam hati” (Ayb. 1:5b).
Kita memiliki Alkitab sebagai panduan dalam menjalani hidup yang beriman. Tuhan menjadikan segala sesuatu, termasuk keluarga. Alkitab mengungkapkan prinsip-prinsip yang ditetapkan Tuhan bagi ciptaan-Nya, namun masalah muncul ketika manusia memberontak melawan prinsip-prinsip tersebut. Inilah sebabnya kita dapat melihat keluarga yang berantakan. Sebaliknya, jika kita menyelaraskan diri dengan prinsip-prinsip Tuhan, Dia akan memberkati keluarga kita dan mencurahkan rahmat-Nya atas kita.
PERINTAH INI HARUSLAH KAUAJARKAN KEPADA ANAK-ANAKMU
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Ul. 6:4-9).
Sebagai tradisi, orang Yahudi yang saleh akan mengingat dan mengucapkan ayat-ayat ini. Ayat 4 dimulai dengan “dengarlah, hai orang Israel” – Israel yang berarti “Putra Allah”, adalah nama yang diberikan Allah kepada Yakub. Menjadi putra raja sudah sangat mulia, terlebih lagi menjadi putra Allah. Kita, sebagai putra-putra Allah, telah menerima status mulia ini dengan cuma-cuma dan kita juga mau mewariskannya kepada generasi selanjutnya.
Hari ini, banyak orang menjunjung tinggi warisan budaya mereka, dan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mewariskannya kepada anak-anak mereka. Orang-orang yang tinggal di perantauan akan mengajari anak-anak mereka bahasa ibu dan kebudayaan mereka. Demikian pula kita, yang memiliki status mulia sebagai putra Allah, perlu menjunjung tinggi identitas rohani kita. Akar budaya dunia mungkin berharga bagi kita, tetapi budaya Bapa surgawi kita jauh lebih berharga lagi.
Alkitab menjelaskan tiga jenis warisan: anak-anak, harta benda, dan Tuhan sendiri. Sebagian besar dari kita ingin mewariskan keamanan materi kepada anak-anak kita. Kita menaruh perhatian yang besar pada pendidikan dan pencapaian akademis mereka, berharap mereka nantinya memiliki karir cemerlang dan penghasilan tinggi. Dapat dipahami kebanyakan orangtua mengharapkan yang terbaik bagi anak-anak mereka: harta milik yang berlimpah, serta kehidupan yang nyaman tanpa beban finansial. Akan tetapi, harta yang demikian tidaklah kekal. Hanya hal-hal tak terlihat dari Allah yang bersifat kekal. Menerima Tuhan sebagai warisan membuat kita menerima berkat di bumi dan kehidupan kekal, yang jauh melebihi nilai harta benda materi.
Sangatlah penting bagi kita untuk mengevaluasi ulang penilaian kita terhadap hal-hal di atas yang dari Tuhan. Kita mungkin berharap dapat memberikan anak-anak kita hal-hal yang dianggap berharga oleh orang-orang dunia; tetapi yang lebih penting, kita harus memberikan mereka warisan rohani yang terbaik, yaitu Tuhan sendiri. Kadangkala, kita mungkin tidak dapat melihat nilai warisan surgawi ini, dan rasanya tidak relevan dengan kehidupan kita saat ini. Tetapi, setiap keputusan yang kita ambil mencerminkan dan menyatakan nilai-nilai hidup kita, yang akan dapat dilihat semua orang, terutama anak-anak kita. Contohnya, apakah kita akan mendaftarkan anak-anak kita mengikuti kelas ekstrakurikuler yang berlangsung pada hari Sabat? Hari Sabat merupakan hari perhentian dan hari yang diberkati, sebagai doktrin penting yang terus ditekankan dalam kelas pendidikan agama. Namun jika kita memilih untuk mendaftarkan anak-anak kita ke kelas-kelas seperti itu, tindakan kita mencerminkan penilaian yang bertentangan dengan pengajaran Alkitab. Kita perlu menyelaraskan diri dengan nilai-nilai Allah, bahkan dalam keputusan-keputusan kecil sekalipun, sehingga kita dapat memperlihatkan iman kita dan mewariskan nilai-nilai yang benar kepada anak-anak kita.
MENJADI PANUTAN
Akan ada masanya ketika anak-anak kita tidak lagi mendengarkan perkataan kita, membuat kita berpikir bahwa kita hanya dapat mendoakan mereka. Akan tetapi, Ulangan 6 memberitahu kita bahwa langkah pertama dalam mendidik anak bukanlah dengan kata-kata, melainkan dengan gaya hidup yang menyatakan kasih kita kepada Tuhan (Ul. 6:5). Kasih kita kepada Tuhan ini haruslah diwujudkan dalam perbuatan dan menjadi jalan hidup kita. Di tahun-tahun awal kehidupan mereka, anak-anak sering meniru orangtua mereka.
Oleh karena itu, kita harus menjalani hidup yang penuh dengan iman, menunjukkan secara nyata bagaimana kita menerapkan iman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menunjukkan iman dan menceritakan kepada mereka berkat-berkat luar biasa yang kita terima dari Tuhan, kita menjadi teladan yang baik bagi mereka.
Dalam Ulangan 6:7, kita belajar bahwa kita harus mengajarkan anak-anak kita di rumah, ketika kita berjalan, ketika kita berbaring dan ketika kita bangun. Ini berarti kita harus banyak menghabiskan waktu bersama mereka agar memiliki kesempatan untuk mengajar. Seorang anak sangatlah diberkati jika bisa ditemani oleh ayah atau ibunya sepanjang hari. Walaupun penghasilan berkurang, orangtua yang tinggal di rumah dapat menyalurkan kasih dan hikmatnya dalam membesarkan anak. Alkitab memberitahu kita bahwa orang upahan tidak akan memperhatikan domba seperti yang dilakukan gembala. Demikianlah, seorang pengasuh tidak akan dapat menggantikan orangtua.
Wadah yang penting dan mutlak diperlukan oleh setiap keluarga Kristen adalah mezbah keluarga. Mezbah keluarga diadakan secara rutin di mana orangtua membimbing anak-anak mereka membaca Alkitab dan memimpin mereka dalam ibadah di rumah. Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus berbicara mengenai pengenalan Timotius terhadap iman yang dilakukan sejak dini dalam keluarganya:
[Aku mengucap syukur kepada Allah] sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. (2Tim. 1:5)
…dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. (2Tim. 3:15)
Timotius adalah jemaat generasi ketiga, dan ibunya mengajarinya Kitab Suci sejak usia dini, membangun kehidupan imannya. Demikian juga, dengan adanya mezbah keluarga, kita memiliki kesempatan untuk menceritakan iman kita kepada anak-anak, memupuk kepercayaan mereka sejak usia muda. Membangun mezbah keluarga memerlukan jadwal harian pembacaan Alkitab dan doa bersama-sama sebagai satu keluarga. Dengan berbuat demikian, kita membantu anak-anak mengembangkan kebiasaan membangun kerohanian mereka sendiri, sehingga mereka dapat tetap berakar dalam iman ketika mereka tumbuh semakin mandiri. Jika generasi berikutnya memahami pentingnya membaca Alkitab, mereka akan memiliki firman Tuhan sebagai pelita bagi kaki mereka dan terang bagi jalan mereka. Jika mereka dapat berdoa dengan sendirinya, Tuhan akan menguatkan dan mengarahkan mereka.
RUMAH SEORANG KRISTEN
Terakhir, dalam Ulangan 6:8-9, Allah berfirman, “Haruslah juga engkau mengikatkan [perintah ini] sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Kita dapat mengaplikasikan ayat-ayat ini dalam membangun lingkungan Kristen yang baik bagi anak-anak kita.
Anak-anak sangatlah mudah terpengaruh dan lingkungan tempat mereka tumbuh akan mempengaruhi karakter mereka. Lingkungan haruslah tetap menjadi pertimbangan penting bahkan ketika memilih universitas. Haruskah mereka mendaftar di universitas liberal yang akan menantang nilai-nilai keagamaan mereka? Haruskah mereka memilih perguruan tinggi yang jauh dari gereja? Menyetujui pilihan-pilihan ini seperti kita mengirim anak-anak kita ke padang gurun. Sesungguhnya, banyak kaum muda yang tampaknya kuat telah kehilangan iman karena keputusan mereka untuk belajar di perguruan tinggi semacam itu. Sebagai orangtua Kristen, kita harus mengerti bahwa universitas terbaik bukanlah yang memiliki peringkat tertinggi atau yang paling bergengsi, melainkan yang dapat membuat iman anak kita semakin kuat.
Sebagai kesimpulan, kita harus mengarahkan anak-anak kita kepada Tuhan, menanamkan benih iman dalam diri mereka, dan memelihara iman mereka agar Tuhan kita menjadi Tuhan mereka. Sebagai orangtua, kita telah menerima warisan, yakni anak-anak kita, dari Tuhan. Oleh karena itu, kita memiliki tanggung jawab, baik terhadap mereka maupun kepada Tuhan, untuk memastikan bahwa kita menjaga mereka di dalam iman.
Adalah pekerjaan besar bagi kita untuk menjadi serupa seperti Kristus, agar anak-anak kita dapat meniru kita. Tidaklah mudah bagi mereka untuk melihat keuntungan menjalani kehidupan dalam iman, dan mewariskan iman kepada anak-anak kita. Namun, ingatlah bahwa segala sesuatu dapat kita tanggung melalui Tuhan yang memberi kekuatan kepada kita. Kiranya rahmat Tuhan senantiasa tercurah atas kita, sehingga kita dapat menanamkan iman kepada generasi yang akan datang.