Tersesat dalam Idealis Dunia
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Elizabeth Yao – Nanjing, China
Saya dibaptis di Gereja Yesus Sejati (GYS) Queens, New York, pada tanggal 3 Agustus 2003 pada usia tujuh belas tahun. Selama tujuh tahun berikutnya, saya hanya dua kali mengikuti Seminar Teologi Pemuda Nasional dan tidak rutin pergi berkebaktian Sabat. Ada banyak alasannya, beberapa di antaranya di luar kendali saya, tetapi tidak semuanya.
Orangtua saya juga dibaptis di sekitar waktu yang sama dengan saya. Dan sebagai jemaat baru, keputusan-keputusan yang kami ambil belum dilandasi pertimbangan rohani. Saya memilih pergi kuliah di tempat yang jauh dari gereja, dan landasan nilai-nilai kepercayaan saya pun akhirnya merosot mengikuti idealisme dunia semata. Pada saat itu, saya tidak tahu bahwa saya masih terus berada di dalam dunia, sedangkan seharusnya saya ada di dalam Kristus. Malah, saya tidak tahu apa-apa tentang makna hidup untuk Tuhan, dan betapa luar biasanya hidup semacam itu.
Doa-doa saya juga mencerminkan kerohanian saya yang lemah. Saya hanya berdoa ketika membutuhkan sesuatu dari Tuhan. Ketika Dia menjawabnya, saya akan sangat bersyukur, tapi kemudian lupa akan hal-hal yang saya janjikan dalam doa. Dan ketika hidup menjadi hampa dan terlalu berat untuk dijalani, karena saya bersikeras mengikuti kehendak saya sendiri, sekali lagi saya akan berlutut dan tanpa rasa malu berkata: “Tuhan, aku tak sanggup lagi menerima ini semua. Aku menyerah!” Lalu, doa-doa yang tak terjawab akan sekali lagi menggiring saya mencari kelegaan di tempat-tempat lain.
Beberapa kali saya berusaha untuk kembali mendekat kepada Tuhan dan memperbaiki iman, tetapi saya merasakan adanya jurang pemisah antara diri saya dengan jemaat gereja lainnya. Saya merasa mereka semua entah bagaimana berhasil memenuhi “standar” rahasia yang membuat Tuhan selalu ada untuk mereka; saya bukanlah bagian dari kelompok itu, dan saya ragu apakah Tuhan masih mengasihi saya.
PERGUMULAN LAHIR DAN BATIN
Pada bulan Juni 2011, saya berada di New York mempersiapkan kuliah musim panas. Pada saat itu Tuhan sudah tidak lagi menjadi bagian dari hidup saya, dan kerohanian saya berada di titik paling rendah. Gaya hidup saya sangatlah tidak sehat secara rohani walaupun kehidupan sehari-hari masih berjalan normal. Lalu suatu hari, tanpa angin dan hujan, punggung bawah saya terasa sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah dan menjalar sampai ke kedua kaki setiap kali saya bergerak. Saya cemas nantinya saya tidak bisa berjalan. Dua minggu kemudian saya menelepon orangtua di China. Karena saya tidak punya asuransi kesehatan dan tidak punya siapa-siapa yang bisa merawat saya, saya harus meninggalkan semuanya dan pulang ke rumah.
Sesampainya di Nanjing, China, saya mengunjungi banyak sekali dokter, setidaknya di tiga rumah sakit berbeda. Selama tiga bulan pertama, saya menjalani pemeriksaan medis, salah diagnosa, disuntik antibiotik dosis tinggi, dan melalui malam-malam penuh kesakitan tanpa bisa tidur. Rasa sakit yang amat sangat ini membuat saya tidak bisa bergerak. Dan kondisi saya tetap tidak terdiagnosa.
Ketika minggu berubah menjadi bulan, saya diliputi oleh pergumulan batin yang membuat saya mudah sekali menangis karena hal-hal sepele. Orangtua saya yang pada awalnya merasa khawatir pun mulai menganggap rasa sakit dan segalanya itu hanya khayalan saya saja. Bagi mereka, saya cuma menganggur dan merajuk saja di rumah.
Saya mulai berpaling kepada Tuhan. Tapi dalam doa, saya bergumul dengan amarah, keraguan, kesedihan, ketakutan, dan pertanyaan tanpa ujung. Saya menyesali masa lalu saya, dan memohon kesembuhan rohani dan jasmani kepada Tuhan. Tapi saya ingin Tuhan langsung mengabulkan semuanya; saya tidak ingin mencurahkan terlalu banyak usaha. Tidak heran, doa-doa saya tidak didengarkan.
MEMERIKSA DIRI DALAM DOA
Karena tidak ada pilihan lain lagi, saya terus berdoa. Saya mengingat masa ketika pertama kali menerima Roh Kudus, dan masa-masa saya paling bergiat dalam iman. Menelaah hati dengan mendalam dan merendahkan diri ini membawa saya pada pertobatan sejati. Saya mengakui kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan masa lalu saya, dan menerima akibat atas perbuatan-perbuatan saya. Saya menyadari bahwa pengalaman ini bukan hanya merupakan peringatan keras dari Tuhan agar saya berbalik dari cara hidup lama saya, namun juga merupakan pertanda betapa sudah jauhnya saya dari Tuhan. Saya merasakan dorongan kuat untuk membuang semua dosa saya, seperti sampah yang harus disingkirkan. Karena itu, bukannya meminta kesembuhan, doa saya menjadi: “Tuhan tolong aku belajar dari masa lalu, dan ajari aku cara untuk berubah. Aku mengerti rasa sakit ini ada sebabnya. Mohon beri aku kekuatan hati untuk mengetahui bagaimana harus berdoa. Jagalah aku satu hari lagi.”
Dengan setiap doa, saya merasa terbaharui. Menghadiri kebaktian di GYS Nanjing secara lebih rutin juga membantu mematri firman Tuhan di dalam hati saya. Dengan kekuatan Tuhan mengalir ke dalam diri saya, saya merasa dikuatkan dan semakin rela menyerahkan kehendak saya kepada-Nya. Sebagaimana Tuhan berseru:
“Buanglah darimu segala durhaka yang kamu buat terhadap Aku dan perbaharuilah hatimu dan rohmu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel? Sebab Aku tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya, … Oleh sebab itu, bertobatlah, supaya kamu hidup!” (Yeh. 18:31-32)
TEROBOSAN
Semakin saya membiarkan Roh Tuhan menguatkan saya, semakin saya mampu mengosongkan diri dari kesalahan masa lalu. Semakin saya tidak memikirkan diri sendiri dan keinginan-keinginan egois saya, semakin saya merasa dekat kepada-Nya. Saya tahu saya membutuhkan kekuatan-Nya untuk mengalahkan ketakutan saat memikirkan bahwa punggung saya mungkin tidak akan pernah sembuh.
Proses pemeriksaan diri ini memaksa saya untuk merenungkan pertanyaan penting, seperti akankah saya tergoda untuk meninggalkan Tuhan jika Ia tidak menyembuhkan saya. Saya melihat kembali hidup saya sejak dibaptis. Ada hal-hal dalam hidup saya yang demikian saya sayangi, yang saya yakini akan membawakan kebahagiaan, dan saya menyadari bahwa selama ini saya mencari di tempat-tempat yang salah. Pada saat itu, semua kemilau dan gemerlap yang digunakan Iblis untuk menghiasi kesenangan sesaat dunia ini tiba-tiba berubah menjadi debu. Ketika Roh Tuhan memancarkan kebenaran-Nya ke dalam hati saya, saya tahu bahwa saya membutuhkan Tuhan dalam hidup saya tak peduli apa pun yang terjadi.
Pemahaman ini membawa terobosan baru pada cara saya berdoa dan memandang hidup saya. Kekuatan yang membantu saya melakukan hal ini bukanlah berasal dari dunia ini atau dari diri saya sendiri. Tuhan menuntun saya langkah demi langkah untuk semakin bersandar kepada-Nya. Roh Tuhan yang diam dalam diri kita, menguatkan manusia batiniah kita, dan sangatlah berkuasa (Ef. 3:16). Kuasa dan kebenaran Tuhan bekerja dalam diri kita melalui firman-Nya. Semakin kita bersandar pada kuasa Roh-Nya, semakin kita dapat menghadapi beban, kelemahan, dan ketakutan kita.
Dengan Roh Tuhan menggerakkan saya, saya belajar untuk lebih berpusat pada Tuhan dan tidak terlalu egois dalam berdoa. Saya mencari kehendak-Nya. Saya menjadi lebih sabar dan menahan diri, sifat-sifat yang oleh banyak orang dianggap sama sekali tidak mencerminkan diri saya. Masih ada hari-hari ketika saya merasa tiada harapan—ketika saya berlutut berdoa berulang kali, tanpa dapat menemukan posisi yang bebas dari rasa sakit. Ini membuat saya menyadari betapa rentannya manusia dengan cara yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, dan mengingatkan saya untuk menempatkan kehendak Tuhan di atas kehendak saya.
Bukannya meminta kesembuhan, doa saya menjadi: “Tuhan tolong aku belajar dari masa lalu, dan ajari aku cara untuk berubah. Aku mengerti rasa sakit ini ada sebabnya. Mohon beri aku kekuatan hati untuk mengetahui bagaimana harus berdoa. Jagalah aku satu hari lagi.”
MEMAHAMI KEHENDAK-NYA
Suatu hari, seorang kerabat menyarankan agar saya menjalani pemeriksaan tulang. Sampai saat itu, baru organ internal saya yang sudah diperiksa. Pindai MRI seluruh tubuh menunjukkan bahwa syaraf saya terjepit pada tulang belakang. Ini adalah berita buruk, tetapi hati saya meluap-luap memuji Tuhan. Setibanya di rumah saya berlutut di hadapan Tuhan dan mencurahkan rasa syukur saya. Tiga bulan yang saya lalui dengan menanti dan belajar untuk percaya kepada-Nya diteguhkan dengan isyarat ini bahwa Dia sudah mendengarkan saya; Dia membimbing saya menuju hubungan yang lebih mendalam dengan-Nya, untuk memahami kehendak-Nya, dan untuk tunduk pada kuasa-Nya yang maha tak terbatas.
Setelah masalah pada punggung ini ditemukan, saya pun dapat mulai mencari bantuan. Walaupun ingin kembali hidup normal, saya tidak lagi merasa cemas. Tuhan mengajar saya selama tiga bulan bagaimana percaya pada kekuatan dan kasih-Nya, bagaimana berdoa dengan sabar dan menantikan supaya kehendak-Nya terjadi, dan juga, bagaimana harus bersyukur. Sesungguhnya, kesembuhan yang terjadi pada manusia batiniah saya, perubahan hati saya, sudah dimulai sebelum ada tanda-tanda harapan yang terlihat jelas. Seperti kata Paulus:
“Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa.” (2Kor. 4:7-9)
HIDUP DENGAN KEKUATANDAN PENGARAHAN TUHAN
Pada pertengahan September 2011, saya mulai menjalani akupunktur, yang harus dilakukan selama sebulan atau lebih agar ada hasilnya. Sungguh tak pernah habis pikir bagaimana saya sanggup bertahan di hari-hari itu. Akupunktur menumpulkan rasa sakit, sehingga saya dapat berjalan dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, hal yang sangat penting karena saya sudah mulai bekerja sebagai guru. Akantetapi, meskipun tidak terlalu menyengat, rasa sakit selalu menemani setiap saat. Terlebih lagi, tiga kali seminggu ayah saya akan mengantar saya ke tempat akupunktur, di mana jarum-jarum akupunktur akan menusuki badan dan menyalurkan aliran listrik ke dalam tubuh saya. Saya sungguh takut menjalani proses tersebut. Hanya dengan berserah sepenuhnya kepada Tuhanlah saya dapat melalui periode ini.
Pada akhir Desember, orangtua membawa saya menemui dokter di Changzhou, yang berjarak tiga jam perjalanan dari kota kami. Dokter ini dikenal dapat “mengobati” banyak pasien syaraf terjepit lainnya dengan metode khususnya yang mencakup suntikan nutrisi ke dalam tulang belakang, urut medis, perawatan chiropractic manual, juga olahraga harian.
Pada awalnya, rasa sakit yang saya alami semakin parah karena perawatan tersebut mengaktifkan kembali syaraf-syaraf tulang belakang yang sudah ditumpulkan oleh akupunktur. Namun setelah perawatan selesai, dokter menyatakan bahwa punggung saya sudah sembuh. Dia mengatakan butuh setidaknya tiga tahun untuk sembuh total dan menyarankan untuk tidak bepergian dengan pesawat terbang selama setidaknya satu tahun.
Saya sangat bersyukur dan menyalurkan kekhawatiran saya dalam doa. Walaupun kesembuhan membutuhkan waktu dan sakit punggung tetap ada, saya belajar untuk percaya bahwa kehendak Tuhan akan nyata pada waktu-Nya.
BERSERAH SEPENUHNYA
Begitu tugas mengajar saya berakhir, saya mulai merencanakan kemungkinan untuk melanjutkan kuliah di New York pada musim semi. Keyakinan saya kepada Tuhan membuat saya melakukan sesuatu yang dianggap bodoh oleh kebanyakan orang. Kuliah dimulai pada akhir Januari 2012 dan saya tidak ingin berdiam saja di Nanjing. Bila Tuhan menyertai, saya merasa tidak ada alasan untuk menghentikan hidup karena rasa takut atau karena logika manusia. Akan tetapi, saya juga tidak ingin mencobai Tuhan dengan menyelepekan nasihat medis. Saya banyak berdoa tentang hal ini.
Setelah bergumul dalam doa, saya pun terbang ke New York, walaupun sudah diperingatkan bahwa perubahan tekanan udara pada saat lepas landas dapat menyebabkan jaringan penjepit syaraf muncul lagi. Benar saja, punggung saya sakit semua selama penerbangan dan tetap sakit setelah tidur semalam di New York. Lalu saya berdoa dan berkata kepada Tuhan: “Aku sangat mengasihi Engkau. Aku sudah banyak belajar di bulan-bulan terakhir ini dan sungguh bersyukur atas bimbingan, kasih karunia, dan kekuatan-Mu. Engkau sudah memimpin dan menjagaku sampai hari ini. Ini aku. Aku percaya sepenuhnya kepada-Mu. Aku di sini sendirian sampai akhir tahun ajaran—aku tak tahu apakah sanggup terbang pulang, atau apakah syarafku akan terjepit lagi. Aku hanya punya Engkau, dan Engkau berkuasa tiada tara. Aku tahu Engkau sanggup menyembuhkanku apabila Engkau berkenan, namun apabila bukan itu kehendak-Mu, aku akan menerimanya. Apa pun yang terjadi, aku akan mengikuti Engkau sampai akhir hayatku, asalkan Engkau senantiasa menyertaiku.”
Walaupun ingin kembali hidup normal, saya tidak lagi merasa cemas. Tuhan mengajar saya selama tiga bulan bagaimana percaya pada kekuatan dan kasih-Nya, bagaimana berdoa dengan sabar dan menantikan supaya kehendak-Nya terjadi, dan juga, bagaimana harus bersyukur. Sesungguhnya, kesembuhan yang terjadi pada manusia batiniah saya, perubahan hati saya, sudah dimulai sebelum ada tanda-tanda harapan yang terlihat jelas.
Hari Sabtu berikutnya, sebelum berangkat menghadiri kebaktian Sabat di Pos Pelayanan Brooklyn, saya berdoa terlebih dahulu. Saya tidak bisa menjelaskan mengapa, tapi saya benar-benar yakin bahwa Tuhan akan menyembuhkan sesampainya saya di sana. Selama 20 menit di dalam taksi punggung saya terasa sakit, tapi saya merasakan kedamaian yang tak terkatakan. Begitu saya melangkah ke dalam tempat ibadah, rasa sakitnya menghilang. Saya pun berlutut, dan pada saat itu, saya menangis. Dalam doa saya mengucap syukur kepada Tuhan. Ini adalah doa penuh sukacita dari seseorang yang sudah disembuhkan jasmaninya. Tetapi, terlebih lagi, adalah doa dari jiwa yang sudah sepenuhnya dipulihkan oleh kasih karunia Tuhan yang luar biasa.
KEMBALI KE PELUKAN BAPA
Empat tahun terakhir ini, saya menyaksikan bagaimana Tuhan menggunakan penyakit ini sebagai permulaan perjalanan rohani saya kembali kepada-Nya. Terkadang perjalanan tersebut merupakan perjuangan berat. Tapi setiap kali saya putus asa atau ragu, setiap kali saya merasa tersesat dan menghadapi jalan buntu, perjalanan ini berperan penting membantu saya dalam melawan tarikan gelombang kehidupan lama saya. Dia selalu memimpin saya kembali ke pelukan-Nya.
Dulu di tahun 2011, saya adalah anak hilang dan buta yang berharap dapat merangkak pulang ke rumah Bapanya. Tuhan tidak berdiri tak acuh tapi selalu ada bersama saya di setiap langkah sepanjang jalan berbatu itu. Ia memperlihatkan kepada saya bahwa:
Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar daripada penderitaan kami. Sebab kami tidakmemperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal. (2Kor. 4:17-18)
Sekarang saya memiliki harapan yang melampaui penderitaan duniawi, dan saya tahu pasti bahwa Dia memperhatikan, dan akan senantiasa menjaga saya. Amin.