Surat Bagi Para Pemuda: Pemikiran Tentang Karier dan Pernikahan
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Hsieh Shun Tao – Taichung, Taiwan, Inggris
Damai sejahtera bagi para pemuda di dalam Kristus!
Kiranya Tuhan Yesus Kristus memberikan berkat-Nya bagi kalian dan membuat masa depan kalian mulia di mata Tuhan. Saya kiraorang tua dan juga teman-teman kalian akan mendoakan hal yang sama bagi kalian. Pertanyaannya adalah: Apa yang dapat kalian lakukan untuk mempertahankan berkat ini? Saya dengan senang hati akan membagikan beberapa pemikiran tentang dua hal: karier dan pernikahan.
LANGKAH MENUJU KEBERHASILAN DI DALAM KARIER – DENGAN CARA KRISTEN
Setelah lulus dari pendidikan akademis, kalian akan memasuki dunia kerja. Di tempat kerja, kalian akan memiliki atasan, dan dengan demikian kalian menjadi bawahan. Jika kita menggunakan istilah di dalam Alkitab, mereka akan menjadi “tuan” dan kalian akan menjadi “hamba” mereka. Yang diinginkan atasan dari kalian adalah kesetiaan (1Kor. 4:2), yang ditunjukkan dengan kepatuhan dalam segala hal (1Ptr. 2:18). Kalian harus berjuang untuk menjadi pekerja yang baik, menunjukkan kualitas seperti ketepatan waktu, kesungguhan, dan bertanggung jawab.
Dalam hal ketepatan waktu, jangan datang terlambat bekerja, atau pulang lebih awal; selalu pastikan kalian menyelesaikan tugas dalam waktu yang ditentukan. Dalam hal kesungguhan, bersungguh-sungguhlah dalam pekerjaan, hindari obrolan tidak berguna selama jam kerja dan lakukanlah tugas lain yang dapat kalian lakukan setelah tugas kalian sendiri selesai. Dalam hal bertanggung jawab, lakukanlah segala sesuatu dengan seluruh hati dan pikiran, setialah dalam perkara kecil seperti halnya dalam perkara besar (Luk. 16:10).
Setia dalam Perkara Kecil
Pada akhir abad ke-16, ada seorang ahli strategi militer Jepang yang terkenal bernama Hideyoshi Toyotomi (1536-1598). Ketika dia masih remaja, dia adalah seorang pembawa alas kaki bagi Nobunaga Oda, seorang tuan yang berkuasa pada masa itu. Tugas sehari-hari Hideyoshi adalah membawakan sandal jerami bagi tuannya ketika tuannya bangun dari tempat tidurnya. Pada musim dingin, Hideyoshi akan memeluk sandal jerami itu agar sandalnya menjadi hangat, sebelum kemudian diberikan kepada tuannya; dia berketetapan untuk menjadi pembawa sandal terbaik di Jepang. Pada suatu hari, tuannya bertanya kepadanya, “Mengapa sandal ini hangat?” Hideyoshi dengan hormat dan jujur menjawab pertanyaan tuannya. Kesetiaannya menyentuh tuannya, yang memperkirakan bahwa Hideyoshi akan menjadi seseorang yang hebat suatu hari nanti. Memang, mata yang tajam dapat melihat kebesaran dari hal yang biasa-biasa saja. Di kemudian hari, ketika Nobunaga akhirnya dibunuh oleh bawahannya, Hideyoshi menggunakan keterampilan strategi militernya untuk memimpin pasukan guna memadamkan kerusuhan dan membalas dendam bagi tuannya. Tak lama kemudian, dia menjadi tokoh penting di Jepang.
Sudah tentu, membawakan alas kaki adalah pekerjaan yang sangat rendah. Tetapi dari cara seseorang melakukan pekerjaan ini, kita dapat melihat semangatnya yang sebenarnya. Orang yang hebat tidak selalu orang yang mencapai suatu hal yang besar, melainkan orang yang melakukan pekerjaan mereka sebaik-baiknya, walaupun pekerjaan itu adalah pekerjaan kecil.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, efisiensi adalah hal yang penting. Apa pun yang kalian lakukan, lakukanlah dengan lebih akurat, dengan tepat dan cepat daripada sebelumnya. Kalian harus memiliki penilaian yang tajam dan dapat melihat masalah yang tidak disadari orang lain. Kalian pun harus belajar untuk memahami dan mengantisipasi masalah yang tidak dapat diprediksi orang lain. Hanya dengan cara seperti ini kalian dapat menjadi lebih kreatif, dan hanya dengan kreativitas, kalian dapat berinovasi. Inovasi dapat memberikan kalian keunggulan untuk dapat bertahan dalam industri yang kalian tekuni.
Orang yang hebat tidak selalu orang yang mencapai suatu hal yang besar, melainkan orang yang melakukan pekerjaan mereka sebaik-baiknya, walaupun pekerjaan itu adalah pekerjaan kecil.
Melayani Tuhan Penting bagi Keberhasilan Kita
Mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan membuat diri kita selalu relevan dengan banyak membaca adalah perkara yang tidak kalah pentingnya. Namun, kita juga harus memiliki hikmat yang berasal dari rasa takut akan Tuhan: “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan, dan mengenal yang Mahakudus adalah pengertian” (Ams. 9:10). Banyak cara untuk menunjukkan rasa takut kita akan Tuhan: mengikuti kebaktian dan persekutuan, mempelajari Alkitab dengan sungguh-sungguh dan hidup menurut kehendak-Nya; dan berdoa sungguh-sungguh untuk menjaga hubungan yang dekat dengan Tuhan. Luangkanlah waktu untuk terlibat dalam pelayanan, ambil bagian dalam pengInjilan. Persembahkanlah perpuluhan tepat waktu dan Tuhan akan memberkatimu (Mal. 3:10). Jika kita melakukan hal-hal ini, maka keberhasilan pastilah dapat kalian capai dan Tuhan akan dimuliakan!
Jika kita merasa terpanggil atau tergerak oleh Roh Kudus untuk mempersembahkan diri bagi Tuhan sebagai pekerja penuh waktu, maka ikutilah program pelatihan teologi. Ini akan menjadi pilihan yang terbaik dalam hidupmu! Memang hari-hari terakhir sudah dekat, bahkan sudah di ambang pintu (Mat. 24:3-33.
Karena begitu berharganya Injil ini, Alkitab mengatakan, “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!” (Rm. 10:15b). Jadi janganlah ragu, dan persiapkanlah diri untuk menjadi bagian dari tim yang indah ini!
BERKAT DARI PERNIKAHAN DI DALAM TUHAN
Pernikahanmu Membentuk Imanmu
Kalian semua sekarang adalah orang dewasa, yang sudah dapat memikirkan pernikahan. Seperti yang kita ketahui, pernikahan adalah tahap yang penting di dalam kehidupan manusia. Pernikahan yang berhasil akan membawa dampak positif bagi pembentukan keluarga kita, perjalanan karier kita, iman kerohanian kita, dan lain sebagainya. Sebaliknya, keputusan yang salah dapat membawa kita kepada masalah yang tidak berkesudahan.
Kaum pemuda sudah sering mendengar ajaran tentang pentingnya menikah di dalam Tuhan. Hal ini sering menimbulkan reaksi yang beragam. Beberapa pemuda merasa frustrasi dan bertanya, “Mengapa saya tidak boleh menikahi orang yang tidak seiman, jika saya dapat membawa dia dan keluarganya kepada Tuhan?”
Jawaban saya adalah,”Kamu akan beruntung jika dapat memelihara iman sendiri, apalagi membawa pasanganmu dan keluarganya untuk percaya. Apakah menurut kalian membawa seluruh keluarga kepada Tuhan akan menjadi tugas yang mudah? Jangan mengabaikan bahwa Tuhanlah yang menentukan siapa yang ingin Dia selamatkan (Yoh. 6:37, 44, 65, 15:16). Jika keluarga itu tidak digerakkan oleh Tuhan, dapatkah kamu membawa mereka kepada-Nya dan mengalahkan kuasa Tuhan (Ef. 1: 4-5;
Saya mengenal seorang saudari dari Taiwan yang menikah dengan seseorang yang tidak seiman. Di hari pernikahannya, pengantin baru itu diminta untuk berdiri di hadapan berhala keluarga dan papan leluhur. Ibumertua saudari itu memberikan sebuah dupa kepadanya, dan saudari itu berkata, “Saya percaya Tuhan Yesus, saya tidak boleh menyembah berhala.”
Ibu mertuanya pun marah dan memarahi anaknya karena pilihan mempelai wanitanya. Akhirnya, mempelai laki-laki mengirim mempelai wanita kembali ke rumahnya sendiri, dan tidak berani membawanya kembali ke rumahnya. Dia menangis sampai air matanya kering, tetapi sudah terlambat!
Risiko Menjadi Satu dengan yang Tidak Seiman
Sebagian kaum pria mengatakan bahwa bagi mereka, risiko mengompromikan iman mereka lebih kecil jika mereka menikah dengan yang tidak seiman. Jawaban saya adalah, “Bagi setiap saudara yang menikah dengan yang tidak seiman, bukankah akan ada satu saudari yang tidak mendapatkan pasangan seiman? Dan dengan demikian apakah tidak menyebabkan saudari itu mencari pasangan di luar gereja?”
Musa mengatakan kepada bangsa Israel, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka (bangsa lain): anakmu perempuan janganlah kau berikan kepadaanak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka Tuhan akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.” (Ul. 7:3-4). Kata-kata ini menjelaskan akibat menikah dengan yang tidak seiman: menyimpang dari iman, berpaling kepada allah lain, dan pada akhirnya ditinggalkan oleh Allah yang benar.
Belajarlah dari contoh yang ada di Alkitab. Setelah Salomo membangun Bait Allah dan istananya, dia mengambil tujuh ratus istri dan tiga ratus gundik dari bangsa lain. Pada masa tuanya, istri-istrinya itu menarik Salomo untuk menyembah allah-allah lain dan membuat Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Tuhan pun murka dan berfirman bahwa Dia akan mengoyakkan kerajaan Salomo dan memberikannya kepada hambanya, kecuali satu suku yang akan diberikan pada anak Salomo (1Raj. 11:1-13).
Ketika Nehemia kembali ke Yerusalem untuk membangun kembali tembok Yerusalem, dia melihat beberapa orang Yahudi memperistri bangsa lain, dan anak-anak mereka tidak dapat berbicara bahasa Yahudi. Nehemia menegur mereka dan berkata, “Bukankah Salomo, raja Israel, telah berbuat dosa karena hal semacam itu? Walaupun di antara begitu banyak bangsa tidak ada seorang raja seperti dia, yang dikasi Allahnya dan diangkat oleh Allah itu menjadi raja seluruh Israel, namun diapun terbawa ke dalam dosa oleh perempuan-perempuan asing itu. Apakah orang harus mendengar bahwa juga kamu berbuat segala kejahatan yang besar itu, yakni berubah setia terhadap Allah kita karena memperistri perempuan-perempuan asing?” (Neh. 13:26-27).
Karena orang Yahudi menikah dengan bangsa lain, anak mereka tidak dapat berbicara bahasa Yahudi. Dalam arti rohani, hari ini orang yang menikah dengan yang tidak seiman pun akan membuat keturunan mereka kehilangan kemampuan untuk “berbicara bahasa Yahudi”. Dengan kata lain, lingkungan tempat mereka tumbuh akan kekurangan dimensi rohani dan iman. Pendeknya, jika seseorang menikah dengan yang tidak seiman, kekuatiran yang utama adalah iman generasi penerus mereka.
Pada tahun 1960-an, Majelis Pusat Taiwan mengutus saya untuk melayani satu gereja diTaipei. Suatu hari, seorang pengurus gereja membawa saya untuk membesuk seorang saudari. Ketika kami berlutut untuk berdoa, kedua anaknya mulai tertawa dan terus melakukannya sampai doa selesai. Seolah-olah mereka melihat suatu hal yang tidak biasa. Setelah kami meninggalkan rumah saudari itu, saya berkata pada pengurus tersebut, “Saya dapat melihat bahwa saudari itu tidak pernah berdoa di rumahnya sebelumnya, atau membawa kedua anaknya untuk mengikuti kelas pendidikan agama di gereja.”
Pengurus itu bertanya, “Bagaimana Anda tahu?” Jawab saya, “Jika dia pernah melakukannya, kedua anaknya tidak akan berbuat seperti itu.”
Saudari itu pada mulanya berasal dari gereja di Taichung, dan keluarganya termasuk jemaat awal di Taiwan bagian tengah. Pada masa mudanya, dia memiliki iman yang kuat. Namun setelah menikah dengan orang yang tidak seiman, imannya mulai turun sampai pada tahap dia tidak pernah berdoa dengan kedua anaknya.
Memang, kita dapat melihat banyak contoh pemuda yang dulunya memiliki iman yang kuat dan bahkan menjadi guru agama. Namun setelah menikah dengan yang tidakpercaya, iman mereka pun mulai turun seiring berjalannya waktu, dan sekarang kita pun jarang melihat mereka mengikuti kebaktian.
Pertimbangkan hal ini dengan saksama: Rata-rata, gereja membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk membangun iman seorang jemaat, mulai dari pendidikan agama anak-anak sampai kelas pemuda. Dengan begitu banyak waktu, tenaga dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun setiap jemaat, tentulah harapannya adalah agar mereka dapat melakukan beberapa pekerjaan gereja ketika mereka telah dewasa. Tetapi karena mereka menikah dengan pasangan yang tidak seiman dan iman mereka merosot, investasi gereja menjadi sia-sia. Tentulah ini kerugian yang sangat besar dan sangat menyedihkan!
Yang percaya tidak dapat bersatu dengan yang tidak percaya; persamaan apakah yang mereka miliki (2Kor. 6:14)?
Jika kita percaya kepada Tuhan dan menginginkan berkat yang kekal, sedangkan pasangan kita tidak percaya dan mengejar apa yang ada di dunia, bagaimana kita dapat mendamaikan perbedaan itu? Bagaimana kita dapat mencapai kerukunan dan keharmonisan dalam rumah tangga kita?
Milikilah Pikiran yang Terbuka
Mengapa beberapa jemaat merasa sulit menemukan pasangan ideal mereka di gereja, atau merasa perlu untuk mencari di luar gereja? Pertanyaan ini rumit. Secara pribadi, saya merasa salah satu alasan adalah karena mereka memiliki harapan dan syarat yang terlalu tinggi.
Filsuf Yunani, Plato, pernah memiliki seorang murid yang meminta nasihatnya dalam memilih pasangan. Plato menyuruhnya, berkata, “Pergilah ke ladang gandum dan bawakan gandum terbesar yang dapat kau temukan. Berjalanlah dari ujung sini sampai akhir, tetapi kau hanya boleh melangkah ke depan, bukan ke belakang.”
Muridnya melakukan sesuai yang diperintahkan, tetapi bagaimana pun dia mencoba memilih, dia tidak dapat menemukan gandum yang sesuai. Baru pada saat dia sampai di ujung ladang, dia ingat bahwa ada gandum yang lebih baik sebelumnya. Namun karena dia diberi tahu bahwa dia tidak boleh berjalan mundur, dia tidak punya pilihan selain mencabut sebutir gandum dari ujung ladang.
Cerita ini memberitahukan kita bahwa waktu tidak menunggu siapa pun, dan kita tidak dapat memutarbalikkan waktu. Jika kita memiliki ekspektasi yang sangat tinggi dalam perkara memilih pasangan, kita akan selalu merasa tidak puas, betapa pun kerasnya kita mencari. Dan kemudian saat usia kita terus bertambah, pilihan kita menjadi semakin terbatas, dan seperti murid Plato, kita hanya dapat memilih apa yang dapat kita temukan di ujung ladang!
Sekitar tahun 1970-an, saya memperkenalkan seorang saudari kepada seorang saudara.Setelah pertemuan pertama, saya menanyakan kesannya tentang saudari itu. Dia tersipu, dan dengan terdiam memandangi lantai. Saya berkata, “Jika Anda terlalu malu untuk mengatakan apa pendapat Anda, izinkan saya menyarankan nilai: seratus untuk ‘Saya tidak akan mendapatkan orang yang lebih baik’; delapan puluh untuk ‘ideal’; enam puluh tanda untuk lumayan’!”
Pada saat itu, dengan terbata-bata dia berkata, “Keadaan saya sendiri tidak begitu bagus, bagaimana saya mematok ekspektasi yang tinggi terhadap orang lain?”
Saya mengerti maksud saudara ini dan menjawab, “Pernikahan yang penuh kebahagiaan tidak bergantung pada apakah orang lain memenuhi syarat-syarat tertentu, tetapi apakah kalian berdua memiliki Firman Tuhan di dalam hati kalian.”
Tidak lama setelah itu mereka bertunangan, lalu menikah dan memiliki anak. Sampai hari ini, mereka masih menjadi pasangan yang penuh kasih dan berbahagia.
Pesan moral dari kisah ini adalah agar tidak menetapkan syarat atau ekspektasi yang terlalu tinggi ketika kalian memilih pasangan. Asalkan pasangan kalian memiliki karakter yang baik, iman yang tulus, dan penampilan yang dapat diterima, itu sudah cukup.
Kiranya Tuhan memberkati kalian untuk dapat menemukan seseorang yang paling sesuai bagi kalian.
Haleluya, damai bagi kita semua.