Penginjilan Selama Pandemi Covid-19 dan Lockdown
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Philip Shee – Singapura
Respon global terhadap pandemi COVID-19 telah menyebabkan negara-negara memperketat perbatasannya dan membatasi perjalanan ke luar negeri. Banyak juga yang telah menerapkan lockdown lebih lanjut di dalam negeri, dengan kegiatan bisnis dan sekolah dibatasi, bahkan kebaktian gereja ditangguhkan. Dengan latar belakang ini, perjalanan penginjilan ke luar negeri terhenti. Kegiatan penginjilan konvensional juga tidak bisa dilakukan karena kita tidak dapat bertemu orang dan mengundang mereka ke gereja. Apa artinya ini bagi amanat besar Tuhan kita dalam memberitakan Injil ke seluruh dunia?
BAIK ATAU TIDAK BAIK WAKTUNYA
“Beritakanlah Firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya”(2 Tim 4: 2). Ini adalah pengingat bahwa pekerjaan penginjilan harus tetap berlanjut dalam segala kondisi. Walaupun kondisi saat ini telah menyebabkan tantangan yang tidak terduga, kita harus memiliki pola pikir yang benar untuk tetap siap memberitakan Injil setiap saat.
Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur, dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai. (Pkh 11:4)
Taburkanlah benihmu pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, Karena engkau tidak mengetahui, apakah ini atau itu yang akan berhasil, Atau kedua-duanya sama baik. (Pkh 11:6)
Ayat-ayat di atas mengingatkan bagaimana kita harus menabur benih Injil (lih. Mrk 4: 3–8, 14–20;
INJIL TIDAK DAPAT DIBELENGGU
Ketika kita menghadapi rintangan-rintangan fisik dalam pekerjaan penginjilan, penting untuk mengingat bahwa pelayanan para rasul juga menghadapi tantangan yang serupa, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Infrastruktur perjalanan dan komunikasi belum begitu maju pada masa itu, dan menjangkau banyak orang tidaklah mudah. Mereka juga menghadapi penganiayaan, bahaya, dan pertentangan yang terus- menerus selama pelayanan mereka, seperti yang digambarkan oleh Paulus:
Tiga kali aku didera; satu kali aku dilempari dengan batu; tiga kali mengalami karam kapal; sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut; dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi, bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu; aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat, kerap kali aku tidak tidur, aku lapar dan dahaga, kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian. (2 Kor 11: 25–27)
Para rasul sering ditangkap dan dipenjara. Namun demikian, penyebaran Injil terus berlanjut meskipun ada batasan-batasan ini, dengan campur tangan Tuhan dan dedikasi tanpa henti dari jemaat mula-mula.
Mereka ditangkap dan diserahkan ke dalam tahanan sampai keesokan harinya, karena hari telah malam. Tetapi di antara orang yang mendengar ajaran itu banyak yang menjadi percaya, sehingga jumlah mereka menjadi kira-kira lima ribu orang laki- laki. (Kis 4: 3–4)
Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem; Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria. … Mereka yang tersebar itu menjelajah seluruh negeri itu sambil memberitakan Injil. (Kisah 8: 1b, 4)
Kedua ayat di atas memberi kita gambaran mengenai pola pikir penginjilan jemaat mula-mula. Apapun keadaan, tantangan, atau batasannya, bahkan ketika mereka lari dari penganiayaan, mereka tetap bertekad memberitakan Injil ke mana pun mereka pergi. Bahkan dalam kekuatiran akan keselamatan mereka, penginjilan tidak pernah dikesampingkan.
Dan ketika pergerakan para rasul dibatasi melalui pemenjaraan, Tuhan turun tangan secara langsung untuk membuka jalan. Dia membebaskan mereka dari penjara agar mereka dapat melanjutkan pelayanan mereka (Kis 12: 3–12, 16: 23–36). Dalam kasus Paulus di Filipi, campur tangan Tuhan membuka jalan bagi pemberitaan Injil sehingga kepala penjara dan keluarganya dapat dibaptis.
Sekali lagi, kita menyaksikan perkembangan Injil bahkan dalam pertentangan dan pembatasan.
Selama menjadi tahanan rumah di Roma, Paulus tidak bisa lagi melakukan perjalanan untuk memberitakan Injil. Adalah wajar untuk berasumsi bahwa ini pada akhir yang akan membelenggu penyebaran Injil. Bagaimanapun, pemberita Injil itu sekarang terbelenggu. Namun, Injil itu sendiri tidak terbelenggu, seperti yang ditunjukkan pada ayat di bawah ini:
Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya, memberitakan Kerajaan Allah dan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan Yesus Kristus dengan penuh keyakinan, tidak ada yang merintangi dia. (Kis 28: 30-31)
Bukan hanya Injil terus diberitakan, tetapi juga Paulus terus menulis surat dari penjara selama periode ini. Dan surat-surat ini menjadi bagian dari Kitab Perjanjian Baru. Jika kebebasannya tidak dibatasi, waktu dan tenaganya mungkin sangat terfokus pada perjalanan dan pemberitaan Injil. Jika ini terjadi, dia secara fisik hanya dapat menjangkau sebagian kecil orang dalam jangka waktu yang sangat pendek. Sebaliknya, dia menyelesaikan surat-surat kepada jemaat selama periode ini, memungkinkan Firman Tuhan melampaui ruang dan waktu, menjangkau lebih banyak orang selama periode yang tidak terbatas.
Hari ini, walaupun kita tidak pernah bertemu Paulus secara jasmani, tetapi kita terus menerima pemberitaan Injilnya melalui surat-suratnya. Kita juga menggunakan Kitab Suci yang sama untuk memberitakan Injil kepada orang lain. Oleh karena itu, sangatlah tepat bagi Paulus untuk mengatakan bahwa karena Injil, dia “malah dibelenggu seperti seorang penjahat; tetapi Firman Allah tidak terbelenggu ”(2 Tim 2: 8–9).
Walaupun pembatasan yang dihadapi jemaat mula-mula berbeda dari yang kita hadapi saat ini, tetapi jelas ada persamaan yang dapat kita tarik. Karena itu, walau dengan pembatasan yang diberlakukan selama pandemi COVID-19, pintu Injil tetaplah terbuka. Asalkan kita tetap fokus pada penginjilan, akan ada jalan di mana kita masih bisa memberitakan Firman.
MENGUBAH TANTANGAN MENJADI PELUANG
Pada hari mujur bergembiralah, Tetapi pada hari malang ingatlah, Bahwa hari malang ini pun dijadikan Allah seperti juga hari mujur. (Pkh 7:14a)
Ketika hidup berjalan mulus, orang-orang menyibukkan diri dalam pengejaran duniawi mereka, selalu berusaha untuk mencapai tonggak berikutnya, atau memanjakan diri dengan pengalaman menyenangkan berikutnya. Kesulitan biasanya memicu orang untuk merenungkan makna dan tujuan hidup yang lebih mendalam, mengingatkan mereka akan kenyataan yang serius tentang kerapuhan hidup manusia. Ketika mereka bergulat dengan ketidakpastian akan masa depan, mereka mungkin merasakan ketidakberdayaan dan kecemasan, terlepas dari pencapaian duniawi mereka.
Dalam pekerjaan penginjilan, kita sering bergumul dengan bagaimana memulai percakapan atau bagaimana mempertahankannya.
Pembicaraan dapat dimulai dengan dampak negatif pandemi terhadap ekonomi, yang telah berubah dari kemakmuran menjadi keruntuhan dalam beberapa bulan, dengan kegagalan bisnis dan orang-orang yang kehilangan mata pencaharian mereka. Kita kemudian dapat menyoroti ketidakpastian kekayaan di dunia ini, dan bagaimana kita seharusnya tidak membangun kepercayaan kita padanya tetapi sebaliknya percaya pada Tuhan yang hidup (1 Tim 6:17). Akhirnya, kita bisa menyimpulkan dengan mendorong mereka untuk mengumpulkan harta di surga daripada di bumi (Mat 6: 19-20).
Cepatnya penyebaran COVID-19 dan tajamnya tingkat kematian, bahkan di negara- negara paling maju sekalipun, menyatakan akan kerapuhan hidup dan ketidakberdayaan manusia. Kita bisa berbagi tentang makna hidup manusia, singkatnya hidup, dan pengharapan akan hidup kekal. Kita juga bisa berbagi tentang Tuhan, yang pada akhirnya berkuasa atas hidup dan mati.
Secara mengejutkan, pembatasan sosial telah membuka peluang baru bagi penginjilan. Dengan gereja menggunakan teknologi modern untuk ibadah secara langsung melalui internet, kita sekarang dapat mengundang teman-teman kita untuk bergabung dengan kita beribadah secara virtual. Dengan bekerja dari rumah yang mengurangi aktivitas sosial, mereka mungkin mendapati diri mereka memiliki lebih banyak waktu luang, dan cenderung lebih dapat menerima undangan kita. Anggota-anggota keluarga yang belum percaya juga akan lebih bersedia bergabung dalam ibadah online rutin, bersama dengan anggota gereja yang mengikuti ibadah. Bahkan dengan pembatasan perjalanan luar negeri, kita dapat mengatur untuk menjangkau daerah perintisan kita melalui situs web.
Periode ini terbukti telah menghasilkan buah bagi gereja kita di seluruh dunia. Banyak orang telah menerima undangan dan berpartisipasi dalam ibadah penginjilan online. Pemahaman Alkitab melalui video dan telekonferensi juga telah secara rutin diadakan bagi jemaat yang ingin memahami kebenaran. Dan kita bahkan dapat memfasilitasi pemahaman Alkitab lintas negara, di mana para pengkhotbah dari satu negara dapat mengajar sesama warga negara mereka, yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran, dalam bahasa asli mereka. Tanpa adanya ibadah di gereja secara fisik, Tuhan masih menganugerahkan Roh Kudus dan menggerakkan para simpatisan untuk dibaptis.
Walau masih banyak lagi, namun sebagian contoh di atas menyatakan bagaimana kita dapat mengubah tantangan menjadi peluang dalam memberitakan Injil. Kita dapat terhubung dengan orang-orang melalui masalah-masalah yang ada, dan memanfaatkan kenyamanan dan jalan yang dibuka oleh teknologi modern.
Marilah kita terus berdoa “supaya Allah membuka pintu untuk pemberitaan kita” (Kol 4:3).