Dari Kerit Ke Horeb
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Vincent Yeung – Cambridge, Inggris
Covid-19 telah mengancam kehidupan manusia, menempatkan kita dalam bayang-bayang kematian. Tinggal di rumah tanpa kontak fisik dengan dunia luar menjadi pengalaman baru bagi sebagian besar orang. Mereka yang dikarantina dapat terpisah dari orang tua, pasangan, atau anak-anak mereka. Kita mendengar banyak kisah tentang pasien sekarat memanggil orang-orang yang mereka cintai untuk mengucapkan kata-kata selamat tinggal yang terakhir. Mereka yang terlihat sehat juga menderita “kesepian” karena pembatasan sosial yang mencegah mereka bertemu teman dan keluarga. Sebuah survei terhadap 5.260 orang dewasa di Inggris antara bulan April hingga Mei 20201 menunjukkan 50,8 persen dari yang berusia enam belas hingga dua puluh empat tahun terpengaruh oleh “kesepian” ini — yang jumlahnya lebih dari tujuh juta orang di seluruh Inggris. Lebih jauh lagi, keterpurukan ekonomi dan sosial menyebabkan semakin tingginya tingkat stres. Kecemasan dan depresi ini seringkali membuat seseorang memisahkan diri secara sosial, merampas kesempatan untuk menjalani hidup yang penuh makna. Selain risiko kesehatan fisik yang dapat ditimbulkan COVID-19, krisis kesehatan mental juga berkembang di antara kita.
Dari sudut pandang rohani, orang-orang Kristen tidak dapat datang ke gereja selama pembatasan sosial. Tidak ada kontak fisik dan persekutuan dengan saudara-saudara seiman, selain dari keluarga inti kita. Aktivitas yang dahulu kita anggap begitu mudahnya dilakukan, tidak dapat lagi dilakukan. Setiap orang harus bertahan di atas kakinya sendiri, berdoa dan membaca Alkitab masing-masing. Terlepas dari banyaknya ibadah online, interaksi yang terjadi sangatlah minim. Keuntungannya, ada banyak pilihan bagi kita untuk mendengarkan khotbah, pelatihan, dan waktu berkebaktian. Tetapi di balik keuntungan ini, terdapat godaan untuk melewatkan, atau menghentikan sementara sesi kebaktian untuk melakukan urusan pribadi.
Terdapat dua jenis isolasi: isolasi paksa, yang terjadi oleh kekuatan eksternal — legal atau ilegal — di mana kita tidak punya pilihan selain menerima dan menjalaninya; dan isolasi mandiri, yang kita pilih karena kita merasa dapat bertahan seorang diri, atau karena merasa ditolak oleh dunia. Kedua jenis isolasi ini dapat saling terkait — isolasi paksa dapat menyebabkan seseorang mengembangkan kebiasaan bertahan seorang diri, atau menjadikan seseorang cenderung mengasingkan diri. Elia melewati berbagai tahap isolasi, lebih dari banyak tokoh lain dalam Alkitab. Kita akan mempelajari bagaimana dia dapat mengatasi, dan mengalahkan, dampak isolasi yang terjadi dalam perjalanan imannya.
TUJUAN ILAHI
Elia pertama kali disebutkan dalam kitab
Setelah Elia menyelesaikan tugas pertama ini, Tuhan memerintahkan dia pergi ke Sungai Kerit yang mengalir ke Sungai Yordan, untuk minum darinya, dan diberi makan oleh burung gagak (1 Raj 17: 3–6). Pada akhirnya, sungai mengering, dan Tuhan memerintahkan dia pergi ke Sarfat, di mana seorang janda akan memberinya makan (1 Raj 17: 7–9). Kekeringan berlangsung setidaknya tiga tahun (1 Raj 18: 1), akan tetapi Tuhan menyelamatkan hidup Elia melalui dua sumber yang tak terduga — burung-burung gagak dan seorang janda yang putus asa, yang tengah memakan makanan terakhirnya
Kita dapat melihat sebuah peristiwa dari dua perspektif berbeda: pertama menurut sebab-akibat, dan kedua menurut tujuan ilahi. Yang pertama melihat dunia secara fisik dan memandang peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai konsekuensi dari tindakan manusia atau hukum alam. Yang terakhir terjadi dari dalam dan melihat maksud dan tujuan Tuhan di balik segala sesuatu. Dari peristiwa-peristiwa global seperti perubahan iklim, perang, dan kelaparan, hingga insiden yang tampaknya tidak menentu, umat Tuhan yang beriman akan melihat bahwa Tuhan memiliki rencana-Nya.
Sang janda dengan murah hati memberikan Elia makanan terakhirnya karena telah kehilangan semua harapan untuk selamat dari bencana kelaparan. Namun, Tuhan memiliki tujuan yang lebih tinggi dalam menjaga Elia dan keluarga janda tersebut agar tetap hidup. Dia juga melindungi tujuh ribu orang di Israel yang setia kepada Tuhan selama masa pencobaan ini (1 Raj 19:18). Elia dan rekan-rekannya mungkin mengalami kesukaran, tetapi janji dan pemeliharaan Tuhan untuk mereka yang setia tidak pernah gagal.
Selama berabad-abad, umat pilihan Tuhan dalam berbagai zaman mengalami kesengsaraan, namun Tuhan tidak pernah mengecewakan mereka yang beriman kepada-Nya. Ketika Sanherib mengepung Yehuda pada tahun 701 SM, banyak rakyat menderita, tetapi Yesaya menghibur mereka. Meskipun mereka harus mengalami “roti dan air serba sedikit,” Allah membimbing, memulihkan, dan menyembuhkan mereka (Yes 30:20–26). Rasul Paulus “menanggung beban yang terlalu berat” di Asia, tetapi melalui kesusahan ini dan kelepasan yang ia dapatkan, memungkinkannya untuk menghibur orang lain yang berada dalam kesulitan di kemudian hari (2 Kor 1: 8, 4, 10). Ketika kita menghadapi kesusahan dalam hidup, baik besar atau kecil, kita perlu yakin bahwa ada tujuan yang lebih tinggi di balik setiap peristiwa itu, dan bahwa Tuhan akan menyertai orang-orang yang setia kepada-Nya.
ISOLASI PAKSA
Kekeringan parah membatasi perjalanan Elia. Tidak jelas apakah dia menjalin kontak sosial dengan orang lain di sungai Kerit. Aktivitasnya di Sarfat juga terbatas pada keluarga sang janda. Kita dapat mengasumsikan bahwa lingkaran sosialnya begitu kecil dan dia tidak berinteraksi dengan hamba-hamba Tuhan lainnya. Namun, bahkan dalam isolasi paksa ini, dia terus menjalin hubungan yang dekat dengan Tuhan dan percaya kepada-Nya. Firman Tuhan tidak jauh dari mulutnya; dia tahu persis bahwa Tuhan akan menjaga hidup dia dan juga keluarga sang janda selama kelaparan (1 Raj 17:14). Dia percaya pada kebaikan Tuhan, dan doanya dikabulkan: anak janda itu hidup kembali, sehingga melalui mukjizat tersebut nama Allah dimuliakan (1 Raj 17:24). Elia tidak segan-segan bertemu Ahab, meskipun Ahab berusaha membunuhnya (1 Raj 18:10, 17). Dia mengalahkan 450 nabi Baal seorang diri karena percaya pada janji, kesetiaan, dan tujuan Tuhan terhadap umat-Nya (1 Raj 18:24, 37–40).
Kita dapat melihat dari perkataan dan tindakan Elia, bahwa iman dan hubungannya dengan Tuhan tidak menyusut seiring berjalannya waktu ataupun mengalami isolasi. Tuhan memiliki tujuan atas situasi-situasi yang terjadi – seperti kekeringan hebat, perlawanan dengan nabi-nabi palsu, api dari surga, ataupun hujan lebat (1 Raj 18:45) untuk dapat memulihkan iman umat- Nya (1 Raj 18:37, 39). Bangsa Israel tidak mengerti dan tidak dapat memutuskan apakah Baal atau TUHAN yang adalah Allah (1 Raj 18:21). Tuhan bisa saja memilih orang lain untuk melakukan pekerjaan-Nya. Tetapi Dia memilih Elia, dan Elia menanggapi panggilan tersebut dan percaya Tuhan sepenuh hati sebelum hujan yang dijanjikan turun.
Elia dan umat Allah mengalami kesukaran luar biasa selama tiga tahun kekeringan ini, tetapi mereka keluar dari kesukaran ini sebagai orang-orang yang lebih baik (1 Pet 1: 5–7). Kita mungkin mengalami kesulitan hidup karena COVID-19 — kita mungkin kehilangan kekayaan, atau pekerjaan, ataupun sangat terpukul oleh kekurangan makanan. Kita menderita secara fisik dan mental. Apapun bentuk salib yang kita pikul, kita harus berusaha agar dapat menjadi orang yang lebih baik setelah keluar dari situasi ini.
Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan, tetapi kita harus memanfaatkan waktu lebih yang sekarang kita miliki untuk mengembangkan rohani kita dan meningkatkan hubungan kita dengan Tuhan.
Akankah kita menghabiskan waktu di Netflix atau belanja online selama isolasi, atau akankah kita menggunakan waktu melalui pembacaan Alkitab, kebaktian online, doa, dan memeriksa diri?
ISOLASI DIRI
Setelahnya, kehidupan Elia berubah secara tak terduga. Dia sangat ketakutan atas ancaman Izebel, sehingga dia melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya (1 Raj 19: 2–3). Dia melakukan perjalanan selama empat puluh hari dan malam, jauh dari tanah Kanaan, ke Horeb, gunung Allah, dan bersembunyi di sebuah gua, murung (1 Raj 19: 8-10). Setelah melakukan mukjizat hebat di Gunung Karmel, anti klimaksnya terasa seperti jatuh dari tebing terjal. Elia baru saja mengalami manifestasi kuasa Tuhan yang paling dahsyat dalam hidupnya, namun hatinya menjadi lemah karena ancaman manusia biasa. Tuhan telah membuatnya aman selama tiga tahun. Api dan hujan turun dari surga ketika dia berdoa, dan Tuhan menunjukkan bahwa Dia ada di sisinya. Tetapi keadaan tidak berubah: Ahab dan pengikutnya masih berusaha membunuhnya. Mungkin Elia berpikir, saya telah memberikan segalanya, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Apa lagi yang bisa saya lakukan untuk meyakinkan bangsa Israel untuk percaya? Bukankah mereka seharusnya tercengang oleh api dari surga, dan hujan lebat setelah tiga tahun kekeringan?
Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Elia. Tetapi dari jawaban Elia atas pertanyaan Tuhan, “Apa yang kamu lakukan di sini?” (1 Raj 19: 9, 13) dapat memberi kita petunjuk. Dia fokus kepada dirinya sendiri: “Aku sangat bersemangat. … Aku sendiri yang tersisa. … Mereka berusaha untuk mengambil nyawaku.” (1 Raj 19:10, 14). Dirinya orang yang baik, dan semua orang telah meninggalkan Tuhan kecuali dia. Namun, terlepas dari semua yang telah dilakukannya, Ahab dan Izebel menolaknya dan ingin membunuhnya.
Sebelumnya, isolasi terhadap Elia dipaksakan kepadanya karena bencana kekeringan, tetapi sekarang dia mengisolasi dirinya karena pilihannya sendiri. Dia telah menyerah kepada semua orang, karena dia merasa semua orang telah menyerah padanya. Dia lupa bahwa ketika orang-orang menolak hamba Tuhan, mereka sebenarnya menolak Tuhan (1 Sam 8: 7). Elia memutuskan untuk bersembunyi sejauh mungkin, ke tempat yang tidak dapat ditemukan oleh siapa pun. Mengapa dia mengatakan bahwa dia hanya sendirian? Obaja telah memberitahu bahwa dirinya telah menyembunyikan seratus nabi Tuhan untuk mencegah mereka dari pengejaran Izebel (1 Raj 18:13). Sepertinya Elia seorang yang tertutup dan tidak memperhatikan pengabdian orang lain kepada Tuhan. Dia tidak bertanya mengenai rekan sekerjanya, dan tidak menyadari bahwa mereka juga sedang melayani Tuhan bersamanya.
Pelayanan kita kepada Tuhan seharusnya tidak berpusat kepada diri sendiri atau hanya berorientasi kepada tugas yang diberikan — namun mengenai mengejar kekudusan dan penyangkalan diri. Ini tidak pernah menjadi “urusan kita”, tetapi urusan Tuhan. Dalam masa isolasi, Elia berfokus pada diri sendiri dan mengejar kesempurnaan tanpa memperhatikan orang lain. Dia menjadi seperti kelompok pertama dalam perumpamaan pekerja di kebun anggur, yang percaya bahwa mereka harus menerima lebih karena mereka telah melakukan bagian terbesar dari pekerjaan itu dan, oleh karena itu, lebih bernilai daripada mereka yang hanya bekerja keras dalam waktu yang singkat (Mat 20: 1–16). Sikap seperti ini membuat mereka buta dan melihat “kejahatan” dalam kebaikan sang tuan (Mat 20:15). Mereka kurang berminat pada pekerja lain, yang merupakan jemaat secara keseluruhan. Pekerja ini juga tidak mengasihi Tuhan atau menerima kebaikan- Nya, meskipun mereka mengatakan demikian. Mata yang jahat membuat seluruh tubuh menjadi gelap (Mat 6:23). Oleh karena itu, kita mau belajar dari kesalahan Elia dan jangan lupa bahwa kita hanyalah salah satu pekerja di antara banyak pekerja. Kita harus memenuhi kehendak sang Tuan dengan rasa syukur dan kerendahan hati, senantiasa mengingatkan diri bahwa apa yang kita kerjakan jangan sampai mengorbankan anggota yang lainnya.
Peningkatan kerohanian bukanlah tujuan akhir itu sendiri; kita mengejar kesempurnaan bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi karena ini adalah kehendak Tuhan bagi kita. Hubungan kita dengan Tuhan selalu terkait dengan hubungan kita dengan saudara-saudara seiman. Sebagaimana dinyatakan dalam
KESIMPULAN
Karena pandemi, kita terpaksa mengisolasi diri dari masyarakat dan jemaat di gereja. Penyair Latin, Decimus Juvenalis, pernah menulis: propter vitam vivendi perdere causas, yang berarti “kehilanganlah yang membuat hidup layak untuk dijalani” (Satire VIII). Kalimat ini mengingatkan kita akan perkataan Yesus: “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa yang kehilangan nyawanya karena Aku dan Injil, ia akan menyelamatkannya” (Mrk 8:35; lih. Mat 16:25; Yoh 12:25). Pandemi telah mengubah perilaku kita; beberapa orang begitu ketakutan sehingga mereka perlu berjuang untuk bisa kembali lagi ke kehidupan normal. Jika ketakutan kita akan kematian menghalangi kita membangun hubungan dengan Tuhan dan sesama orang percaya bahkan setelah isolasi mandiri dilonggarkan, walau kita sepertinya dapat mempertahankan kehidupan fisik, namun apakah hal ini layak dijalani, dari sudut pandang manusia dan rohani? Ujian justru akan datang ketika aturan pembatasan sosial dicabut, ketika kita dapat secara legal kembali lagi ke gereja. Akankah kita terlalu takut untuk kembali? Ketika kita kembali menghadiri ibadah secara langsung, akankah kita disegarkan secara rohani dan dikuatkan oleh Roh dan Firman-Nya, setelah kita memperkuat hubungan dengan-Nya selama masa isolasi ini?
Pandemi COVID-19 muncul secara tiba-tiba, dan kita tidak tahu kapan akan berakhir. Pada zaman Elia, Tuhan dengan tiba-tiba mendatangkan kekeringan dan mengakhirinya dengan tiba-tiba setelah tiga tahun. Kita tidak tahu akan tujuan Tuhan yang lebih tinggi, tetapi pandemi berfungsi sebagai pengingat bahwa hidup tidak dapat diprediksi, dan kita tidak bisa mengontrol masa depan kita. Tuhan melindungi Elia dan para hamba-Nya yang lain selama kekeringan, kelaparan, dan pembantaian Izebel. Oleh karena itu, kita hendaknya memiliki iman akan pemeliharaan Tuhan dan percaya pada kebaikan, kesetiaan, dan belas kasihan-Nya (Rat 3:22-23). Gunakan waktu kita selama isolasi dengan bijaksana — atur kembali prioritas kita, renungkan kelemahan kita, kembangkan serta lengkapi diri secara rohani — sehingga kita siap dan diperlengkapi untuk mengagungkan dan melayani-Nya dengan hati dan pikiran yang benar. Sementara kita melakukannya, janganlah meninggalkan persekutuan dengan saudara seiman kita, melainkan belajar memperhatikan keadaan orang lain, menghargai kebersamaan dan kontribusi mereka, sehingga iman kita menjadi semakin sempurna.
Catatan Kaki:
(1) Helen Pidd, “Study finds half of 16- to 24-year-olds hit by ‘lockdown loneliness,’ ” The Guardian, June 8, 2020, https://www.theguardian.com/society/2020/jun/08/study-finds-half-of-16–to-24-year-olds-hit-by-lockdown-loneliness.