Berkat Tuhan Itu Cukup
Download |
PDF File |
Edisi Lainnya |
Teresa Ho – Newcastle, Inggris
Haleluya, dalam nama Tuhan Yesus, saya bersaksi tentang bagaimana Tuhan merawat dan menyembuhkan saya. Saya telah menderita asma selama dua puluh tahun, dan pemicu sekecil apapun – seperti parfum – dapat membangkitkan serangannya. Dalam hitungan menit, saya akan mengeluarkan bunyi sesak nafas dan segera mencari obat hirup, sehingga saya cemas jika terjangkit virus korona. Karena virus ini menyerang saluran pernafasan, dampaknya terhadap mereka yang memiliki asma akan sangat fatal.
Kisah ini dimulai di bulan Maret 2020. Saya bekerja pada Pelayanan Kesehatan Nasional (National Health Service – NHS) di Newcastle. Ketika sekolah dan perkantoran di seluruh Inggris tutup pada 23 Maret 2020, departemen saya terus bekerja untuk mendukung persiapan menghadapi pandemi. Beberapa kolega saya mengunjungi klinik dokter umum di wilayah kami, membantu mereka bersiap merawat pasien yang terjangkit virus korona.
Pada penghujung minggu, beberapa rekan kerja saya memberitahukan bahwa mereka mengalami gejala virus korona. Di hari Sabat, suami saya, tiga anak-anak, dan saya mengikuti Kebaktian Sabat online bersama. Saat itulah saya merasa kurang sehat. Saya merasa sakit kepala, kelelahan, dan sesekali menggigil, walau telah dibungkus selimut. Saya juga mengalami batuk kering, namun tidak parah. Pada hari Senin, saya tahu telah mengalami sesuatu, namun tidak berpikir bahwa saya terjangkit virus korona, karena tidak sesuai dengan gejala utamanya yaitu demam, batuk terus-menerus, dan sesak napas.
Setelah dua puluh empat jam, gejalanya semakin memburuk. Saya merasa kedinginan, dan seluruh tubuh saya memar seperti habis berkelahi. Kemudian, saya merasakan sakit kepala yang terus-menerus, dan nyeri otot dari ujung kepala sampai ujung kaki. Begitu kelelahan hingga yang saya inginkan adalah tidur sepanjang hari. Saya tidur berhari-hari di dalam kamar tidur, melayang keluar masuk dari kesadaran. Saya bahkan tidak mengetahui waktu. Saya hanya bangun untuk minum air dan makan paracetamol (acetaminophen). Semakin lama saya merasa semakin lemah seiring berlalunya waktu. Saya ingat ketika saya harus bangun dan menghubungi suami saya, karena tangan saya begitu lemah untuk dapat membuka botol minum dan memakan obat-obatan. Saya masih merasa kedinginan walaupun telah menggunakan dua selimut dan satu lapisan tambahan untuk membungkus saya. Seluruh tubuh saya sangat menderita oleh nyeri otot dan sakit kepala yang tanpa henti. Saya tidak pernah mengalami nyeri tubuh dan sakit yang berkelanjutan seperti ini.
Bersyukur kepada Tuhan, suami saya tetap sehat pada awalnya untuk dapat menjaga ketiga anak kami ketika saya melakukan isolasi mandiri di kamar tidur utama. Namun hari Jumat, ia juga mengalami gejala yang serupa dan harus bergabung dengan saya dalam karantina. Bersyukur kepada Tuhan, ketiga anak kami tidak menunjukkan gejala apapun.
Setelah kira-kira dua minggu, barulah nyeri tubuh dan sakit kepala berangsur-angsur membaik. Saya merasa lega selama beberapa jam, walau kemudian nyerinya kembali lagi. Saya mulai dapat bangun dan bergerak, membuat makan siang dan makan malam untuk anak-anak saya ketika gejala suami saya memburuk. Dari hari ke hari saya perlahan- lahan merasa semakin membaik.
Karena cuti sakit, saya tidak mengetahui apa yang terjadi di kantor. Ternyata beberapa kolega saya positif COVID-19 dan telah melakukan pemulihan di rumah. Walaupun saya tidak melakukan tes swap pada saat itu, saya memiliki hasil tes darah yang menyatakan saya memiliki antibodi terhadap COVID-19.
Melihat ke belakang, saya sangat bersyukur kepada Tuhan atas kemurahannya, sehingga saya sama sekali tidak mengalami kesulitan bernafas selama sakit, terlepas dari kecenderungan saya terhadap reaksi hipersensitif. Walaupun saya dan suami membutuhkan lebih dari satu bulan untuk pulih, oleh anugerah dan kemurahan Tuhan, kami berdua akhirnya pulih kembali seperti sedia kala dan dapat melanjutkan kegiatan sehari-hari kami. Ketiga anak kami semuanya aman dan sehat, meskipun virus mematikan telah memasuki rumah kami.
Di awal pandemi, saya mulai melihat kembali iman saya. Tidak dapat keluar untuk pergi ke gereja atau berjumpa dengan sanak saudara, membuat saya fokus kembali terhadap prioritas jasmani dan rohani pribadi. Saya merasakan suatu kedekatan dengan Tuhan, yang selama ini sudah tidak saya rasakan, dan iman saya bertumbuh semakin kuat. Memang ada kesukaran dan penderitaan selama saya sakit, namun di balik semua itu, mendatangkan kebaikan dan kekuatan rohani.
Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan, dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2Kor 12:9-10).
Semakin dekat dengan Tuhan melalui pengalaman ini, memberikan saya keberanian untuk bersaksi bagi Dia, membagikan kesaksian ini. Saya berdoa kiranya saudara-saudari yang hidup di masa sukar ini akan dapat terbangun. Tuhan telah menjaga keluarga saya, dan Ia akan terus melakukannya selama pandemi dan setelahnya. Kiranya segala kemuliaan hanya bagi Tuhan! Amin.