Suara Sejati
Teladan Gereja di Eropa (Bagian Pertama)
Sdr. Albert Santoso, Gereja cabang Samanhudi, Jakarta
Sekitar dua setengah tahun yang lalu, saya mendapatkan kasih Tuhan untuk bersekolah di Belanda. Dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi bagaimana kehidupan jemaat, khususnya pemuda di Benua Eropa. Sejujurnya, saya sangat kagum dengan mereka dan berharap bisa mempelajari sisi baik mereka.
Kebanyakan Gereja Yesus Sejati di daratan Eropa jumlah jemaatnya berkisar 12-50 orang. Tantangan yang dihadapi mereka pun berbeda dengan yang ada di Jakarta, tempat tinggal saya sebelumnya. Banyak jemaat tinggalnya tersebar di berbagai kota di Eropa dan kebanyakan dari mereka adalah pendatang, mahasiswa atau generasi kedua-ketiga. Seringkali mereka harus menempuh 1-3 jam perjalanan untuk sampai ke gereja. Karena lokasi gereja yang cukup jauh, beberapa jemaat pun membuat persekutuan rumah tangga, yang kemudian menjadi cikal bakal gereja baru di tempat tersebut.
Saya sendiri harus menempuh perjalanan sekitar 2.5-3 jam, untuk pergi ke gereja di Rheinland, Jerman Barat. Jarak yang cukup panjang ini sering menjadi tantangan, terutama ketika saya lelah atau cuaca sedang tidak bersahabat. Terlebih lagi ketika ada perbaikan di rute perjalanan saya, sehingga saya harus berputar-putar untuk sampai ke gereja. Pernah saya harus menempuh lima jam untuk pulang dari gereja ke rumah. Sungguh berkat Tuhan, saya belum pernah terlambat sampai di gereja, ataupun ketinggalan bus terakhir untuk sampai ke rumah.
Hal lain yang membuat saya kagum, adalah kasih di dalam gereja. Jemaat yang ada di Rheinland hanya berkisar 7-15 orang. Namun begitu, setiap kali saya datang ke gereja, semua orang bertanya kabar saya. Dan pertanyaan ini lebih dari sekadar formalitas, tetapi mereka benar-benar peduli dengan apa yang terjadi dalam hidup saya. Dalam perbincangan yang terjadi di meja makan seringkali menjadi pokok doa kami bersama. Disini, mereka seringkali bercerita tentang keluarga mereka, penginjilan mereka kepada rekan kerja, sakit penyakit, kesulitan keuangan, atau masalah lain yang begitu pribadi. Lebih dari itu, setiap orang menyadari apabila ada satu jemaat yang tidak hadir. Dan ketika saya bertanya mengapa orang tertentu tidak hadir, selalu ada satu orang jemaat yang dapat memberitahukan apa yang terjadi. Entah karena sakit, masalah pribadi, atau hal lainnya. Lalu setelahnya, kami bersama-sama mendoakan orang itu. Hal ini membuat saya tertegun, karena perhatian yang begitu tulus dari setiap jemaat benar-benar saya rasakan dalam kehidupan pribadi saya.
Lebih dari itu, karena jumlah pemuda yang sedikit, maka pemuda seringkali mengadakan kegiatan bersama, entah sekadar makan kue atau es krim bersama, kunjungan ke gereja lain, hingga Skype call di malam hari membahas Alkitab. Mereka begitu terbuka dengan orang baru, dan bisa dengan mudah dan proaktif berbagi kehidupan mereka dalam persekutuan, entah itu berkat atau kesulitan yang sedang mereka hadapi.
Hal ini membuat saya mengerti apa yang dimaksud menjadi seorang saudara seiman. Setiap kali ada seorang pemuda yang kesulitan, kami berdoa bersama, dan selalu ada yang mem-follow-up kabar pemuda tersebut, hingga masalah yang dihadapinya selesai. Terkadang hal ini hanya berlangsung beberapa hari (seperti saat seorang pemuda mengeluhkan kesulitannya dalam ujian atau tugas akhir), terkadang bisa berbulan-bulan (seperti sakit penyakit). Tidak mudah untuk tetap mengingat seseorang yang hanya ditemui beberapa kali dalam setahun, tetapi perhatian yang saya dapatkan dari saudara seiman sungguh berbeda dengan yang saya dapatkan dari teman-teman saya yang lain. Saya jadi merasa malu. Seringkali saya …..
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian terakhir
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
Amin