Suara Sejati
Taat Tanpa Pengecualian
“Sdri. Sari Kristin”
Di bulan Oktober 2020, saya dan suami diminta tolong untuk hadir saat acara “sang-jit” (seserahan barang calon pengantin) di tanggal 8-November-2020. Tetapi karena suami bertugas di tanggal itu, hanya saya sendiri yang akan membantu. Belakangan suami berkata bahwa sebaiknya saya tidak pergi, sebab selama pandemi, pemerintah menganjurkan untuk tidak berkerumun.
Saya paham akan kekuatiran suami. Tetapi saya tentu merasa tidak enak hati, karena yang akan menikah adalah saudara dekat. Lalu saya berdiskusi dengan suami, membahas alternatifnya, yaitu: Saya hanya membantu sebentar saja di acara itu, lalu saya langsung pulang.
Tetapi suami tetap berkata bahwa saya harus taat dengan himbauan pemerintah, tanpa pengecualian. Saat itu, saya merasa tidak enak terhadap keluarga dan membuat mama berpikir bahwa kami seakan-akan enggan untuk menolong saudara. Beberapa kali mama dan saudara membujuk saya. Namun, suami tetap tidak izinkan.
Tanggal 7-November-2020, mama berangkat dari Sukabumi untuk membantu acara “sang-jit” di Jakarta. Mama menginap di rumah tante saya. Tante dan beberapa anggota keluarganya ternyata sedang tidak sehat.
Saya tentu berharap itu penyakit biasa saja. Tapi hati sempat kuatir, memikirkan bagaimana kalau itu ternyata virus Covid. Tentunya mama bisa ikut terpapar karena ia menginap di rumah tante. Selesai acara, tante dan calon pengantin hendak mampir ke tempat saya untuk mengantar undangan. Namun, mama melarang karena melihat tante sedang batuk-batuk. Besoknya, Mama segera pulang karena ia memiliki acara lainnya. Sepupu saya yang berada di Sukabumi juga akan menikah. Mama ingin membantu di acara itu.
Menjelang pernikahan sepupu di Sukabumi tanggal 14 November, mama mengingatkan saya untuk pulang dan menghadiri acara itu.
Kembali saya merasa galau.
Saya minta izin suami untuk hadir di acara tersebut di Sukabumi.Suami tetap berkata bahwa kami harus menaati himbauan pemerintah tanpa pengecualian dan tidak boleh berkerumun. Lagi-lagi saya tidak berhasil di dalam tawar-menawar dengan suami, walaupun saya menegaskan bahwa ini adalah sepupu dekat yang hendak menikah.
Saya tetap merasa tidak enak hati, sebab keluarga sepupu ini baik terhadap kami. Bahkan saat saya menikah, papa dari sepupu ini yang masak untuk acara kami.
Lalu saya memikirkan alternatif lain:
Apa saya sebaiknya memesan travel?
Atau saya ikut bersama dengan saudara?
Atau saya mengemudi kendaraan sendiri?
Sehari menjelang acara tersebut, sepupu saya berniat untuk menjemput. Namun, pada akhirnya tetap saya tolak. Hati kecil tetap berkata bahwa sebaiknya saya menuruti saran dari suami.
Kakak saya tinggal serumah dengan mama di Sukabumi. Dia memberitahukan saya kalau hari Minggu tanggal 15 November, ia akan datang bersama paman mengunjungi saya sekaligus ingin mengambil barang titipan dan membereskan kontrakannya.
Sambil memikirkan adanya kemungkinan mama bahwa sudah tertular Covid, saya merasa bingung—bagaimana caranya mencari alasan untuk menolak kedatangan kakak dan paman ke tempat saya.
Haruskah saya mencari-cari alasan?
Haruskah saya berbohong?
Saya sungguh bingung. Saya hanya bisa membawa masalah ini dalam doa.
Acara pernikahan akhirnya selesai. Malam itu juga, tanggal 14 November, kakak saya memberitahukan kalau mama mulai terlihat kurang sehat. Awalnya kami berpikir bahwa mungkin mama kelelahan karena mengurus dua acara.
Kemudian kakak mengatakan bahwa ia batal datang ke jakarta, sebab secara mendadak paman mendapat panggilan untuk pergi ke kantor, di hari Minggu—hari yang sama yang telah mereka rencanakan untuk datang ke tempat saya. Anehnya, saat paman tiba di kantor, paman disuruh pulang lagi—seakan-akan seperti sudah diatur untuk tidak bisa ke Jakarta pada hari itu.
Hari Minggu, saya mendapat kabar kalau keluarga sepupu yang mengadakan acara “sang-jit” di Jakarta, terjangkit virus Covid. Esok harinya, paman yang awalnya berencana untuk menemani kakak pergi ke Jakarta, juga mengeluh sakit. Karena hati tidak tenang, mama akhirnya pergi memeriksakan diri. Beberapa hari kemudian, giliran mama yang dinyatakan Positif, tertular virus Covid-19.
Kami tentu kuatir sekali mendapat berita tersebut. Banyak berita menakutkan yang beredar seputar penyakit ini, membuat kami semakin takut. Selama masa ini, tidak henti-hentinya kami berdoa dengan penuh kesedihan, memohon belas kasihan Tuhan Yesus. Setelah sekian waktu, mama akhirnya dinyatakan sembuh. Sungguh, hal ini semata-mata karena kemurahan Tuhan Yesus.
Saya sangat merasakan perlindungan Tuhan terhadap kami. Tetapi perlindungan juga membutuhkan ketaatan. Keduanya adalah “satu paket.”
Surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma mencatatkan bahwa pemerintah adalah wakil Tuhan di dunia (Rm. 13:1-5). Sebagai warga negara, sudah sepatutnya kita belajar taat, karena pemerintah sudah mengatur sedemikian rupa untuk kebaikan setiap warga negaranya.
Dari peristiwa ini, saya juga belajar untuk menaati nasihat suami. Ternyata perlindungan Tuhan baru berlaku saat kita berlaku jujur, tidak mencari-cari alasan—taat tanpa pengecualian.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin