Suara Sejati
Jangan Tanya Mengapa
“Sdr. Toan Tanadi, Gereja cabang Fatmawati, Jakarta Selatan”
Beberapa waktu yang lalu, saya merasa jenuh. Pikiran dan tubuh terasa lelah dengan rutinitas sehari-hari. Rasanya saya ingin sekali beristirahat dari pekerjaan maupun dari pelayanan.
Akhirnya keinginan tersebut terkabul, saya sungguh bisa beristirahat. Namun, bukan beristirahat di rumah, melainkan di Rumah Sakit.
Bulan Agustus tahun 2020, stamina saya menurun. Awalnya saya berpikir, penurunan tersebut dikarenakan efek asam lambung saya yang sedang tinggi.
Dua hari kemudian, saya mulai batuk dan demam. Batuknya tidak seperti biasa, saya batuk secara terus-menerus. Malam hari pun, saya hanya bisa tidur selama satu sampai dua jam. Sungguh sangat menyiksa
Lima hari kemudian, saya putuskan untuk menjalani tes swab. Ternyata hasilnya positif, saya terinfeksi virus Covid-19.
Kami sekeluarga bingung. Selama ini, kami hanya mendengar kisah orang lain yang terjangkit virus ini dan dirawat. Tapi saat diri sendiri yang mengalaminya, sungguh bingung bagaimana cara terbaik untuk mengatasinya. Kami hanya bisa membawanya dalam doa, memohon pertolongan Tuhan Yesus. Di masa pandemi, mencari Rumah Sakit yang mau menerima pasien Covid sungguh tidak mudah. Puji Tuhan, akhirnya saya mendapatkan tempat di sebuah Rumah Sakit swasta, dengan biaya ditanggung Kemenkes.
Lalu saya mulai menjalani rawat inap di Rumah Sakit dan tidak boleh ada yang menemani, karena saya menjalani isolasi.
Saat tubuh terasa sangat sakit, rohani pun sedang di titik terendah, saya merasa seakan-akan langit runtuh menimpa. Pikiran menjadi tidak karuan. Saya memikirkan pekerjaan kantor, keluarga, dan pelayanan di Gereja. Tetapi, kesemuanya tidak dapat saya lakukan.
Saat itu, saya serasa ingin berteriak, “Tuhan, mengapa ini semua harus terjadi?”
Sebenarnya saya tahu bahwa saya harus banyak berdoa dan membaca Alkitab. Namun, saya merasa tidak ada kekuatan untuk melakukannya. Walau berdoa, rasa kecewa terus-menerus muncul, membuat saya tidak dapat mengucap syukur. Dalam hati saya terus berpikir, “Apa saya bisa sembuh?” Hati jadi tidak tenang. Rasa damai dirampas. Rasa takut terus menyiksa.
Saya menjadi takut meninggal, karena saya merasa belum siap. Banyak tugas yang belum saya tuntaskan, baik kepada keluarga maupun kepada Sang Pencipta.
Saya mengalami gangguan pernafasan dan kelainan penggumpalan darah. Oleh karena itu, saya harus dimasukkan ke ruang ICU. Namun, ternyata sulit sekali untuk mendapatkan kamar perawatan di Rumah Sakit yang mau menangani pasien Covid. Apalagi mencari ruang ICU, seperti halnya mencari barang langka.
Awalnya, saya mendapat berita bahwa ruang ICU yang tersedia hanya di Rumah Sakit yang berada di luar kota. Tentu saya dan keluarga merasa galau. Kami hanya dapat pasrah dalam doa, memohon pimpinan Tuhan. Berkat pengaturan-Nya, saya berhasil mendapat kamar ICU di sebuah Rumah Sakit di Jakarta Selatan. Akhirnya, saya dipindahkan dengan menggunakan ambulans.
Saat di ICU, ada seorang perawat yang usianya sudah paruh baya. Dia selalu menyemangati dan mengajarkan teknik berlatih nafas kepada saya.
Sejak saat itu, semangat hidup saya kembali. Ini adalah waktu tak terlupakan bagi saya.
Dokter dan perawat bergantian memberi dukungan kepada saya lewat kata-kata yang menggugah hati. Saya percaya mereka adalah perantara yang dikirimkan Tuhan.
Mereka berkata, “Pak, jangan tanya ke diri sendiri mengapa harus “saya”. Sekarang bapak sudah terinfeksi. Hal terpenting adalah bapak harus rela menerima hal ini. Lalu bapak jalani perawatan dengan baik.”
Mereka berkata, “Bapak juga berdoa mohon ampun atas semua kesalahan selama ini.” Dalam hati saya berpikir, “Kesalahan apa? Memangnya apa yang telah saya perbuat?” Tapi setelah saya renungkan, saya menerima nasehat ini dan menyimpannya dalam hati. Mungkin tanpa sadar, ada saja dosa yang telah saya perbuat. Saya lalu berdoa memohon pengampunan-Nya. Saya juga memohon agar kiranya Tuhan Yesus memberikan kekuatan dan sukacita.
Selama dirawat, saya disarankan untuk tidak memikirkan keluarga. Namun, hal ini sulit. Selama menjalani isolasi, Informasi yang saya dapat hanya sepihak. Keadaan saya saja yang dilaporkan kepada pihak keluarga. Tetapi tidak ada informasi sebaliknya. Sudah sekian waktu lamanya saya tidak dapat berkomunikasi dengan anak dan istri. Perasaan saya menjadi kacau. Saya terus memikirkan, “Apa yang terjadi dengan istri dan anak-anak, ya? Apa mereka semua baik-baik saja?”
Setelah beberapa hari, saya masih saja disuruh untuk berlatih nafas, karena saturasi oksigen masih di angka 90. Kemajuan saya sangat lambat dibanding dengan pasien lain di ruang ICU. Rata-rata saturasi mereka sudah 98-99.
Saya merasa iri sekali. “Mengapa pemulihan mereka lebih cepat dibanding saya?” Saya terus bertanya-tanya di dalam hati. Belakangan saya sadar bahwa itu pemikiran yang salah. Saya harus percaya kalau Tuhan pasti menyembuhkan. Lalu saya mulai mendoakan pasien lain di ICU, agar mereka dapat cepat pindah ke kamar perawatan biasa.
Hari demi hari, kesehatan saya terus membaik. Akhirnya, saya diperbolehkan untuk pindah ke kamar perawatan biasa. Puji Tuhan, saya merasa senang sekali. Akhirnya, saya bisa kembali berkomunikasi dengan keluarga dan teman. Lebih senang lagi saat saya dapat mendengarkan video khotbah, setelah tiga kali kebaktian sabat terlewatkan. Akhirnya setelah sekian waktu dirawat, saya diperbolehkan pulang. Kemudian, dilanjutkan dengan isolasi mandiri di rumah. Saya dinyatakan sudah sembuh dari virus Covid-19.
Belakangan saya baru tahu, ternyata keluarga saya ikut tertular. Total lima orang semuanya positif, tertular Covid. Istri saya dirawat di Rumah Sakit yang berbeda. Sedangkan dua putri kami dan asisten rumah tangga, gejalanya lebih ringan, sehingga mereka hanya menjalani isolasi mandiri di rumah. Ternyata mereka rahasiakan hal ini dan tidak mau menambah kecemasan saya selama saya menjalani rawat inap di Rumah Sakit.
Selama kami, suami-istri, tidak berdaya dan dirawat di Rumah Sakit, banyak jemaat Gereja Yesus Sejati yang menunjukkan kasih mereka. Kami merasakan kehangatan yang diberikan dari pendeta dan para jemaat. Sungguh, selama kami dirawat, kami tidak berjalan sendiri.
Pendeta dan para jemaat terus mendoakan, menghibur, dan bergantian mengantar makanan untuk anak-anak kami di rumah. Bahkan mereka mengawal kedua putri kami untuk keperluan medis. Mereka begitu memperhatikan keluarga kami.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin