Suara Sejati
Tanpa Penyesalan (Bagian Akhir)
“Sdri. Ruth Liauw, Gereja cabang Surabaya”
Setiap tahun kami berempat selalu meluangkan waktu untuk melakukan rekreasi keluarga. Jauh-jauh hari, kami sudah memesan kamar hotel untuk liburan tahun 2018. Kami tetap pergi, walaupun putri kami mengalami cedera. Kami menikmati kebersamaan yang ada. Sayangnya, saat itu putri kami lebih banyak menghabiskan waktu di kamar hotel karena sulit berjalan.
Tidak lama setelah liburan keluarga. Suami mengeluh sakit di bagian dada sebelah kiri. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa suami menderita nyeri otot. Kemudian, dokter memberikan resep obat. Setelah minum obat, keadaan suami membaik. Suami bisa mengantar putri kami ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Tetapi malam harinya, suami kembali merasa kesakitan, bahkan lebih sakit dari yang sebelumnya.
Besoknya, suami menjalani pemeriksaan USG dan pemeriksaan darah. Setelah hasilnya keluar, dokter memberikan diagnosa dan berkata, “hasil cek darah untuk penanda tumor, jauh diatas batas normal. Kemungkinan bapak terkena kanker. Hanya saya belum bisa memastikan kanker apa”.
Hasil USG menunjukkan ada benjolan di organ hati. Untuk memastikan, suami disarankan menjalani CT Scan. Kami sangat terkejut! Mengapa suami bisa menderita penyakit seberat itu?
Kemudian dokter memberikan obat penahan sakit dan anti mual. Kami hanya dapat berdoa, meminta pertolongan Tuhan. Pada hari Sabat, pendeta dan jemaat berdoa untuk suami. Puji Tuhan, keadaan suami mulai membaik, rasa sakitnya mulai berkurang. Obat penahan sakit yang biasanya diminum tiga kali sehari, hanya diminum sekali. Malah besoknya, suami sudah tidak minum obat penahan sakit lagi. Kami percaya, ini karena Tuhan memberi kekuatan dan penghiburan kepada suami.
Pertengahan Juli 2018, suami menjalani CT scan. Hasilnya menunjukkan suami terkena Kanker Pankreas, stadium lanjut. Kanker sudah menyebar ke hati dan paru-paru. Mendengar begitu, hati saya hancur.
Kami keluar dari ruang dokter, berjalan bersama di koridor Rumah Sakit dalam keheningan. Rasanya seperti berjalan di lorong perpisahan.
Saya menahan rasa pedih, membayangkan suami akan meninggalkan saya untuk selamanya. Saya memohon kekuatan dari Tuhan, agar tidak menangis dan dapat menghibur suami. Tetapi di sisi lain. Saya bingung harus berkata apa.
Tiba-tiba ada suatu dorongan, yang menyuruh saya untuk berkata-kata kepada suami, “Hidup manusia hanya sementara. Cepat atau lambat, kita akan kembali ke Rumah Bapa, kalau saatnya tiba.” Kalimat itu menjadi penghiburan untuk kami berdua.
Jemaat Gereja Yesus Sejati datang dan mendoakan. Hal ini sangat menguatkan kami. Suami tidak merasa kesakitan lagi, walau pun dia tidak minum obat penahan sakit. Setiap hari Sabat, suami masih bisa datang beribadah dan memiliki semangat untuk pelayanan. Walaupun kakinya sudah bengkak, suami masih bisa menaiki anak tangga dan mengambil buku catatan kebaktian. Padahal dokter mengatakan bahwa pasien kanker pankreas di stadium akhir seharusnya merasakan sakit yang luar biasa.
Puji Tuhan Yesus, yang telah membuat suami tidak merasa sakit.
Tanggal 21-Agustus-2018, suami terjatuh dari ranjang. Saat itu, kebetulan ada seorang pendeta yang datang membesuk, sehingga ia dapat membantu kami membawanya ke Rumah Sakit. Tetapi Tuhan punya kehendak lain. Hari itu, tepat di ulang tahunnya yang ke-65, roh suami berpulang ke Sang Pencipta.
Meskipun hati terasa pedih, saya yakin bahwa ini adalah pengaturan-Nya yang terbaik. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan. Saya sangat sering mendengar kutipan kitab Pengkhotbah 3:1- 2, “Untuk segala sesuatu ada masanya. Untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal”
Sungguh saya berharap, ketika waktu itu datang, saya juga bisa menjalaninya seperti suami, dengan sepotong “hati tanpa penyesalan.”
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin