Suara Sejati
Jodoh Versi Suami (Bag 2)
“Sdr. Rusmidi Karyoko, Gereja cabang Jakarta”
Sudah beberapa hari aku menjalani “ritual aneh.” Setelah pulang kerja, aku masuk ke kamar memikirkan tentang pernikahan. Padahal saat itu, aku sama sekali belum memiliki pacar. Aku mencoba mengurutkan dengan menggunakan abjad huruf agar lebih mudah diingat, meskipun “ritual” ini terasa seperti membuatku menjadi orang yang “tidak waras.”
Ternyata, aku justru menyukai andai-andai yang demikian. Sebab aku merasa lebih obyektif, aku dapat menganalisa kekurangan dan kelebihan orang-orang yang pernah kukenal. Sampai pada urutan huruf D, aku teringat pada “si tukang teror”, awalan nama huruf D. “Ah, itu mah kartu mati. Tidak bakal cocok”, sindirku.
Tetapi karena secara fisik orangnya tidak hadir dan ini hanya berandai-andai, aku merasa bahwa tidak ada salahnya jika aku menganalisa kekurangan serta kelebihan orang tersebut— sama seperti yang kulakukan pada orang dengan awalan huruf A sampai dengan Z.
Anehnya, sejak saat itu aku malah terus memikirkan dia, tetapi bukan seperti orang yang sedang jatuh cinta. Tetap tidak ada rasa suka sedikit pun, hanya saja, aku lebih sering memikirkannya.
Sungguh hal yang aneh. “Menakutkan” lebih tepat. Aku berusaha untuk membuang pikiran itu. Namun, sekuat apapun usahaku, tetap saja pikiran itu terlintas lagi selama berhari-hari. Aku merasa seperti ada sesuatu dorongan yang memicuku untuk berkeinginan menikah dengannya.
“Ini gila. Saya tidak suka cewek itu. Jangan-jangan saya diteror dalam bentuk lain, sebab kata orang—jangan sebal-sebal nanti bisa jadi suka. Apakah benar mitos itu bisa jadi kenyataan?” aku berkelit dalam hati.
Aku sungguh merasa gelisah. Aku merasa takut karena sebelumnya aku tidak pernah mengalami hal yang demikian.
Malam itu, aku berdoa, “Tuhan Yesus, saya tidak suka orang ini. Apakah benar saya harus menikah? Kalau benar ini jodoh saya, tolong munculkan rasa suka dalam hati saya. Supaya saya tahu kalau ini memang dari MU”.
Lalu aku tidur. Besoknya entah bagaimana, tiba-tiba aku mulai seperti orang jatuh cinta. Setelah beberapa hari merasakan hal serupa, aku akhirnya menelpon cewek yang bernama Dewi itu. Aku memintanya untuk bertemu tanggal 9-Agustus-1999.
Di hari tersebut, kami mengikuti ibadah doa pagi di Gereja. Saat berdoa, aku berkonsentrasi memohon, “Tuhan Yesus, kalau memang ini rencana-Mu, biarkan mulut saya lancar saat berbicara. Kalau bukan, tolong bungkam mulut ini.” Seusai doa pagi, dia sungguh sudah hadir. Kami mencari tempat yang tenang untuk berbicara. Awalnya aku merasa gugup, tetapi sesudah menyebut “Haleluya” di dalam hati, kalimat pertama yang meluncur keluar dari mulut, “Saya mau nikah dengan kamu.”
Aku tidak mau menunggu dia menjawab “ya” atau “tidak”. Bukan karena aku merasa hebat ataupun percaya diri, melainkan saat itu aku hanya berpikir, jikalau hal ini memang dari Tuhan, pasti semua akan berjalan lancar. Aku mengabaikan ekspresi wajahnya yang masih terkejut. Aku uraikan penjelasan bahwa sesudah menikah nanti aku hanya sanggup untuk menyewa tempat tinggal sebuah kamar, sebab aku tidak memiliki uang untuk mengontrak sebuah rumah. Kemudian, aku terus menjelaskan rencana ini dan itu sesudah menikah nanti.
Pulang ke rumah, aku masuk ke kamar papa. aku meminta papa untuk duduk, karena aku mau berbicara hal yang penting. Saat itu, papa sedang merokok. Tetapi langsung dimatikan karena ia tahu kalau aku tidak kuat dengan asap rokok. Aku hanya melapor secara singkat, “Pa, saya mau menikah. Minggu depan saya bawa pulang kenalin orangnya. Tolong bantu atur ya.” Tangan papa gemetar.
Ia mencari-cari rokoknya. Sesudah aku keluar kamar, papa menelpon nenek dan tante. Semuanya terkejut, tetapi mereka merasa sangat senang.
Tanggal 17-Agustus-1999, aku membawa Dewi ke rumah, memperkenalkannya dengan orangtua. Hari Jumat jam 10 pagi, tanggal 05-November-1999 kami menikah, dengan cara sangat sederhana di Gereja Yesus Sejati Jakarta.
Tanpa gaun pengantin
Tanpa mencetak undangan
Tanpa mengadakan pesta
Apalagi bulan madu.
Gajiku saat itu hanya Rp 795,000 sedangkan Tabunganku cuma Rp 4,250,000. Kami tinggal menumpang bersama orangtua, sampai anak kedua-ku lahir.
Tidak terasa, sampai hari ini sudah 21 tahun kami menikah. Kami dikaruniai dengan tiga putri yang membuat rumah kami tidak pernah sepi. Kami memang tidak kaya, tetapi kami tidak pernah kelaparan.
Sekarang kami sudah mempunyai rumah sendiri, walau pun hanya sebuah rumah kecil di dalam gang, kami sangat bersyukur. Dan sesudah 21 tahun menikah, dengan semua cacat dan kekuranganku, Dewi sungguh adalah istri yang sangat baik untukku.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin