Suara Sejati
Jodoh Versi Istri
“Sdri. Dewi Widjaja, Gereja cabang Jakarta”
Saya seorang murid jenjang Sekolah Menengah Pertama. Kelas saya di Gereja diberi nama kelas Tunas muda. Sering sekali pengkhotbah atau pembina mengajarkan kami para murid untuk mendoakan soal jodoh supaya bisa dapat yang seiman.
Walaupun usia saya masih muda dan saya belum memikirkan tentang pernikahan, saya aminkan nasehat itu dan mulai jadikan “jodoh” sebagai salah satu topik doa pribadi. Tahun demi tahun berlalu, akhirnya saya berada di jenjang kuliah. Tetapi saya belum pernah berpacaran.
Suatu hari, saya sedang bersantai di rumah. Di ruang keluarga, ada saya dan orangtua. Tiba-tiba telepon berdering. Sebelum sempat diangkat, tiba-tiba ada SUARA yang mengatakan kepada saya, “itu jodohmu”. Saya kaget sekali!
Secara spontan saya bertanya, “Siapa?” Lalu SUARA itu kembali mengatakan, “Yang pernah bertemu di bus, waktu kamu pulang kuliah.”
Saya terpaku sejenak. Pikiran saya terus berkecamuk mencari jawaban. Suara itu siapa dan dari mana asalnya?
Saya akhirnya berjalan ke arah telepon yang terus berdering itu. Saat telepon diangkat, terdengar suara seorang pemuda Gereja yang memang saya kenal. Ternyata dia menelpon karena ingin mengajak saya besuk jemaat lain yang sedang sakit. Pemuda itu berbicara dengan singkat sekali. Seusai menyampaikan apa yang ingin dia katakan, telepon lalu ditutupnya. Saya merenung cukup lama. Kami memang pernah bertemu sekali di bus, sewaktu saya pulang kuliah. Saya terkejut ketika dia menelepon, karena kami jarang bertemu dan jarang berbicara di gereja. Hal ini saya simpan di dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, saya memberanikan diri untuk menelpon pemuda itu, sekedar bertegur sapa. Besoknya, saya menelponnya lagi. Hari berikutnya, saya juga melakukan hal serupa. Tetapi karena saya tidak pandai bicara, sesudah berkata “halo,” saya lebih banyak berdiam diri.
Saya bukan sedang jatuh cinta, melainkan saya hanya ingin tahu apakah yang dahulu diberitahukan suara tersebut benar adanya. Saya berpikir, mungkin kalau saya memberanikan diri untuk menelpon, perlahan-lahan saya akan mengetahuinya. Tidak lama sesudah itu, saya menerima surat dari dia. Segera saya buka.
Isi suratnya hanya selembar. Saya membacanya perlahan-lahan. Isi surat tersebut pendek dan tegas. Ternyata, dia merasa terganggu dengan pendekatan yang saya lakukan, yaitu cara saya menelponnya. Dia berpikir bahwa saya menyukainya. Justru dia berkata bahwa dia tidak menyukai saya. Surat itu merupakan penolakan secara terus terang darinya saya malu sekali! Ternyata ini adalah salah paham.
Namun, karena saya tidak menaruh perasaan terhadapnya, saya dapat menerima pernyataan isi surat itu. Tidak lama kemudian, saya diminta oleh seorang saudara untuk membantunya di sebuah toko emas, di kota Bogor. Karena saya sudah lulus kuliah, saya menyanggupinya dan berhenti dari tempat kerja sebelumnya. Saya pindah ke kota Bogor. Pada akhir pekan, terkadang saya pulang ke rumah untuk menjenguk orang tua.
Saya sudah melewati lima bulan lamanya di Bogor. Suatu akhir pekan, saat saya pulang ke rumah, saya menerima telepon dari pemuda itu. Dia mengajak saya untuk bertemu. Saya merasa heran. Mengapa dia menelpon saya lagi sesudah menulis surat yang seperti itu? Namun, kami tetap bersepakat untuk bertemu di hari Senin pagi sebelum saya naik kereta ke Bogor untuk bekerja.
Hari itu, tanggal 9 agustus 1999. Setelah mengikuti acara doa pagi jam 7, dia mengajak saya ke suatu tempat sarapan di seberang Gereja. Wajah tegang dan gelisah. Sesudah menarik nafas panjang dia berkata, “saya mau menikah denganmu”. Saya begitu terkejut sampai-sampai tidak dapat berkata apa-apa.
Dia tidak menanyakan pendapat saya. Dia terus saja berbicara sendiri, sambil menceritakan rencananya untuk menikah dalam waktu sesingkat-singkat nya. Lalu dia juga mengajak saya untuk menemui orang tuanya pada hari libur tanggal 17 Agustus dan menjelaskan tentang rencana lainnya. Panjang sekali isi pembicaraannya! Saya yang masih dalam keadaan terkejut, sudah tidak bisa menjawab apa-apa.
Kami pun berpisah. Saya melanjutkan perjalanan ke Bogor, sambil merasa bingung memikirkan, “Mengapa dia yang awalnya sudah terang-terangan menolak, tidak menyukai saya; sekarang malah mengajak saya untuk menikah?” Lalu saya menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada saudara dan orangtua. Mereka juga terkejut. Kemudian mereka menanyakan perihal orang itu, saya mengenalnya dari mana, dan berbagai pertanyaan lainnya. Awalnya orangtua secara tegas menolak, apalagi kakak saya belum menikah. Namun, secara mengherankan, akhirnya mereka menyetujuinya.
Kami pun melaksanakan pernikahan di Gereja Yesus Sejati Jakarta, pada tanggal 5-November-1999; hanya dalam waktu dua bulan lebih sesudah pertemuan tersebut. Semua berlangsung dengan sangat cepat dan dengan persiapan yang begitu singkat. Tetapi, akhirnya semua dapat terlaksana dengan lancar. Ternyata suara itu benar. Caranya sangat ajaib!
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin