Suara Sejati
Berjalan Bersama Indah (Bagian Pertama)
“Sdr. Agung Supriyanto, Gereja cabang Solo”
Sejak kecil aku beribadah di sebuah gereja, bersama dengan teman-teman sekampung ku. Seru sekali rasanya, apalagi di komunitas ini semuanya memang wajah yang kukenal. Saat di jenjang SMP, seorang teman mengajakku ibadah di Gereja Yesus Sejati. Setiap ibadah, aku dijemput. Aku merasa heran sekali, karena orang yang menjemputku tidak bosan-bosannya datang dan menunggu.
Walaupun dia sudah tahu kalau setiap hari minggu aku beribadah di tempat lain, dia datang menjemput lebih awal. Sebenarnya aku ingin menolak, tetapi ibuku berkata, “ya sudah, kebaktian saja di Gereja Yesus Sejati.”
Akhirnya di usia 12 tahun, aku mulai beribadah di Gereja itu. Aku mengikuti kelas anak, Kebaktian Umum dan Kebaktian Sabat. Aku juga mulai banyak mendengar Firman Tuhan, yang membuatku perlahan-lahan mulai memahami Kebenaran di dalam Alkitab. Tahun berikutnya, aku menerima baptisan di Gereja Yesus Sejati. Lalu, ibu juga turut mengikuti kebaktian, dan menyusul untuk dibaptis di Gereja ini.
Kami, para muda-mudi mengadakan persekutuan di luar jam kebaktian dengan julukan nama RAMIDHI, yaitu singkatan dari: “Remaja Adakan Malam Indah dan Hiburan Rohani.” Setiap malam minggu, para remaja mengadakan Pemahaman Alkitab dan sesi puji-pujian.
Kelas Remaja kami ada seorang gadis, adik kelas. Aku sebenarnya menaruh hati, tetapi aku tidak berani mengungkapkan perasaanku. Aku hanya bisa menyimpannya di dalam hati. Bukan apa-apa, di sekolah sudah banyak cowok yang menyukainya. Dia bagaikan sebuah magnet. Terlalu banyak saingan. Mereka cowok keren. Aku kurus, tidak menarik. Lagipula aku belum bekerja.
Setelah aku lulus SMA, aku diterima kerja di sebuah Biro Perjalanan. Aku mencoba untuk bekerja sebaik-baiknya, sambil menimba pengalaman untuk bekal di masa depan. Hidupku tetap banyak berputar di Gereja, dengan beberapa pelayanan yang bisa kubantu. Sedangkan gadis yang aku suka, ternyata sudah memiliki pacar. Malah aku mendengar kabar bahwa mereka sudah mau menikah. Aku mencoba untuk mengubur perasaanku dalam-dalam. Mungkin bukan ini jodohku.
Suatu hari, Pendeta memberi kabar kalau si gadis masuk Rumah Sakit. Ternyata, orangtua si gadis tidak setuju kalau anak gadis satu-satunya ini diajak pindah ke luar pulau sesudah menikah. Lalu si gadis jatuh sakit. Menurut Pendeta, ada kuasa roh lain yang mengganggunya. Tenaga kesehatan keliru menangani penyakitnya dan menyuntikkan sejenis obat yang membuat seluruh tubuh gadis ini melepuh hebat. Aku merasa sedih, sebab temanku, gadis ini, sedang sakit secara psikologis dan fisik.
Setiap hari aku menjenguk dan mendoakan dia di Rumah Sakit. Temanku, gadis ini, sudah hampir satu bulan dirawat dan masih belum sembuh juga. Akhirnya ia dipindahkan ke Rumah Sakit lain. Kondisinya terus seperti demikian, bahkan semakin memburuk. Biaya pengobatan yang dikeluarkan untuknya pasti sudah sangat besar. Buktinya, keluarganya harus menggadaikan Sertifikat Rumah. Sungguh tekun, sungguh sabar orangtua dan saudara si gadis. Pendeta dan jemaat juga setiap hari mendoakan di Rumah Sakit. Puji Tuhan, akhirnya si gadis sehat kembali.
Belakangan, pendeta bisa “mencium” gelagat ku. Aku “ditembak” dan ditanya apakah aku mempunyai perasaan khusus terhadap si gadis. Aku tidak bisa mengelak. Terpaksa aku mengaku. Pendeta lalu berkata, “Saya akan bantu sampaikan ke orangtuanya, kalau ada seorang pemuda yang menaruh hati kepada anak gadis mereka.” Entah bagaimana caranya pendeta menjelaskan. Tetapi sungguh, orangtua si gadis lalu setuju.
Sebenarnya gadis ini sudah lama kukenal. Dulu dia diajak ibadah oleh tetangganya, lalu dibaptis di Gereja Yesus Sejati saat jenjang SMP. Orangtuanya Kristen, tetapi mereka pergi ke gereja lain. Belakangan, seluruh anggota keluarga si gadis ikut dibaptis di Gereja Yesus Sejati. Setelah melakukan pendekatan keluarga, orangtuanya menanyakan kepadaku kapan aku mau melamar anak gadisnya.
Tentu aku sampaikan kabar gembira ini kepada orangtua ku, supaya mereka memiliki persiapan waktu untuk melamar ke rumah si gadis. Saat hari lamaran, keluargaku ke sana. Kami diterima dengan baik. Senang sekali rasanya. Sekarang aku harus bersiap untuk Resepsi Pernikahan.
Aku dan calon istri mempersiapkan sendiri. Mulai dari seserahan, sewa gedung, undangan dan catering. Soal biaya, kami berusaha untuk tidak membebankan keluarga dan semua harus kami tanggung sendiri. Kami ingin bersikap dewasa.
Saat hari itu tiba, …….
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian terakhir
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin