Suara Sejati
Aku Tulang Rusuk Siapa (Bag 3)
“Sdri. Sari Kristin”
Suatu hari seorang istri pendeta di Gereja memberiku selembar kertas. Ternyata kertas itu berisikan nomor HP seorang jemaat di Malaysia. Aku diminta untuk menjadi teman komunikasi. Beliau menyampaikan bahwa siapa tahu jemaat tersebut cocok untuk dilanjutkan menjadi pasangan hidup. Memang, beberapa bulan sebelumnya, aku pernah bertugas sebagai penerima tamu. Saat itu, ada jemaat Malaysia yang datang ke Gereja Bandung.
Setelah itu, beberapa kali aku mendapat pesan yang sama dari teman-teman Gereja kalau jemaat itu mencariku. Salah satu yang menyampaikan pesan itu adalah seorang Siswa Teologi yang bernama Martin. Dia juga menyampaikan pesan yang sama. Karena merasa gerah dengan himbauan sebanyak itu, akhirnya aku mencoba untuk berkomunikasi dengan jemaat Malaysia itu melalui Facebook—sekedar bertegur sapa saja.
Entah mengapa, sejak saat itu aku dan siswa Teologi itu yang lebih sering komunikasi. Sebaliknya, aku sudah tidak pernah lagi berkomunikasi dengan jemaat Malaysia. Siswa itu sering menasehatiku dan menyampaikan bahwa aku harus membawa pasangan ke Gereja, hingga nanti saat menikah, keduanya dapat diberkati di Gereja. Dia setengah bercanda, mengatakan mau menjadi Pendeta yang akan memimpin upacara pemberkatan nikahku. Candanya berlanjut, dia malah meminta aku untuk tidak menikah dulu sebelum dia menjadi Pendeta.
Dengan berjalannya waktu, siswa itu akhirnya menjadi seorang penginjil. Suatu kali saat dia bertugas di Jakarta, dia meneleponku. Saat itu, aku masih bekerja di Bandung. Tanpa disangka, dia memberanikan diri dan menyatakan perasaan sukanya terhadapku. Tidak tahu harus menjawab apa, aku mencoba untuk membalas dengan tertawa saja. Paling tidak, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.
Tidak lama kemudian, Gereja pusat menugaskan “penginjil itu” di Gereja Bandung. Tentu hal ini adalah sesuatu yang tidak diatur dan bukan karena keinginan pribadinya.
Aku jadi bingung.
Bagaimana kalau nanti sungguhan harus bersama dia? Itu kan artinya, aku harus siap menjadi seorang istri pendeta? Padahal aku tidak mau. Aku tidak pernah berharap menjadi seorang istri pendeta.
Dalam kebingungan, aku kembali berdoa dan bertanya, ”Tuhan, bagaimana ini?” Tetapi hati kecil mengatakan bahwa “hal ini berasal dari Tuhan.” Masalahnya, kalau ini sungguh yang Tuhan berikan, “Jika aku menolaknya, boleh tidak ya?”
Aku bingung.
Sebagai teman, dia adalah seorang yang baik. Sebagai penginjil, dia juga seorang yang baik. Tetapi sebagai pasangan hidup, aku masih ragu.
Aku sudah berusaha mencari sisi positif dari dirinya dan kelebihannya sebagai berikut:
Perhatian darinya? Tidak terlalu.
Komunikasi yang dilakukan? Tidak intensif
Pendekatan yang dilakukan? Minim
Dia pernah bantu apa? Seperti apa kelebihannya?
Sungguh, tidak ada.
Jika dibandingkan dengan beberapa orang yang pernah melakukan pendekatan terhadapku, sungguh dia yang paling tidak perlu dihitung.
Tetapi mengapa hatiku merasa yakin terhadap hubungan ini? Seakan-akan hati ini terus-menerus berkata, “Hal ini dari Tuhan.” Setiap kali aku berdoa, jawabannya selalu bulat dan tidak ada keraguan sedikitpun. Namun logikaku memberontak, selalu mengajakku untuk menyangkal perasaan ini.
Aku mengasihi Gereja dan aku mau setia di Gerejaku. Namun, aku tidak bersedia menjadi istri seorang pendeta. Saat kuceritakan pergumulanku ke mama, ternyata mama juga menolak setelah tahu pekerjaannya. Kata mama, nanti kamu hidup susah, sering ditinggal, dan lain sebagainya. Mama juga menambahkan, kalau aku tetap mau jodoh yang gereja, boleh saja, asalkan jangan pendeta.
Lalu kuceritakan pembicaraan aku dengan mama kepadanya, bahwa mama tidak setuju dengan hubungan kami. Dia berkata bahwa….
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian terakhir
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
Amin