Suara Sejati
Aku Tulang Rusuk Siapa (Bag 1)
“Sdri. Sari Kristin”
Kami cuma dua bersaudara. Bayangan masa kecil terekam di otak kami, saat melihat orangtua sering bertengkar. Tidak jarang kami melihat kekerasan terjadi pada mama. Kalau sudah begitu, badanku gemetar. Lalu entah mengapa, aku langsung muntah-muntah.
Aku takut sekali .Saat aku masih di jenjang Taman Kanak-Kanak, orangtua sudah berpisah. Tetapi setelah itu, mereka masih bertemu beberapa kali. Selalu, disertai dengan pertengkaran demi pertengkaran. Hati kecil mengatakan, “aku tidak mau punya keluarga seperti ini.”
Papa menikah lagi. Mama pergi, namun ia rutin mengirimkan uang untuk aku dan kakak. Kami tinggal berpindah-pindah. Awalnya dengan papa, tetapi sejak kelas 6 Sekolah Dasar, aku menetap tinggal di rumah nenek dari pihak mama.
Saat aku kelas 3 Sekolah Menengah Pertama, kami mendengar kabar bahwa papa mendadak meninggal. Dalam hati terasa kacau mendengar kabar itu. Aku merasakan kesedihan yang luar biasa. “Mengapa papa bisa meninggal?” Aku bertanya-tanya dalam hati. Rasanya seperti sebuah lampu yang masih menyala, lalu tiba-tiba padam. Bagaimanapun, papa menyayangiku.
Memasuki masa remaja, aku tadinya berpikir bahwa aku memiliki kebebasan untuk bergaul dengan siapa saja. Saat itu, aku mulai kenal sejumlah teman cowok dari sekolah-sekolah lain. Katanya, mereka menaruh rasa suka terhadap diriku.
Mereka banyak memberi perhatian padaku. Mereka selalu ada saat aku membutuhkan bantuan. Kalau sudah begitu, aku merasa bahwa seakan mereka ini pengganti figur papa. Tetapi kakakku galak. Dia selalu mengawasiku. Kakak sering menegurku, ”Tidak boleh sembarang bergaul, jangan seenaknya main di luar, lalu lupa waktu.”
Pernah suatu kali, saat aku pulang jam 7 malam saja, habis-habisan aku dimarahi kakak. Apalagi jika hasil ulanganku dapat nilai tidak memuaskan, aku kena semprot lagi. Pokoknya kakak mau aku mendapat nilai bagus. Kata kakak, “jangan bikin malu ya. Tidak ada orangtua, harus punya nilai yang baik.”
Kami akhirnya terbiasa mengatur sendiri uang yang dikirim mama untuk membayar biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Nenek sudah tua, tidak bisa banyak membantu hal-hal seperti ini. Sejak kecil, aku dan kakak sudah diajak paman ke Gereja Yesus Sejati di Sukabumi. Jika sedang malas ibadah, kakak selalu ingatkan untuk tetap rajin ke Gereja. Kakak seperti seorang ibu bagiku.
Saat masih Sekolah Menengah Atas di Sukabumi, aku kenal dengan seorang teman cowok yang tinggal di kota Bogor. Kami menjalin hubungan jarak jauh. Akhirnya kami lulus dan kuliah di kota yang sama, Bandung. Beberapa kali aku mencoba untuk mengajak dia ke Gereja Bandung. Tetapi setiap pulang ibadah, selalu berakhir dengan debat. Dia kurang menyukai ajaran Gereja-ku.
Saat lulus, aku mulai bekerja. Kami tetap berteman dekat. Ada dorongan di hatiku untuk dibaptis di Gereja Yesus Sejati. Saat kukatakan kepada temanku itu kalau kami harus dibaptis, dia malah mengatakan kalau nanti kami menikah, mamanya sudah pesan harus sembahyang ke leluhur.
Saat aku menolak, dia memintaku untuk berpura-pura lakukan saja. Katanya, ”Toh, cuma pegang dupa dan berlutut. Pura-pura saja.” Aku menjawabnya, “Tidak bisa begitu. Nanti aku mengecewakan Tuhan walaupun aku menyenangkan hati orangtuamu. Nanti Tuhan marah walaupun itu cuma pura-pura.”
Aku mengikuti pelajaran Katekisasi di Gereja Bandung. Temanku ini ternyata juga mau mengikutinya. Namun, aku melihat bahwa dia melakukan hal tersebut hanya untukku, bukan dari hatinya. Buktinya, dia tetap berprinsip bahwa manusia tidak boleh fanatik terhadap iman kepercayaan. Akhirnya, aku putuskan untuk tidak melanjutkan hubungan. Memang kami sama-sama kecewa. Namun hatiku berkata, “kalau ini jodoh dari Tuhan, harusnya dia bersedia mengikuti kebenaran Alkitab, tanpa syarat.”
Beberapa tahun kemudian, aku mengenal seorang pria lain. Ditinjau dari berbagai segi, dia baik sekali. Ekonominya pun sudah mapan. Dia bahkan sanggup mengambil hati segenap keluargaku. Mama sangat setuju, berharap dia menjadi menantu. Aku sudah yakin 99 % kalau pria ini jodohku. Namun, ada hal yang mengganjal di hati. Saat aku pulang ibadah malam dari Gereja, dia selalu menjemput. Tetapi setiap kali kuajak masuk ikut ibadah, dia selalu mengelak dengan alasan “sibuk lah” atau “tidak ada waktu lah.” Kalau hari Sabtu, lebih tidak bisa diharapkan lagi, karena dia belum pulang dari kantor.
Suatu hari,…..
Kesaksian ini akan dilanjutkan pada bagian KEDUA
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin