Suara Sejati
Sepasang Pusaka
Sdri. Dewi Susanti, Gereja cabang Singapura
Sekitar tahun 1992, saat saya masih bersekolah jenjang SMA di Jakarta, saya mulai mengalami gangguan fungsi Thyroid.
Setelah bertahun-tahun tidak membaik dengan obat oral, saya akhirnya menjalani operasi. sesudah jam 03:00 pagi.
Pada tahun 2003, penyakit Thyroid ini kembali kambuh. Saya kembali ke dokter dan diberikan opsi untuk operasi lagi. Karena saya takut untuk menjalani operasi ulang, saya berkonsultasi dengan dokter di Singapura yang mengatakan, “Operasi thyroid cuma boleh sekali seumur hidup”.
Di tahun 2005, saya menikah dengan saudara Steven Andreas. Selama perjalanan bulan madu kami di luar kota, saya merasakan hal yang tidak wajar. Ada rasa dingin luar biasa yang menyerang tubuh saya, menusuk sampai ke tulang.
Saat saya memeriksakan diri ke dokter, hasil pemeriksaan hormon thyroid saya ada di angka 0 (nol). Saya bertanya kepada dokter, “Apakah kami boleh mempunyai anak?”
Dokter menjawab, “Janganlah kamu berpikir untuk memiliki anak, karena anak yang lahir akan mengalami kelainan di otaknya”.
Saat mendengar penjelasan itu, kami sangat sedih sekali. Lalu kami hanya bisa membawa hal ini di dalam doa, percayakan kepada Tuhan—Sang Pemberi hal yang baik dalam hidup kami.
Di waktu yang sama, kami juga sedang mempelajari persyaratan tentang pengajuan Kewarganegaraan Singapura. Suami berpendapat, jikalau kami hendak mempunyai anak, lebih baik pindah ke Singapura agar lebih mudah pulang-pergi ke dokter.
Kami bergumul dalam doa, memohon tanda kepada Tuhan, “Apakah sebaiknya kami pindah ke Singapura atau lebih baik di Jakarta? Sebaiknya kami memiliki anak atau tidak?”
Suatu hari saya terpikir, “Mungkin ada yang salah dengan cara kami berdoa?”
Saat memasukkan dokumen pengajuan Kewargaan Singapura, kami berdoa, “Tuhan, kalau memang ini jalan-Mu, kami akan bisa pindah dan pengajuan kami pasti disetujui.” Kami terus-menerus membawa hal ini di dalam doa sampai sekian lama.
Akhirnya, suatu hari seorang saudara memberitahukan kalau pengajuan kami berhasil. Dan tanggal disetujuinya adalah tanggal pernikahan kami.
Tentu kami senang, sekaligus bingung—karena persetujuan tersebut berarti kami sungguh-sungguh harus pindah. Padahal kami belum terbayangkan bagaimana rasanya pindah ke negeri asing? Bagaimana kami bisa mencari kerja? Bagaimana ada cukup uang buat membeli rumah?
Serta sekian banyak pertanyaan lain yang masih berputar-putar di otak ini, yang kami juga tidak tahu bagaimana menjawabnya.
Dengan pengaturan Tuhan, di bulan Desember tahun 2006, suami saya terlebih dahulu mendapat pekerjaan di Singapura.
Sedangkan saya masih pulang-pergi Jakarta-Singapura, antara untuk urusan ke dokter dan untuk wawancara pekerjaan.
Saya baru mendapat pekerjaan di bulan Mei tahun 2007, sehingga saya bisa menyusul pindah dan menetap di Singapura.
Singapura adalah negara yang terlihat bagus untuk turis, tetapi saya merasa keindahan negara itu seakan-akan sirna bagi orang yang bekerja.
Di hari pertama saya bekerja, saya menelpon mantan pimpinan tempat saya bekerja dahulu. Saya katakan bahwa saya ingin balik ke Jakarta saja, karena saya merasa lingkungan kerja di Singapura tidak sebaik di Jakarta.
Bahkan ada lelucon di antara orang Indonesia, kalau ada orang yang sanggup bertahan bekerja di Singapura, dia pasti sanggup bertahan bekerja di mana saja. Lelucon ini sesungguhnya menggambarkan betapa kerasnya kondisi kerja di negara itu. Tepat seperti apa yang saya rasakan.
Setiap kali ke Gereja Singapura, saya berdoa sambil menangis, “Tuhan saya mau pulang saja. Saya tidak bisa bertahan disini”.
Saya mendapat penghiburan dari lagu-lagu kidung yang dinyanyikan di gereja, dari khotbah dan juga dari waktu berdoa bersama.
Pengalaman ini semua, seperti mengingatkan saya bahwa ada Tuhan yang menjaga dan berjalan bersama-sama dengan kami.
Ada penghiburan yang luar biasa setiap kali kami ke gereja, sehingga kami selalu bersemangat menunggu datangnya hari kebaktian.
Setelah sekian waktu, ternyata saya hamil. Ada rasa senang sekaligus cemas.
Tetapi saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk saya—meskipun dokter pernah berkata bahwa tidak disarankan bagi kami untuk memiliki anak. Kalaupun anak kami nantinya ada kekurangan, saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan untuk menjaga anak itu.
Tanggal 26-April-2008, anak pertama lahir normal.
Saya beri nama “Kayla Joelle Jovanka” yang artinya:
Kayla: “Siapa yang seperti Tuhan”
Joelle: “Tuhan Allah adalah Tuhan”
Jovanka: “Tuhan pemurah”
Tuhan begitu baik kepada keluarga kami. Lahirlah anak kedua di tanggal 3-Agustus-2010, yang kami beri nama: “Cathleen Chelle Aviella” yang artinya:
Cathleen: “Murni”
Chelle: “Siapa yang seperti Tuhan”
Aviella: “Tuhan adalah Bapa-ku”
Dua anak kami tumbuh dengan baik dan sehat. Mereka seumpama “Sepasang Pusaka” dalam keluarga kami.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin