Suara Sejati
Belajar Lebih Sabar
“Sdr. Virky, Gereja cabang Jakarta”
Setelah sekian waktu saya bekerja di tempat lain, tanggal 01-November-2017 saya bergabung kembali di Yayasan Kanaan, dengan lokasi kerja di Kanaan Global School (KGS) di daerah Daan Mogot, Jakarta barat.
Tanggal 7-November-2017, tanpa diduga pemerintah mengadakan proyek peninggian jalan di sekitar rumah kami yang berlokasi di daerah Kemayoran.
Karena di cor beton malam sebelumnya, saya dan sejumlah warga pagi itu merasa kesal saat hendak mengeluarkan kendaraan; sebab beton yang masih basah tersebut tidak boleh dilintasi. Petugas hanya menyediakan lembaran tripleks untuk menyeberang ke gang kecil, di depan rumah.
Bagaimana mungkin seseorang tidak merasa kesal? Saya harus mendorong motor ke gang kecil di seberang, akibat proyek peninggian jalan tersebut. Sepatu dan ban motor saya pasti terkena semen. Rasanya jadi malas masuk kerja hari itu.
Namun, dikarenakan pagi itu saya ada tugas membawakan renungan pagi untuk para staff, akhirnya saya berangkat juga ke KGS.
Meskipun sedikit tertunda dengan urusan cor beton, dalam perjalanan dengan motor, pikiran saya terus berkata, “Harus cepat sampai, supaya ada persiapan dalam membawakan renungan.”
Perjalanan cukup lancar sampai perempatan daerah Rawa Buaya. Begitu lampu hijau menyala, saya langsung menambah kecepatan motor. Oleh karena saya ingin mengejar waktu, saya ambil jalur kanan dan berusaha untuk mendahului truk-truk besar.
Tetapi karena biasanya saya ambil jalur kiri, saya tidak tahu kalau justru di jalur kanan jalannya bergelombang. Saya tidak bisa menghindar lagi.
Saya mulai merasa motor oleng hebat. Lalu mendadak saya sudah tidak sadarkan diri. Semuanya terasa gelap.
Saat saya sadar, tahu-tahu saya sudah di trotoar. Saya melihat bahwa motor saya masih ada, tas berisi laptop masih ada, dan helm ada di samping.
Ada juga seorang pria yang sedang menunggu saya. Dia katakan, “Telpon keluarga, Pak.”
Saya hanya dapat menjawab lemah, “Terima kasih ya.” Lalu pria itu langsung pergi dengan motornya. Saya mencoba untuk menelpon istri dan memberitahukan, “Saya kecelakaan, tetapi akan lanjut ke sekolah karena sudah dekat.”
Saya baru menyadari bahwa terdapat lecet di kaki dan tangan. Kemudian, saya memeriksa dompet dan handphone milik saya. Tidak ada yang hilang, semua masih ada.
Saya bangun dari trotoar dan dengan perlahan mencoba untuk mengendarai motor yang terasa sudah tidak nyaman itu, karena stang kemudinya bengkok.
Akhirnya sampai juga di kantor dengan selamat. Namun, renungan pagi saat itu sudah selesai karena sudah digantikan orang lain.
Saya menjelaskan ke rekan kantor peristiwa yang baru menimpa. Saat itulah saya baru mulai merasa sedikit pusing. Kemudian, saya diantar ke Rumah Sakit dekat kantor untuk CT Scan. Hasilnya tidak menunjukkan ada pendarahan di kepala, sehingga saya diperbolehkan untuk pulang.
Sesampainya di rumah, saya langsung berbaring karena kepala terasa semakin sakit. Waktu makan malam, saya merasa makanan yang dimakan tidak ada aroma sama sekali.
Lalu istri memberikan minyak kayu putih agar saya dapat menghirupnya. Ternyata itu pun tidak dapat saya cium aromanya. Malam itu saya muntah. Saat duduk pun kepala terasa berputar hebat.
Besok paginya saya diantar oleh istri dan adik saya ke Rumah Sakit, untuk mengecek kembali dikarenakan sakit kepala tidak kunjung hilang.
Setelah saya kembali menjalani CT Scan, kali ini diketahui bahwa selaput tipis pembau di hidung saya rusak, sehingga indera penciuman saya tidak berfungsi.
Hal ini pula yang menyebabkan tekanan hebat di kepala, sehingga saya harus menjalani rawat inap dan diberi obat penurun tekanan otak.
Bersyukur, ada sejumlah jemaat yang datang membesuk dan mendoakan. Puji Tuhan, proses penyembuhan cukup cepat. Tanggal 11 November, saya sudah dapat beribadah di gereja untuk mengikuti kebaktian Sabat.
Ada beberapa jemaat yang berkata, “Katanya kamu kecelakaan cukup parah, kok sudah bisa kebaktian di sabat ini?” Ada juga teman lain yang mengatakan bahwa kecelakaan itu pertanda buruk, yang tentunya bersifat mitos, sehingga saya abaikan. Ada juga teman yang mengatakan bahwa mungkin efek yang lebih buruk serta penurunan fungsi tubuh, baru akan terjadi beberapa tahun kemudian, tetapi saya hanya bisa menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan.
Saya sungguh bersyukur karena saya masih berada dalam perlindungan Tuhan. Saya masih diberikan hidup, sebab besar kemungkinan terjadi hal-hal yang lebih buruk dari peristiwa ini:
- Sangat mungkin cedera saya seharusnya lebih parah. Oleh karena saya pingsan, saya tidak tahu bagaimana bisa selamat dari kecelakaan itu, bahkan bisa berpindah dari jalur kanan ke trotoar
- Selama pingsan, tidak ada orang yang memanfaatkan kesempatan untuk mencuri barang-barang milik saya
- Saya masih diberi kesempatan untuk berkendaraan sampai ke kantor dengan selamat walaupun baru saja mengalami kecelakaan
- Tidak ada pendarahan di otak. Hanya saja, saya kehilangan indera penciuman secara permanen sampai saat ini Saya menganggap bahwa peristiwa ini adalah mujizat.
Saya akan belajar lebih sabar dan tidak terburu-buru merasa kesal dalam menanggapi setiap masalah, agar saya bisa lebih tenang dan berkonsentrasi, termasuk dalam hal mengendarai kendaraan bermotor.
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin