Suara Sejati
Penantian Panjang
Sdr. Tjondro Julianto, Gereja cabang Samanhudi, Jakarta
Saya menerima baptisan air semasa bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Kanaan. Seiring dengan berjalannya waktu, istri dan dua anak kami serta ibu saya juga menerima baptisan air di Gereja Yesus Sejati. Keluarga adik saya dan keluarga kakak saya semuanya juga sudah menerima baptisan air di Gereja Yesus Sejati. Dalam keluarga kami, yang tersisa hanya ayah saya yang belum dibaptis.
Saya pribadi mulai mendoakan dan mengajak ayah untuk mengenal Tuhan sejak ibu dibaptis pada tahun 2011 lalu— yang juga saya rasakan sebagai mujizat dan anugerah Tuhan.
Kami, seluruh anak-anak ayah berharap dan berdoa, agar suatu hari ayah juga dibukakan pintu hatinya seperti proses bagaimana Tuhan membimbing ibu untuk percaya. Namun, terkadang kami merasa lelah, karena sudah sekian tahun menanti, ayah masih belum tergerak juga hatinya.
Walaupun sejak akhir tahun 2019, ayah mau diajak ikut berkebaktian Sabat di Gereja Yesus Sejati—Samanhudi, saat kami tanyakan, “Papa mau dibaptis?” selalu dijawab dengan kalimat, “Nanti saja yah”
Beberapa rekan di gereja sering bertanya kepada saya, “Kapan papa mau dibaptis? Papa sudah berusia 83 tahun, kita tidak tahu bagaimana kesehatannya nanti.” Hal itu menjadi beban pikiran tersendiri untuk saya.
Pada bulan Mei 2019, ibu terjatuh. Tulang sendi siku kanan remuk dan patah, sehingga beliau harus menjalani operasi. Lalu menyusul, giliran ayah merasa pinggangnya nyeri sampai-sampai ia tidak dapat bangun dari ranjang.
Di awal masa pandemi, kesehatan papa tiba-tiba menurun drastis, bahkan sempat terjatuh di jalan. Setelah dibawa ke rumah sakit dan di rontgen, dokter menyatakan bahwa beberapa ruas tulang belakang ayah sudah keropos dan menjepit syarafnya. Pernyataan tersebut sungguh membuat kami khawatir, ditambah lagi dengan kondisi ayah yang mulai pikun.
Kami semua anak-anaknya, memberi perhatian penuh bagi ayah dan ibu. Semua ini seperti pukulan beruntun bagi keluarga kami. Saya bertanya-tanya di dalam hati, “Mengapa semua terjadi di saat saya mendoakan mereka? Mengapa justru hal buruk yang terjadi?” Namun, dalam doa saya seperti merasakan bahwa tentu ada maksud Tuhan di balik semua ini.
Saya dan keluarga harus bolak balik ke rumah ayah dan ibu untuk membersihkan, memenuhi kebutuhan dan merawat mereka. Kebetulan rumah saya yang paling dekat jaraknya dibanding dengan saudara lain, hanya sekitar 500 meter saja.
Merawat dan menyediakan kebutuhan ayah-ibu terasa melelahkan. Tetapi, justru di masa seperti ini hati ayah mulai dibukakan, sehingga ia mau ikut diajak mengikuti kelas katekisasi via aplikasi zoom dengan seorang pendeta yang kebetulan ayah merasa cocok dengannya—sebab pendeta itu berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa Mandarin.
Tertanggal 14 Juni 2020, ayah sudah mengikuti delapan sesi pada setiap hari Senin selama 2 bulan. Sehabis pulang kerja dari daerah Tangerang, saya pulang untuk mandi dan makan, lalu langsung ke rumah ayah untuk membantu setting zoom online selama dua jam.
Kelas katekisasi terkadang berlangsung sampai jam sepuluh malam. Tentu hal itu sangat melelahkan. Tetapi hati ini penuh dengan sukacita saat saya melihat ayah begitu bersemangat. Sesi sebelumnya, ayah pernah berkata bahwa ia baru meyakini sekitar 50% dari kebenaran yang disampaikan. Kemudian, ayah mulai rajin membaca alkitab dan saat sesi katekisasi melalui aplikasi zoom, ia selalu menanyakan hal yang belum ia mengerti, sampai-sampai saya dibuat heran bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi.
Puji Tuhan Yesus yang sudah menjawab doa keluarga besar kami!
Namun, saat masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sulit bagi gereja untuk mengadakan baptisan air dikarenakan adanya protokol kesehatan yang harus dipenuhi. Selama satu minggu sebelum akhirnya baptisan air sepakat untuk dilakukan, kami keluarga besar berdoa bersama selama 15 menit setiap jam sembilan malam.
Dalam doa, kami memohon supaya seluruh proses baptisan air dapat dilancarkan—mengingat usia ayah yang sudah mencapai 83 tahun dan dengan kondisi tulang belakang yang sangat rentan dan sudah keropos. Baptisan air diadakan di pantai dan ayah harus masuk ke dalam laut dengan kedalaman air sebatas dada. Kemudian, ia harus membungkuk agar dapat dibaptis dengan cara diselamkan. Tentunya kami juga khawatir dengan kondisi kesehatan ayah, apalagi menurut protokol kesehatan, yang boleh mengantar ayah hanya satu orang saja.
Selain itu, hal lain yang saya khawatirkan adalah: saat itu jumlah penderita COVID-19 di Jakarta terus meningkat setiap harinya. Dan kami diberitahu bahwa baptisan air bisa saja sewaktu-waktu dibatalkan, tergantung dari situasi dan kondisi yang ada.
Puji Tuhan Yesus! Acara baptisan air akhirnya dapat terlaksana dengan baik di tanggal 4 dan 11 September 2020. Tiba-tiba, mulai 14 September 2020, pemerintah provinsi DKI Jakarta kembali menerapkan PSBB ketat, dan lokasi pantai tempat baptisan air dilakukan kembali ditutup untuk umum. Tuhan Yesus sungguh baik, kami sekeluarga pun menangis bahagia bahwa Tuhan telah sedemikian rupa mengatur agar ayah dapat menerima baptisan air.
“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2 Korintus 12:9).
Segala Kemuliaan hanya bagi nama Tuhan Yesus
amin